Ade Anita
ups... pekan lalu aku buat list group close friend... dan hasilnya notificationku penuh setiap hari, hingga ratusan... siang ini aku cari lagi cara mensetting notification agar tidak terlalu penuh.. tapi tidak diketemukan.. terpaksa deh.. ada beberapa teman yang "terlalu rajin" meng-up date status aku geser dari close friend ke acquaintances... heehehe.... dari 100 notification yang aku terima, 66-nya berasal dari update status beliau soalnya... fiuh....*I'm sorry
Like · · about an hour ago
Bais Manam, Fiani Gee, Fadjri Achmad Doel and 2 others like this.
Ade Anita dan takjubnya, dia bisa meng=up date status setiap menit ternyata... bayangkan.. pukul 17.43 dia up date status.. 17,44 up date lagi.. eh.. 17 55 up date lagi... jadi nggak sampai 10 menit dia sudah up date status berkali-kali.. ya ampun.. energinya banyak banget ya?
about an hour ago · Like
Hasanudin H Syafaat http://www.facebook.com/settings?tab=notifications§ion=Facebook&t
about an hour ago · Like
Hasanudin H Syafaat cek disitu :D
about an hour ago · Like
Ade Anita udah.. seharian ini aku melototin itu.. nggak ketemu tetep.. eh.. aku juga nyari my link.. itu loh, link-link yang pernah aku share di wall aku sendiri.. gimana ya caranya? dulu perasaan ada deh...
about an hour ago · Like
Ade Anita oo... sama satu lagi.. aku jug anyari setting, jadi yang muncul di notificationku itu, status yang aku ninggalin jejak aja.. bukan semua satus close friendku... tahu nggak Hasanudin H Syafaat?
about an hour ago · Like
Ade Anita eh.. satu lagi.. aku juga mesen bakso 1 mangkok dong.. nggak pake sambal
about an hour ago · Like
Ade Anita eh.. sama minumannya jugaaaaaaaaaaaaaa
about an hour ago · Like
Hasanudin H Syafaat yg link, ada di.. ngasih taunya piye kiy.
aku capture deh
about an hour ago · Like
Ade Anita kasi tutorialnya dong lewat inbox gitu..
about an hour ago · Like
Ade Anita biar bisa agak panjangan...
about an hour ago · Like
Hasanudin H Syafaat http://www.facebook.com/?sk=app_2309869772 << ini bukan yah maksudnya?
about an hour ago · Like
Hasanudin H Syafaat atau begini kira2 tutornya, semoga halaman fb kita sama :D
di menu search, ketik: link
nanti ada Link (app). Klik itu..
57 minutes ago · Like
Hasanudin H Syafaat atau cara laen pake aplikasi fb ini:
https://apps.facebook.com/findmylinks/
Find My Posted Links
apps.facebook.com
52 minutes ago · Unlike · 1 person ·
Fiani Gee Rajin temannya mbak.. :)
44 minutes ago · Like
Hasanudin H Syafaat rajin pangkal pandai... :D
43 minutes ago · Like
Riesta Ariesta Tegaaaaa.....parahhhh....
13 minutes ago · Like
Ade Anita Hasanudin H Syafaat: makasih ya... teruskan usahamu... jangan pedulikan mereka..
4 minutes ago · Like
Ade Anita Hasanudin H Syafaat: bener.. bener... aduh.. makasih banget... bener.. itu yang aku cari selama ini... kenapa aku tidak nanya ke kamu sejak dulu ya??...
