"De, kamu ada di rumah nggak saat ini?" Saya langsung menengok sekeliling saya. Di sebelah saya tampak penjual panci kaki lima yang sedang tersenyum sambil menatap saya. Beberapa detik sebelum telepon berdering, saya memang sedang menawar sebuah panci aluminium yang didagangkannya. Panci itu sekarang ada di tangannya, ditimang-timang kesana kemari.
"Nggak. Aku lagi ada di pasar nih." Suara saya rasanya langsung tenggelam di tengah suara klakson dan suara teriakan penjual kaki lima lain yang saling bersahut-sahutan.
"Bisa pulang sekarang nggak? Aku ada perlu nih sama kamu, penting banget." Suara di seberang sana terdengar begitu panik. Mungkin cuma perasaan saya saja, tapi ketika itu saya mendengar suara besutan tangis sesaat. Saya termasuk orang yang percaya pada kata hati yang pertama kali berbunyi di dalam dada saya. Kata hati saya mengatakan bahwa ada masalah berat yang sedang dihadapi oleh sahabat saya itu.
"Sebentar yah. Tunggu saya kira-kira 40 menit di sana, saya usahakan untuk segera pulang sekarang juga" Panci yang baru ditawar sekali langsung saya beli. Senyum penjual panci itu tampak terkembang begitu lebar. Percaya deh, jika kalian menawar barang sekali dan langsung disetujui oleh penjual barang tersebut sambil memperlihatkan sikap yang ramah, itu artinya kalian telah salah menawar! Bisa jadi barang itu masih terlalu mahal dan itu merupakan keuntungan bagi penjualnya. Kalau sudah begini yang harus kalian lakukan hanya satu, (angan pernah bertanya pada penjual atau toko lain harga sebenarnya barang yang sudah kalian beli itu, kecuali jika hati kalian cukup tabah mendengar harga sebenarnya yang biasanya jauh lebih murah.}. Dengan mikrolet pertama, saya segera meluncur ke rumah.
Wushâ.. wush.. wush...
Akhirnya, di depan pintu rumah saya, tampak sahabat saya itu dengan mata yang membengkak. Pakaiannya amat rapih tapi amat berbanding terbalik dengan wajahnya yang amat kusut. Hari baru menunjukkan pukul sebelas siang (13.00 WIB). Bagaimana mungkin dia bisa memiliki wajah sekusut itu di siang hari bolong seperti ini? Saya langsung mengajaknya masuk ke dalam rumah. Di rumah, tangisnya langsung meledak. Usut punya usut, ternyata dia baru saja di- PTUN-kan oleh kekasihnya alias Putus hubungan Tunangan. Perlu waktu cukup lama menenangkannya hingga akhirnya dia bercerita bahwa tunangannya itu bertemu dengan orang lain yang terasa lebih cocok dan langsung meninggalkan sahabat saya itu tanpa ba.. bi .. bu." Padahal, tiga bulan lagi, mereka rencananya akan menikah. Kedua orang tua sudah saling bertemu dan bersilaturahim. Bahkan beberapa barang untuk acara adat seserahan sudah pula dibeli.
Akhirnya, di depan pintu rumah saya, tampak sahabat saya itu dengan mata yang membengkak. Pakaiannya amat rapih tapi amat berbanding terbalik dengan wajahnya yang amat kusut. Hari baru menunjukkan pukul sebelas siang (13.00 WIB). Bagaimana mungkin dia bisa memiliki wajah sekusut itu di siang hari bolong seperti ini? Saya langsung mengajaknya masuk ke dalam rumah. Di rumah, tangisnya langsung meledak. Usut punya usut, ternyata dia baru saja di- PTUN-kan oleh kekasihnya alias Putus hubungan Tunangan. Perlu waktu cukup lama menenangkannya hingga akhirnya dia bercerita bahwa tunangannya itu bertemu dengan orang lain yang terasa lebih cocok dan langsung meninggalkan sahabat saya itu tanpa ba.. bi .. bu." Padahal, tiga bulan lagi, mereka rencananya akan menikah. Kedua orang tua sudah saling bertemu dan bersilaturahim. Bahkan beberapa barang untuk acara adat seserahan sudah pula dibeli.
"Yang lebih dasyat lagi Ade, mereka akan segera menikah bulan depan." Hati saya langsung tercekat.
