Oleh Jennifer Sidharta (pemenang ke 3 lomba cipta cerpen remaja, kategori B tahun 2011)
Jika merah berarti benar, dan biru berarti salah, maka ungu adalah hidup.
*
“Citra, kau sudah mengerjakan PR kan? Pinjam ya!”
“Jangan! Itu kan sama saja dengan mencontek!” sahutku. Itu, sebuah kesalahan besar, tentu saja.
“Apaan sih? Tak usah sok suci deh!”
Selalu begitu. Bahkan orang yang memeriksa PR kami mendiamkan saja, meskipun jelas-jelas semua jawabannya sama persis. Seakan kini mencontek bukanlah sesuatu yang salah.
Aneh kan? Kalau memang mencontek bukanlah suatu kecurangan, kalau memang itu hal yang wajar, mengapa dulu aku diajari bahwa mencontek itu dosa? Bahwa hal-hal itu salah, dan tak seharusnya dilakukan? Tapi aku juga tak mengerti diriku sendiri. Mengapa aku tak bisa menjadi seperti mereka saja? Apa sebenarnya yang kuinginkan? Mengapa aku merasa harus terus berpegang pada nilai moral yang selama ini diajarkan padaku? Mengapa aku ingin mereka juga berhenti melakukan perbuatan yang menyimpang?
*
“Bunga, pinjam pulpen ya!”
“Bunga, bagi kertas ulangan dong!”
“Ya, ambil saja,” sahutku dengan seulas senyum.
“Terima kasih! Bunga memang sangat baik!”
Ha! Penjilat. Memangnya aku tak tahu kalau kalian menjelek-jelekkan aku? Setiap hari meminjam barang-barangku, menyalin tugas, bahkan mencontek ulanganku! Ingin rasanya kulabrak mereka, tapi takkan kulakukan hal bodoh itu. Percuma saja. Karena bukannya mereka akan sadar dan memperbaiki kelakuan mereka, tapi aku malah akan dikata-katai. Munafik, dan lain-lain.
Aneh ya? Setahuku di pelajaran moral diajarkan secara jelas apa yang ‘benar’ dan apa yang ‘salah’. Tapi, melihat keadaan sekarang, kurasa seharusnya isi buku-buku itu direvisi.
Meski begitu, semakin kupikirkan, semakin kurasa akulah yang menyimpang. Tetap saja, rasanya ada yang tak benar. Apakah jika semua orang, katakanlah, mencontek, maka orang yang tidak menconteklah yang salah? Apakah memang aku yang salah? Apakah zaman sudah berubah, hingga nilai-nilai moral pun berubah? Apakah kini apa yang benar dan salah berbeda dari apa yang dulu dianggap benar dan salah?
*
Apa yang seharusnya kulakukan? Adakah orang yang memikirkan hal yang sama denganku? Mungkin sebaiknya aku berhenti berpikir seperti ini, berlaku seperti ini. Ya, semua akan terasa jauh lebih mudah dan menyenangkan jika aku menjadi sama seperti mereka. Memang awalnya akan terasa sakit, dan aku akan membenci diriku sendiri karena menjadi seorang pecundang yang bahkan tak mampu memperjuangkan isi hatiku. Tapi, kurasa lebih mudah melawan diriku sendiri, daripada melawan semua orang di luar sana.
Aku tahu itu namanya melarikan diri dari masalah, tapi memangnya apa dayaku?! …Tapi, memang dasar aku bodoh! Walau aku tahu tak ada gunanya, aku tetap ingin berharap. Berharap setidaknya…Seandainya ada seorang saja yang mengerti apa yang kurasakan…
*
Semua orang memiliki cara masing-masing dalam mempergunakan hidup mereka. Cara hidup yang tampak berbeda mungkin saja menyimpan suatu keinginan yang serupa. Dan pada suatu saat, mereka yang memiliki keinginan yang serupa akan bertemu. Saat itu, sesuatu pasti terjadi!
Siang itu, sekelompok anak sedang bercakap-cakap sambil menyusuri sebuah koridor sekolah mereka dalam perjalanan menuju kantin.
“Benar-benar deh, Citra. Sok suci banget! Seakan-akan dia tak pernah menyalin PR saja.”