2 minutes ago · Like
Ade Anita aku simpen di blog aku deh aplikasi ini.. biar aku ingat... hasan.. makasih ya...
about a minute ago · Like
dapat kado puisi dari ricky rayhan
Senin, 26 September 2011
SKETSA ( tangisan pertama itu hari ini )
by Ricky Rayhan on Monday, 26 September 2011 at 07:25
~ walau di kejar waktu semoga menjadi kado terindah ~
Senyum fajar sementara sembunyikan wajah malam. Berikan kesempatan pada sahaya mencicipi hangat semangat. Sebagai awal dari segala laku di mayapada. Pun dirimu, yang mengawali hari dengan sungging pasti. Menenun harap menjadi titisan Hawa yang berbakti. Memerankan Khadijah dalam setumpak keluarga. Geriap keringat serupa cindera mata, lahir dari pengorbanan memenuhi pinggan. Meski hanya secupak beras yang terkuras. Selalu, merawat senda guna wibawa menyandang panggilan perempuan berbakti
by Ricky Rayhan on Monday, 26 September 2011 at 07:25
~ walau di kejar waktu semoga menjadi kado terindah ~
Senyum fajar sementara sembunyikan wajah malam. Berikan kesempatan pada sahaya mencicipi hangat semangat. Sebagai awal dari segala laku di mayapada. Pun dirimu, yang mengawali hari dengan sungging pasti. Menenun harap menjadi titisan Hawa yang berbakti. Memerankan Khadijah dalam setumpak keluarga. Geriap keringat serupa cindera mata, lahir dari pengorbanan memenuhi pinggan. Meski hanya secupak beras yang terkuras. Selalu, merawat senda guna wibawa menyandang panggilan perempuan berbakti
lirik lagu bon jovi yang aku suka: thank You for loving me
it's hard for me to say the things
I wont to say sometimes
there's no one here but you
and me.. and the broken street legh
Mencari jejak puisi jenaka
Selasa, 13 September 2011
Saya selalu kesulitan untuk menulis puisi. Entahlah. Bagi saya menulis puisi itu sulit. Bayangkan, pada sebuah pemandangan yang amat luas, kita harus mendeskripsikannya dalam sebuah kalimat yang bisa mewakili segala. Lalu, meletakkan napas di dalamnya agar kalimat yang minim itu tidak tampil datar dan tandus.
Ah. Saya tidak pernah bisa menulis puisi. Tapi, tidak bisa bukan berarti mengurangi kenikmatan untuk menyantap puisi yang terhidang. Sesungguhnya, dari puisilah kosakata yang saya miliki terus bertambah. Ada beberapa ekspressi yang mungkin amat biasa tampil dalam ruang cerpen atau novel, ternyata bisa tampil dalam bentuk kata baru yang tidak biasa tapi indah untuk dinikmati.
Ah. Saya tidak pernah bisa menulis puisi. Tapi, tidak bisa bukan berarti mengurangi kenikmatan untuk menyantap puisi yang terhidang. Sesungguhnya, dari puisilah kosakata yang saya miliki terus bertambah. Ada beberapa ekspressi yang mungkin amat biasa tampil dalam ruang cerpen atau novel, ternyata bisa tampil dalam bentuk kata baru yang tidak biasa tapi indah untuk dinikmati.
Asyiknya membaca dua cerpen dari dua lelaki berbeda ini
(cerpen) gubrak, nyoh, dan din- din- din.
by Cepi Sabre on Tuesday, 18 January 2011 at 16:48
Gubrak, Nyoh, dan Din- Din- Din.
Gubrak!
Aku melemparkan tubuhku begitu saja ke atas sofa seperti layang-layang putus. Hasilnya: gubrak yang sangat keras. Sofa hijau pupus ini berderak, sepertinya ada yang patah. Aduh, aku harus memperbaikinya. Tapi, hijau pupus? Sofa ini seharusnya merah menyala. Seingatku, aku tidak pernah membeli sofa berwarna hijau pupus. Terlalu teduh. Orang-orang akan betah duduk berlama-lama di sini. Bukan itu mauku. Aku punya ruang tamu untuk menerima tamu, bukan untuk melayani tamu yang betah berlama-lama. Merah. Sofa harus berwarna merah. Dan menyala.
Aku tidak tahu mana yang harus kurisaukan dari sofa ini, sesuatu yang patah di dalamnya atau warnanya yang hijau pupus. Istriku pasti menggantinya diam-diam ketika aku tidak di rumah. Ini pemberontakan, tidak bisa tidak. Istriku yang jarang bicara itu sudah berani mengganti sofaku tanpa bertanya padaku. Hei, aku arsiteknya di sini. Aku memang arsitek. Soal warna, soal interior, aku lebih tahu dari siapapun. Tapi lebih dari itu semua, aku seorang suami. Laki-laki. Perasaan bahwa kekuasaanku sebagai suami dikangkangi mulai menjalari tubuhku. Telingaku mulai terasa panas.