Aih, cinta.Cinta benar-benar sebuah misteri. Datang tak diundang pergi tak diantar (eh.. itu mah jampi-jampiannya buat manggil Jailankung di film Jailankung yah? hehehhehe). Tapi cinta memang betul-betul sebuah misteri. Suatu saat ketika dia datang menyapa, maka segalanya bisa berubah. Yang semula rajin bisa tiba-tiba jadi malas. Yang semula pintar, tidak dinyana akan bisa berubah jadi bodoh. Bahkan ketika cinta telah merengkuh, siapapun sulit untuk melepaskan dirinya. Semakin berusaha meronta melepaskan rengkuhannya, semakin diri ini akan terjerat lekat. Misteri inilah yang membawa berbagai macam kejutan yang tak terduga. Bisa menyenangkan, bisa juga amat menyakitkan.
"Aku bingung nih, De. Hatiku benar-benar hancur dan kecewa. Ini, hari ini aku ijin tidak masuk kantor dan pulang duluan dengan alasan sakit. Hatiku sakit, De. Sakit banget. Semua datang begitu tiba-tiba dan tidak disangka-sangka" Semua uneg-unegnya dikeluarkan dengan terbata dan kesedihan yang mendalam. Emosi sahabat saya itu benar-benar pecah dan meledak dalam tangis dan rasa putus asa.
"Aku mesti gimana dong? Uh, selama ini, bagiku dia tuh sudah segala-segalanya. Tiga bulan lagi kami menikah, De. Tiga bulan lagi. Semua persiapan sudah lengkap. Aku berharap banyak, dan merasa bahwa semuanya sudah ada dalam genggaman. Tapi ternyata seperti ini?" Saya terdiam mendengar semua keluh kesahnya dan semua ledakan hatinya. Yah, entah apakah saya masih bisa mempertahankan pikiran sehat saya jika saya berada di posisinya? Saya selalu berharap bahwa selamanya, dalam kondisi apapun, saya bisa tetap mempertahankan pikiran sehat dan kepasrahan pada ketentuan Allah.
"Sabar. Mungkin memang sudah takdirnya seperti ini. Apa yang terjadi dihari esok itu memang asli rahasia ilmunya Allah. Kita nggak pernah tahu apa yang terjadi dihari esok. Ngerti kok, aku ngerti banget bahwa semuanya sudah terencana dengan matang. Tapi kalau memang sudah digariskan harus berpisah, mau bagaimana lagi? Lebih baik sabar dan berprasangka baik bahwa tentu Allah punya rencana lain yang lebih brilian."
"KAMU GAMPANG AJAH NGOMONG SEPERTI ITU, ADE! KAMU NGGAK PERNAH NGERASAIN APA YANG AKU RASAKAN SAAT INI!!! BAGI AKU, HIDUP RASANYA SUDAH TIDAK ADA INDAH-INDAHNYA LAGI. AKU MARAH, MARAH BANGET, KECEWA!!!"
Baik. Ini bukan pertama kali saya menjadi tumpahan kemarahan orang lain. Bukan pertama kali saya harus menampung kekesalan orang lain. Bukan pertama kali orang lain yang semula ingin curhat berbalik jadi menyerang dan mendamprat. Hal ini saya anggap sebagai mekanisme pertahanan diri mereka dalam rangka melindungi diri mereka sendiri agar tidak terlalu merasa jadi yang tersalah. Lalu tanpa terasa mekanisme pertahanan diri saya sendiri mulai berfungsi dengan amat baik. Di dalam kepala saya, langsung diputar sebuah lagu lama, lagu era tahun enam-puluhan. Sambil beranjak menghindari tatapan mata teman saya yang mulai memerah karena marah dan putus asa, saya beranjak dan mengambil CD lagu yang tersetel di kepala saya itu. CD Player saya persiapkan. Pencet
ON
Play.
Lalu sambil menghadapkan kepalan di depan mulut untuk meniru bentuk mikrophone, saya mengikuti gaya penyiar radio, lengkap dengan suara yang ditekan agar bisa sedikit terdengar berat, "Buat kamu yang sedang sedih, ini ada kiriman lagu. Selamat menikmati." Spontan teman saya melempar bantal kursi ke arah saya, Senyumnya terkembang dengan amat getir. Saya langsung menghindar sambil melempar tawa padanya dan meledeknya karena timpukannya yang meleset. Sedetik kemudian, tawanya yang masih separuh hati pun mulai terdengar. Bersamaan dengan mengalunnya lagu Love is Blue yang dinyanyikan oleh Al Martino
Blue, blue, my world is blue
Blue is my world now I'm without you
Cold is my heart since you went away
Crying for you alone in my bed
Green, green, my jealous heart
I doubted you and now we're apart
Then love died, now the rainbow is gone
Longing for you, so lost and alone
Gone, gone the love we knew
Blue is my world now I'm without you
--- 16 Desember 2004; sahabat, please smile, and kick away your pain (penulis: ade anita)