“Bukan cuma itu, tahu! Dia juga tak suka saat kita ngerjain orang, sering memprotes nilai. Padahal menurutku nilainya sudah bagus, untuk apa lagi memprotes nilai? Oh, dan lagi, dia sangat rajin, kudengar ia belajar setiap hari! Aneh kan?”
“Banget! Tapi, kalau soal belajar, kurasa ada yang lebih freak lagi. Tahu Bunga kan? Sepertinya dia belajar setiap saat!”
Saat mereka sedang asyik mengobrol, seorang anak muncul dari arah yang berlawanan, dan seketika mereka pun terdiam.
“Hai!” sapa gadis yang baru muncul itu.
“Ah, hai Bunga!” sapa mereka serentak, sebelum buru-buru meninggalkan Bunga sambil berbisik-bisik.
“Kau mendengar percakapan mereka kan?” tanya seorang gadis lain yang muncul dari balik ujung koridor yang lain.
“Sama sepertimu, Citra,” sahut Bunga tak acuh.
“Dan kau diam saja? Kau benar-benar murid teladan ya. Tepat seperti perkataan mereka,” tutur Citra sedikit sinis.
“Kau masih lebih baik daripada aku. Kau peduli pada mereka dan menegur mereka. Kau juga begitu peduli tentang nilaimu, hingga memprotes nilai segala. Benar-benar contoh pelajar teladan,” balas Bunga.
“Hentikan cara bicaramu yang seperti itu,” hardik Citra kesal.
“Seperti apa?”
“Munafik. Menurutmu aku tak sadar? Kau hidup dalam kebohongan! Berpura-pura untuk menyenangkan orang lain, dan mengenakan topeng untuk menciptakan gambaran palsu. Kau memiliki banyak wajah agar diterima dan diakui mereka, padahal wajah-wajah tersebut saling bertolak belakang!”
“Diam! Apa yang kau tahu tentangku? Apa hakmu berbicara seperti itu? Kau juga tahu seperti apa mereka, mereka semua! Cara hidup, penampilan, pemikiran, apa saja yang tak sesuai standar akan mereka cela dan ubah tanpa memikirkan kehendak pemilik hidup itu. Lalu, bagaimana kalau aku sebenarnya tak mau mereka ubah? Memangnya apa lagi yang bisa kulakukan, selain berpura-pura menjadi seperti mereka? Lagipula, bagaimana denganmu? Kau sendiri tak berbeda dariku!”
“Enak saja! Aku tak sepertimu! Aku hanya menuntut apa yang menjadi hakku! Memangnya apa salahnya, kalau aku sudah belajar mati-matian dan ada kelalaian dalam penilaian hingga nilaiku lebih rendah dari yang seharusnya kudapat, lalu aku memprotes hal itu?! Salahkah aku, kalau merasa marah? Kalau aku sudah memeras otak dan keringat, tapi ada yang dengan santainya menyalin hasil kerjaku! Tak bolehkah aku merasa dirugikan?”
Sesaat mereka terdiam. Napas mereka tersengal-sengal karena tanpa sadar mereka telah meninggikan suara, bahkan hingga saling berteriak. Saat itu, hanya ada mereka berdua di lorong yang memang jarang dilalui orang itu. Mereka saling berpandangan, dan tiba-tiba, tanpa alasan apa pun, mereka tertawa.
“Bodoh sekali! Mengapa kita malah bertengkar?” ujar Bunga, masih tertawa.
“Entahlah. Mungkin karena…kau tahu, sebenarnya, sudah lama aku tahu tentangmu lewat gosip teman-teman sekelasku…”
“Aku juga! Saat itu, menurutku kau adalah orang yang menarik. Dan, jujur saja, aku iri padamu.”
“Apa? Tak mungkin! Seharusnya aku yang iri padamu! Kau tahu, kau sebenarnya disukai banyak orang. Sedangkan aku, sejak dulu selalu dijauhi yang lain.”
“Mereka menyukaiku karena aku bisa mereka manfaatkan, Citra. Tak pernah ada yang benar-benar tulus menjadi temanku. Beda denganmu. Mungkin memang benar kau tak dekat dengan banyak orang, tapi mereka yang kagum padamu menyukaimu apa adanya. Karena memang itu yang kau tampilkan, dirimu apa adanya. Aku tak bisa jujur dan berani sepertimu.”