Gubrak!
Aku marah. Istriku harus tahu bahwa aku yang punya kuasa di sini. Tapi aku terlalu lelah untuk memulai sebuah pertengkaran. Tiga hari aku tidak pulang ke rumah. Pekerjaan di proyek mulai memasuki masa kritis. Aku terjepit di antara tenggat waktu dan klien yang cerewet. Atasanku mengerahkan semua pekerja untuk bekerja siang dan malam. Itu juga termasuk aku. Aku juga pekerja, walaupun arsitek. Kuputuskan untuk menginap di proyek. Terlalu merepotkan kalau aku harus pulang ke rumah. Tiga hari.
Hari ini barulah aku bisa pulang ke rumah. Setelah tiga hari. Aku lelah luar biasa, tentu saja. Salah satu supir di proyek kuminta untuk mengantarku pulang. Aku terlalu lelah untuk bisa mengendarai mobilku sendiri. Dan benar-benar seperti layang-layang putus, setelah melewati beberapa lapangan dan beberapa sawah, tubuhku akhirnya terhempas di sofa hijau pupus ini. Ah, sofa hijau pupus. Kenapa harus hijau pupus? Supir yang mengantarku masih berteriak-teriak dari dalam mobil. Sepertinya dia masih ingin mengatakan sesuatu padaku, tapi aku sudah tidak peduli. Pintu kututup dengan keras.
Gubrak!
Setelah tiga kali gubrak, seorang perempuan akhirnya mendatangiku. Istriku. Dia berdiri saja di sisiku. Menatapku lama dan tidak bicara. Seperti biasanya. Istriku memang jarang bicara. Mungkin dia memang dididik seperti itu. Dididik bahwa suami adalah segala-galanya. Raja, kalau bukan dewa. Mungkin juga istriku bisa memahami pekerjaanku yang berat. Memahami suaminya yang seringkali pulang larut malam dalam keadaan lelah. Bahkan tidak jarang baru pulang ke rumah setelah beberapa hari lembur. Seperti sekarang.
“Kopi.”
Kata orang, beda antara pelacur dengan istri yang sah adalah secangkir kopi. Secangkir di pagi hari dan secangkir lagi malamnya. Tapi aku sendiri tidak pernah tertarik untuk mencoba seorang pelacur. Bukan karena mereka tidak menyediakan kopi, tapi karena aku memang tidak tertarik. Selain karena mahal juga. Bekerja sekeras ini pun aku masih harus pontang-panting untuk membiayai kebutuhanku dan istriku. Orang bilang, aku diperbudak pekerjaan. Tapi sebenar-benarnya, aku diperbudak oleh kebutuhan. Harga-harga terus naik. Merambat atau meroket sama saja. Naik. Intinya, tidak ada anggaran buat melacur.
Membuat secangkir kopi tidak mungkin memakan waktu sampai satu paragraf. Seorang penulis mungkin menghabiskan hanya beberapa menit saja untuk menulis satu paragraf, tapi seorang arsitek yang kelelahan butuh tidak kurang dari setengah jam. Setengah jam untuk secangkir kopi, lama sekali.
Aku memaksa kaki-kakiku yang lelah untuk membawaku ke dapur. Istriku sedang mengaduk kopi dengan lembut. Pinggulnya, aduh, pinggulnya. Sudah setahun kami menikah. Ratusan kali aku sudah tidur dengan istriku. Tapi tiga hari aku tidak bertemu dengan istriku, dan pinggulnya itu, dan pinggulnya itu. Aku memeluknya dari belakang. Menciumi lehernya dari belakang. Istriku tersentak. Kaget. Tapi lehernya dijulurkannya juga.
Nyoh.
Aku terus menciumi leher istriku. Lehernya begitu jenjang. Kemana saja aku tiga hari ini, atau setahun ini, sampai tidak menyadari begitu indahnya leher istriku. Aku mulai merasa menjadi dewa yang mati selama tiga hari, lalu bangkit dan menebus tiga hari yang terlewati itu. Kepala istriku menggeliat ke sana ke mari. Istriku seperti menikmatinya. Tangannya mulai sibuk mencari-cari pegangan. Mungkin karena takut jatuh. Mungkin juga karena tak kuat menahan sesuatu. Di dalam hatinya, istriku mungkin juga bertanya-tanya, kemana saja suaminya ini selama tiga hari atau setahun belakangan?
Nyoh.
Cepat sekali istriku membalik badannya. Kami berhadap-hadapan seperti jagoan dari film-film barat lama. Bedanya, kami sama tidak menenteng pistol di pinggang. Sebentar saja kami sudah saling mencium. Bibir istriku begitu merah. Dan basah. Aku membayangkan irisan tomat dengan es batu yang sering kuminum di proyek ketika matahari begitu garang. Betapa segar meminumnya dalam beberapa tenggak. O, tiga hari yang sungguh melelahkan. O, tiga hari. O, tiga hari. Dan aku bersyukur bibir istriku tidak berwarna hijau pupus.
Baru setahun kami menikah. Sudah tiga hari istriku kutinggalkan. Aku tidak pernah menyadari betapa hebat ciuman istriku. Sama seperti aku tidak menyadari betapa indah lehernya. Tangan istriku tidak lagi mencari-cari pegangan, tangannya menggapai-gapai. Melihatnya seperti melihat orang yang sedang tenggelam dan berusaha minta tolong. Sepertinya, bibirku menenggelamkan bibirnya, seperti laut menenggelamkan butir-butir pasir. Aku percaya, kalau saat itu ada penjaga pantai, mereka pasti akan bergegas berlari menolongnya. Aku percaya, celana mereka pasti merah. Bukan hijau pupus.
Nyoh.
Nyoh.
Nyoh.
Din, din, din.
Kami berdua hampir meledak. Tiga hari, gubrak, sofa hijau pupus, dan kopi setengah jam. Tiga hari, leher yang jenjang, dan bibir-bibir yang nyoh. Istriku pasti tidak berharap laut segera membawa butir-butir pasir terdampar di pantai. Hampir empat paragraf lamanya kami berciuman. Seorang penulis mungkin menghabiskan hanya beberapa menit saja untuk menulis empat paragraf, tapi seorang arsitek yang sedang terbakar nafsu butuh tidak kurang dari satu jam. Dan aku bersyukur bahwa aku adalah arsitek, bukan penulis. Tapi din- din-din itu sekarang mulai menggangguku.
Sebuah ingatan akan sofa hijau pupus berkelebat cepat di kepalaku. Aku tidak berharap din- din- din itu adalah tamu yang menikmati teduhnya ruang tamuku dengan sofa hijau pupusnya. Tapi ingatan itu mulai mengendurkan cengkeramanku. Begitu juga istriku. Dia pasti lebih terganggu pada din- din- din itu daripada memikirkan sofa yang dibelinya diam-diam ketika aku tidak di rumah. Tangannya mulai pindah ke dadaku, mendorong pelan, memberi isyarat untuk menjauh. Laut masih harus bersabar menunggu datangnya badai.
Din, din, din.
Ada alasannya kalau aku memilih warna merah untuk sofa. Di saat kami hampir meledak seperti ini, alasan itu dan naluri arsitekku ternyata benar. Ini saatnya menepuk dada kukira. Tapi dada yang hampir meledak ini tidak bisa ditepuk sembarang waktu. Istriku memandangiku dengan bingung. Wajahnya pias. Aku lebih bingung melihatnya bingung. Dari dapur, istriku berusaha mengintip asal suara yang membatalkan badai yang kami buat selama empat paragraf.
Din, din, din.