“Itu tak benar! Aku, aku sebenarnya menyukaimu, karena kau berbeda, Bunga! Memang kau tak terang-terangan menentang apa yang mereka lakukan, tapi kau tak ikut-ikutan berbuat seperti mereka. Kurasa itu hebat.”
Bunga tersenyum dan berkata pelan, “Kau tahu, kurasa kita memang sangat mirip. Aku sangat senang, Citra. Mulai sekarang aku tahu ada seseorang yang menjadi sahabatku karena tulus peduli padaku.”
“Bunga, kau…mengapa kau mau menahan perasaanmu yang sebenarnya dan tetap bersikap baik pada mereka?”
“Entahlah. Mungkin karena sebenarnya aku masih peduli pada mereka. Aku hanya ingin melakukan apa yang kuanggap benar, tapi aku tak mau memaksa orang lain hidup mengikuti kepercayaanku, karena itu akan membuatku sama saja dengan mereka. Dan kau? Mengapa kau bisa sebegitu pedulinya hingga menegur mereka?”
“Kurasa karena menurutku itu tak benar. Dan aku yakin mereka juga tahu apa yang mereka lakukan itu salah. Meskipun, sekarang ini apa yang benar dan salah nyaris tak bisa dibedakan. Aku hanya tak ingin melakukan apa yang salah hanya karena semua orang juga melakukannya. Kurasa, aku juga tak mau mereka melakukan apa yang salah. Aku sangat egois ya?”
Percakapan mereka disela dering bel tanda istirahat sudah berakhir. Sambil tertawa dan bercanda mereka berlari menuju ruang kelas mereka masing-masing.
*
“Kau sudah dengar? Kabarnya sekarang Bunga dan Citra bersahabat akrab!”
“Oh, cocok deh! Keduanya kan sama-sama sok dan menyebalkan.”
“Sepasang freak. Hahaha.”
Informasi menyebar dengan cepat. Sepertinya tak ada yang mampu menyaingi jaringan informasi anak sekolah. Satu orang saja yang tahu, dalam waktu sangat singkat semua orang sudah mengetahui hal tersebut.
Seperti biasa, Bunga dan Citra mengabaikan semua gosip tentang mereka. Tentu saja, semakin mereka mengabaikannya, semakin gosip-gosip itu menjadi-jadi.
“Aku benar-benar heran. Apa saja bisa jadi gosip. Apanya yang menarik dari dua orang yang bersahabat coba?” ujar Citra suatu hari.
“Mungkin karena kita beda kelas, tiba-tiba kita bersahabat. Kalau aku sih lebih heran, ada saja yangsegitunya kurang kerjaan bergosip tentang orang lain. Seakan tak ada topik yang lebih penting saja.”
Saat mereka sedang asyik mengobrol, sekelompok anak berpapasan dengan mereka. Sekelompok anak yang sejak dulu, entah mengapa, tak menyukai mereka berdua.
“Aduh, ada dua orang suci di sini! Aku jadi merasa bersalah sudah membuang sampah sembarangan barusan,” ledek seorang dari mereka.
“Suci? Yang benar saja! Sepertinya ada yang tak sadar diri. Memangnya dia selalu benar? Please deh, manusia tuh tak ada yang sempurna. Sadar dong!” sahut yang lain.
“Hei! Kalau ada yang mau kalian sampaikan, katakan langsung pada orangnya! Pengecut!” sembur Citra yang tak tahan lagi diejek seperti itu.
“Kok, kau malah marah? Jangan-jangan, kau mengira kami sedang membicarakanmu? Ge-er banget sih,” ejek seorang dari mereka, disambut gelak tawa teman-temannya.
“Sudahlah, Citra. Yuk, kita pergi saja,” bujuk Bunga seraya menarik tangan Citra.
“Ih, menjijikkan,” ledek seorang dari mereka, namun ia segera menutup mulutnya karena dipelototi oleh Bunga.
“Citra? Kau tak apa-apa?” tanya Bunga lembut saat mereka sudah berada di tempat lain.