Aku tidak meninggalkan bekas apa-apa di bibirnya, tapi istriku berusaha membersihkan bibirnya. Aku tidak tahu harus berkata apa. Sofa hijau pupus itu saja sudah menyinggung kelaki-lakianku. Cukup untuk menghasilkan sebuah gubrak. Lalu sebuah bekas ciuman yang dihapus bisa menghasilkan berapa gubrak? Hanya kebingunganlah yang sekarang memisahkan aku dengan beberapa gubrak itu. Istriku benar-benar sedang ketakutan. Dia seperti didatangi oleh hantu laut. Istriku memang jarang bicara, tapi aku tidak pernah melihat wajahnya sepucat ini.
“Suamiku,” katanya.
“Hah!”
Din, din, din.
“Suamiku pulang,” katanya lagi.
Din, din, din.
Apa-apaan ini? Tiga hari kutinggalkan istriku dan dia sudah bisa menyebut din- din- din itu sebagai suaminya. Dua juta gubrak tidak akan cukup untuk meredakan amarahku. Terbakar. Tidak ada lagi laut, tidak ada lagi pasir, tidak ada lagi badai. Kering. Cepat aku berlari ke ruang tamu. Sofa hijau pupus itu lagi. Dari balik jendela aku melihat sebuah mobil dengan seorang laki-laki di dalamnya. Kepalanya mulai terjulur keluar. Din- din- din yang tidak mendapat tanggapan memaksanya menurunkan kaca mobil dan menjulurkan kepala. Dari wajahnya yang merah aku tahu bahwa din- din- din itu akan segera berubah menjadi gubrak.
Tapi bukan laki-laki dengan wajah merah di dalam mobil itu yang menggangguku. Juga bukan din- din- din-nya. Di belakang mobil itu aku melihat sebuah rumah kecil. Dari jendela rumah itu aku bisa melihat sofa merah menyala di ruang tamunya. Sofa merah menyalaku. Di depan pintunya, seorang perempuan sedang menyapu teras kecilnya. Istriku. Bibirnya memang tidak merah, tidak basah, tapi dia istriku. Lalu siapa laki-laki yang din- din- din ini? Dan yang lebih penting lagi, siapa perempuan yang nyoh- nyoh- nyoh selama empat paragraf tadi?
Gubrak!
--------------------
- end of note -
by Cepi Sabre on Tuesday, 18 January 2011 at 16:48
Gubrak, Nyoh, dan Din- Din- Din.
Gubrak!
Aku melemparkan tubuhku begitu saja ke atas sofa seperti layang-layang putus. Hasilnya: gubrak yang sangat keras. Sofa hijau pupus ini berderak, sepertinya ada yang patah. Aduh, aku harus memperbaikinya. Tapi, hijau pupus? Sofa ini seharusnya merah menyala. Seingatku, aku tidak pernah membeli sofa berwarna hijau pupus. Terlalu teduh. Orang-orang akan betah duduk berlama-lama di sini. Bukan itu mauku. Aku punya ruang tamu untuk menerima tamu, bukan untuk melayani tamu yang betah berlama-lama. Merah. Sofa harus berwarna merah. Dan menyala.
Aku tidak tahu mana yang harus kurisaukan dari sofa ini, sesuatu yang patah di dalamnya atau warnanya yang hijau pupus. Istriku pasti menggantinya diam-diam ketika aku tidak di rumah. Ini pemberontakan, tidak bisa tidak. Istriku yang jarang bicara itu sudah berani mengganti sofaku tanpa bertanya padaku. Hei, aku arsiteknya di sini. Aku memang arsitek. Soal warna, soal interior, aku lebih tahu dari siapapun. Tapi lebih dari itu semua, aku seorang suami. Laki-laki. Perasaan bahwa kekuasaanku sebagai suami dikangkangi mulai menjalari tubuhku. Telingaku mulai terasa panas.
Gubrak!
Aku marah. Istriku harus tahu bahwa aku yang punya kuasa di sini. Tapi aku terlalu lelah untuk memulai sebuah pertengkaran. Tiga hari aku tidak pulang ke rumah. Pekerjaan di proyek mulai memasuki masa kritis. Aku terjepit di antara tenggat waktu dan klien yang cerewet. Atasanku mengerahkan semua pekerja untuk bekerja siang dan malam. Itu juga termasuk aku. Aku juga pekerja, walaupun arsitek. Kuputuskan untuk menginap di proyek. Terlalu merepotkan kalau aku harus pulang ke rumah. Tiga hari.
Hari ini barulah aku bisa pulang ke rumah. Setelah tiga hari. Aku lelah luar biasa, tentu saja. Salah satu supir di proyek kuminta untuk mengantarku pulang. Aku terlalu lelah untuk bisa mengendarai mobilku sendiri. Dan benar-benar seperti layang-layang putus, setelah melewati beberapa lapangan dan beberapa sawah, tubuhku akhirnya terhempas di sofa hijau pupus ini. Ah, sofa hijau pupus. Kenapa harus hijau pupus? Supir yang mengantarku masih berteriak-teriak dari dalam mobil. Sepertinya dia masih ingin mengatakan sesuatu padaku, tapi aku sudah tidak peduli. Pintu kututup dengan keras.
Gubrak!
Setelah tiga kali gubrak, seorang perempuan akhirnya mendatangiku. Istriku. Dia berdiri saja di sisiku. Menatapku lama dan tidak bicara. Seperti biasanya. Istriku memang jarang bicara. Mungkin dia memang dididik seperti itu. Dididik bahwa suami adalah segala-galanya. Raja, kalau bukan dewa. Mungkin juga istriku bisa memahami pekerjaanku yang berat. Memahami suaminya yang seringkali pulang larut malam dalam keadaan lelah. Bahkan tidak jarang baru pulang ke rumah setelah beberapa hari lembur. Seperti sekarang.
“Kopi.”
Kata orang, beda antara pelacur dengan istri yang sah adalah secangkir kopi. Secangkir di pagi hari dan secangkir lagi malamnya. Tapi aku sendiri tidak pernah tertarik untuk mencoba seorang pelacur. Bukan karena mereka tidak menyediakan kopi, tapi karena aku memang tidak tertarik. Selain karena mahal juga. Bekerja sekeras ini pun aku masih harus pontang-panting untuk membiayai kebutuhanku dan istriku. Orang bilang, aku diperbudak pekerjaan. Tapi sebenar-benarnya, aku diperbudak oleh kebutuhan. Harga-harga terus naik. Merambat atau meroket sama saja. Naik. Intinya, tidak ada anggaran buat melacur.
Membuat secangkir kopi tidak mungkin memakan waktu sampai satu paragraf. Seorang penulis mungkin menghabiskan hanya beberapa menit saja untuk menulis satu paragraf, tapi seorang arsitek yang kelelahan butuh tidak kurang dari setengah jam. Setengah jam untuk secangkir kopi, lama sekali.
Aku memaksa kaki-kakiku yang lelah untuk membawaku ke dapur. Istriku sedang mengaduk kopi dengan lembut. Pinggulnya, aduh, pinggulnya. Sudah setahun kami menikah. Ratusan kali aku sudah tidur dengan istriku. Tapi tiga hari aku tidak bertemu dengan istriku, dan pinggulnya itu, dan pinggulnya itu. Aku memeluknya dari belakang. Menciumi lehernya dari belakang. Istriku tersentak. Kaget. Tapi lehernya dijulurkannya juga.
Nyoh.
Aku terus menciumi leher istriku. Lehernya begitu jenjang. Kemana saja aku tiga hari ini, atau setahun ini, sampai tidak menyadari begitu indahnya leher istriku. Aku mulai merasa menjadi dewa yang mati selama tiga hari, lalu bangkit dan menebus tiga hari yang terlewati itu. Kepala istriku menggeliat ke sana ke mari. Istriku seperti menikmatinya. Tangannya mulai sibuk mencari-cari pegangan. Mungkin karena takut jatuh. Mungkin juga karena tak kuat menahan sesuatu. Di dalam hatinya, istriku mungkin juga bertanya-tanya, kemana saja suaminya ini selama tiga hari atau setahun belakangan?