“Mereka benar…Mereka benar, Bunga. Aku juga tahu, kok. Aku sok benar, mengatur-atur dan menegur mereka. Padahal aku juga pernah berbuat salah. Perbuatanku yang menganggap mereka menyebalkan itu salah, karena itu namanya main hakim sendiri kan? Mereka benar. Benar aku juga harus mawas diri, tapi maaf, aku bukan robot. Aku juga bisa marah, lelah, kesal, sedih, dan kecewa. Aku juga berdarah saat dilukai, terutama seperti apa yang mereka lakukan tadi,” sahut Citra pelan seraya menahan tangis.
“Aku tahu. Mungkin aku tak sepenuhnya mengerti perasaanmu, karena bagaimanapun juga kita adalah dua orang yang berbeda. Tapi aku tahu rasa sakit itu. Mungkin bagi orang lain aku menyebalkan, cerewet, munafik, perfeksionis, dan penjilat. Tapi aku hanya berusaha menjadi pribadi yang kuinginkan, meski aku harus hidup dalam idealisme dan penolakan.”
“…Terima kasih, Bunga.”
“Untuk apa? Aku hanya menceritakan apa yang kurasakan. Seharusnya aku yang berterima kasih padamu.”
“Terima kasih karena menemaniku. Terima kasih karena kau ada untukku, karena kau mau menjadi sahabatku.”
“Hei, itu gunanya sahabat kan? Lagipula, bersahabat itu hubungan dua orang. Aku juga berterima kasih, karena kau adalah sahabatku. Kalau aku tak punya sahabat sepertimu, mungkin aku sudah mencabut nyawaku sendiri.”
“Tak boleh! Itu tak benar, kau tak boleh bunuh diri! Bunuh diri sama saja dengan lari dari masalah! Lagi pula, kalau kau tak ada…aku akan sendiri lagi.”
“Tenanglah, Citra. Kita akan selalu bersama, kita akan saling menolong dalam menghadapi rintangan apa pun. Jadi, jangan takut, sahabat sejatiku.”
“…Ng, maaf mengganggu kalian. Tapi, kau dipanggil ke kantor guru, Bunga,” ujar seorang anak yang tanpa disadari sudah berada di dekat mereka.
Bunga dan Citra saling berpandangan, lalu mengangkat bahu tak peduli. Tak ada gunanya menduga-duga tak tentu arah, jadi, mereka pun mengikuti anak itu menuju kantor guru.
*
“Bunga, kau sadar apa yang telah kau lakukan?! Lihat ini! Katakan, apa yang kau lihat!”
“Ini…akun facebook saya kan?”
“Iya, lihat apa yang kau tulis dalam statusmu!”
“Tapi, itu kan status saya, Bu! Fungsi status kan menuliskan apa yang saya rasakan, jadi apa salahnya? Lagipula, setahu saya tak ada guru yang menjadi teman facebook saya. Ibu dapat itu darimana?”
“Tak penting darimana Ibu tahu tentang ini! Dengar, Bunga, tulisanmu itu bisa menyinggung perasaan orang! Karena kau biasanya tak seperti ini. Dan, ini adalah pertama kalinya kau membuat masalah, hukumanmu hanya kau harus mengganti status itu! Dan jangan mengulanginya lagi! Sudah, kau boleh pergi.”
*
“Ada apa, Bunga?” tanya Citra cemas.
Ia sejak i tadi menunggu Bunga di depan kantor guru.
“Citra, apakah memang aku harus terus berbohong agar tak menyinggung perasaan orang? Salahkah aku, kalau merasa lelah dengan semua kepura-puraan dan basa-basi ini? Tak bolehkah aku mengeluh, tak pantaskah mengharap pujian? Dilarangkah protes dan komentar? Sudah tak ada lagikah kebebasan aspirasi? Salahkah aku, kalau merasa dikhianati? Salahkah aku, kalau merasa tak adil?”
“Bunga? Memangnya apa yang terjadi?”
“Aku dimarahi, hanya karena status facebook! Aneh kan? Lagi pula, seingatku tak ada guru yang menjadi teman facebookku, jadi darimana mereka tahu? Katakan padaku, Citra, apakah kalau perkataan kita mungkin akan menyinggung perasaan orang lain, maka kita tak boleh mengatakannya?”