Nyoh.
Cepat sekali istriku membalik badannya. Kami berhadap-hadapan seperti jagoan dari film-film barat lama. Bedanya, kami sama tidak menenteng pistol di pinggang. Sebentar saja kami sudah saling mencium. Bibir istriku begitu merah. Dan basah. Aku membayangkan irisan tomat dengan es batu yang sering kuminum di proyek ketika matahari begitu garang. Betapa segar meminumnya dalam beberapa tenggak. O, tiga hari yang sungguh melelahkan. O, tiga hari. O, tiga hari. Dan aku bersyukur bibir istriku tidak berwarna hijau pupus.
Baru setahun kami menikah. Sudah tiga hari istriku kutinggalkan. Aku tidak pernah menyadari betapa hebat ciuman istriku. Sama seperti aku tidak menyadari betapa indah lehernya. Tangan istriku tidak lagi mencari-cari pegangan, tangannya menggapai-gapai. Melihatnya seperti melihat orang yang sedang tenggelam dan berusaha minta tolong. Sepertinya, bibirku menenggelamkan bibirnya, seperti laut menenggelamkan butir-butir pasir. Aku percaya, kalau saat itu ada penjaga pantai, mereka pasti akan bergegas berlari menolongnya. Aku percaya, celana mereka pasti merah. Bukan hijau pupus.
Nyoh.
Nyoh.
Nyoh.
Din, din, din.
Kami berdua hampir meledak. Tiga hari, gubrak, sofa hijau pupus, dan kopi setengah jam. Tiga hari, leher yang jenjang, dan bibir-bibir yang nyoh. Istriku pasti tidak berharap laut segera membawa butir-butir pasir terdampar di pantai. Hampir empat paragraf lamanya kami berciuman. Seorang penulis mungkin menghabiskan hanya beberapa menit saja untuk menulis empat paragraf, tapi seorang arsitek yang sedang terbakar nafsu butuh tidak kurang dari satu jam. Dan aku bersyukur bahwa aku adalah arsitek, bukan penulis. Tapi din- din-din itu sekarang mulai menggangguku.
Sebuah ingatan akan sofa hijau pupus berkelebat cepat di kepalaku. Aku tidak berharap din- din- din itu adalah tamu yang menikmati teduhnya ruang tamuku dengan sofa hijau pupusnya. Tapi ingatan itu mulai mengendurkan cengkeramanku. Begitu juga istriku. Dia pasti lebih terganggu pada din- din- din itu daripada memikirkan sofa yang dibelinya diam-diam ketika aku tidak di rumah. Tangannya mulai pindah ke dadaku, mendorong pelan, memberi isyarat untuk menjauh. Laut masih harus bersabar menunggu datangnya badai.
Din, din, din.
Ada alasannya kalau aku memilih warna merah untuk sofa. Di saat kami hampir meledak seperti ini, alasan itu dan naluri arsitekku ternyata benar. Ini saatnya menepuk dada kukira. Tapi dada yang hampir meledak ini tidak bisa ditepuk sembarang waktu. Istriku memandangiku dengan bingung. Wajahnya pias. Aku lebih bingung melihatnya bingung. Dari dapur, istriku berusaha mengintip asal suara yang membatalkan badai yang kami buat selama empat paragraf.
Din, din, din.
Aku tidak meninggalkan bekas apa-apa di bibirnya, tapi istriku berusaha membersihkan bibirnya. Aku tidak tahu harus berkata apa. Sofa hijau pupus itu saja sudah menyinggung kelaki-lakianku. Cukup untuk menghasilkan sebuah gubrak. Lalu sebuah bekas ciuman yang dihapus bisa menghasilkan berapa gubrak? Hanya kebingunganlah yang sekarang memisahkan aku dengan beberapa gubrak itu. Istriku benar-benar sedang ketakutan. Dia seperti didatangi oleh hantu laut. Istriku memang jarang bicara, tapi aku tidak pernah melihat wajahnya sepucat ini.
“Suamiku,” katanya.