“Entahlah, Bunga. Tapi, kau juga tahu seperti apa dunia ini sekarang. Tak ada lagi benar atau salah, hitam atau putih. Semua telah menyatu, membaur dalam kebingungan yang tak terpecahkan. Satu-satunya yang menjadi standar adalah keinginan mereka yang berkuasa, yang menjadi ukuran moral adalah nilai moral yang dimiliki mayoritas orang. Mereka yang berpegang teguh pada nilai-nilai yang lama hanya akan ditertawakan dan dikucilkan.”
“Tapi kau tetap berpegang teguh pada nilai-nilai lama itu.”
“Aku berpegang teguh pada apa yang kupercayai, dan aku akan memperjuangkan idealismeku, meskipun aku harus melawan dunia dan semua anggota masyarakat.”
“Kau sangat kuat, Citra. Sedangkan aku, hanya mampu berteori. Sama seperti segala hal lain, aku sudah tahu harus apa. Segala macam pertanyaan dan teori mampu kujawab, kumengerti. Tapi, apa daya jika hati dan teori tak selaras? Haruskah aku tetap berharap, walau luka belum menutup? Haruskah aku terus memperjuangkan teoriku, kepercayaanku, walau mereka yang mengajariku dan membuatku mempercayai nilai-nilai itu melanggar perkataan mereka sendiri? Di saat yang kujadikan patokan saling bertentangan, yang mana yang seharusnya aku contoh?”
“Jujur, aku tak tahu, Bunga. Kau juga tahu, tak ada lagi yang dapat dijadikan patokan. Saat ini sangat sulit mencari tokoh yang dapat diteladani. Semua ‘benar’ dan ‘salah’ yang kita pelajari dulu pada prakteknya saling bercampur. Lihatlah, saat ini bohong dan kecurangan sudah ditoleransi. Malah, mereka yang terus mencoba jujur dan tuluslah yang terus disakiti dan dicemooh. Kalaupun kita terus membela apa yang kita anggap benar, takkan ada yang menghargainya. Meskipun begitu, apakah kau mau menyerah?”
“…Jahat, Citra. Kalau kau berkata seperti itu, aku malah semakin tak mau menyerah.”
“Kau juga tak rela kan, Bunga? Kita sudah berjuang sampai saat ini, jika kita berhenti sekarang, semua usaha kita selama ini akan sia-sia. Mungkin selamanya, bahkan sampai ajal menjemput kita pun, apa yang kita harapkan tidak terwujud. Tapi apakah itu berarti kita boleh menyerah begitu saja? Apakah kau mau membohongi hatimu sendiri?”
“Kau tahu, Citra, mungkin semuanya tak segelap yang kita bayangkan. Aku punya sahabat sepertimu, dan seandainya ada orang-orang lain yang berpikiran sama seperti kita, mungkin impian kita tak sebegitu sulit diraih. Lagipula, selama kita terus berjuang, aku yakin sesuatu akan terjadi. Pasti akan ada perubahan! Mungkin orang-orang di sekeliling kita lama-lama akan sadar dan ikut berubah.”
“Pasti, Bunga. Selama dilakukan dengan sepenuh hati, takkan ada hal yang sia-sia. Lagipula, kita tak mungkin membuang kepercayaan kita begitu saja, lalu menjalani hidup yang kosong tanpa arti. Kita hidup karena percaya! Menyerah berarti membunuh hati kita sendiri. Aku lebih baik mati dengan hati yang masih percaya daripada hidup tanpa kepercayaan. Bagaimana denganmu?”
“Aku juga. Kau benar, Citra. Apapun yang terjadi, akan kita hadapi bersama. Kurasa sebenarnya kita sangat beruntung, karena kita percaya dan memiliki harapan. Tapi kita harus terus berjuang, Citra, untuk mempertahankan hal itu, dan untuk membaginya pada sebanyak mungkin orang.”
*
Meski ada yang tak bisa dilawan, biarlah kami terus berjuang. Walau mimpi akan selalu menjadi angan, biarkan harapan beri sedikit kekuatan. Walau bagi orang lain hitam dan putih telah menyatu, kami akan terus bertahan dan membela apa yang kami anggap putih.
*
Jennifer Sidharta, siswi SMA IPEKA TOMANG Jakarta Barat
Hobinya membaca dan menulis, melambungkan cita-citanya ingin menjadi penulis. Ia telah merintisnya, menulis fiksi dan nonfiksi di akun facebook miliknya dan mengikuti LMCR-2011