“Hah!”
Din, din, din.
“Suamiku pulang,” katanya lagi.
Din, din, din.
Apa-apaan ini? Tiga hari kutinggalkan istriku dan dia sudah bisa menyebut din- din- din itu sebagai suaminya. Dua juta gubrak tidak akan cukup untuk meredakan amarahku. Terbakar. Tidak ada lagi laut, tidak ada lagi pasir, tidak ada lagi badai. Kering. Cepat aku berlari ke ruang tamu. Sofa hijau pupus itu lagi. Dari balik jendela aku melihat sebuah mobil dengan seorang laki-laki di dalamnya. Kepalanya mulai terjulur keluar. Din- din- din yang tidak mendapat tanggapan memaksanya menurunkan kaca mobil dan menjulurkan kepala. Dari wajahnya yang merah aku tahu bahwa din- din- din itu akan segera berubah menjadi gubrak.
Tapi bukan laki-laki dengan wajah merah di dalam mobil itu yang menggangguku. Juga bukan din- din- din-nya. Di belakang mobil itu aku melihat sebuah rumah kecil. Dari jendela rumah itu aku bisa melihat sofa merah menyala di ruang tamunya. Sofa merah menyalaku. Di depan pintunya, seorang perempuan sedang menyapu teras kecilnya. Istriku. Bibirnya memang tidak merah, tidak basah, tapi dia istriku. Lalu siapa laki-laki yang din- din- din ini? Dan yang lebih penting lagi, siapa perempuan yang nyoh- nyoh- nyoh selama empat paragraf tadi?
Gubrak!
--------------------
- end of note -
Kecupan Ketika Hujan
[Cerpen]
Hujan hari itu amat unik bagiku.
Butir airnya turun amat deras, bulirnya besar-besar dan curahnbya banyak. Membuat gaduh suara seng-seng rumah dan pagar. Juga membuat banyak lubang di lumpur sepanjang pinggir jalan. Tak ada seorang pun yang ingin berjalan di bawah hujan yang menderas dan menggila seperti ini. Tapi aku seorang penyuka hujan. Aku melihat debu-debu yang terhampar di seluruh permukaan benda di dalam naungan kota Jakarta tampak terusir pergi dalam sekejap. Dalam hati aku berdoa:
Catatan sakit 3: Kecupan Ketika Hujan
Hujan hari itu amat unik bagiku.
Butir airnya turun amat deras, bulirnya besar-besar dan curahnbya banyak. Membuat gaduh suara seng-seng rumah dan pagar. Juga membuat banyak lubang di lumpur sepanjang pinggir jalan. Tak ada seorang pun yang ingin berjalan di bawah hujan yang menderas dan menggila seperti ini. Tapi aku seorang penyuka hujan. Aku melihat debu-debu yang terhampar di seluruh permukaan benda di dalam naungan kota Jakarta tampak terusir pergi dalam sekejap. Dalam hati aku berdoa:
Para Perempuan Hebat
Catatan sakit 2: Para Perempuan Hebat
1.
“Dokternya sudah tua apa masih muda ya?” Aku bertanya ragu pada seorang perempuan yang duduk sambil memeluk map hasil rontgennya. Perempuan setengah baya yang memiliki senyum yang amat keibuan. Lembut dan hangat. Aku suka semua perempuan yang memiliki senyum yang lembut dan hangat. Ada sebuah rasa nyaman yang senantiasa terkirimkan dari senyuman yang lembut dan hangat.
“Iya, usianya sudah 63 tahun. Dia termasuk dokter senior di RS Dharmais.”
1.
“Dokternya sudah tua apa masih muda ya?” Aku bertanya ragu pada seorang perempuan yang duduk sambil memeluk map hasil rontgennya. Perempuan setengah baya yang memiliki senyum yang amat keibuan. Lembut dan hangat. Aku suka semua perempuan yang memiliki senyum yang lembut dan hangat. Ada sebuah rasa nyaman yang senantiasa terkirimkan dari senyuman yang lembut dan hangat.
“Iya, usianya sudah 63 tahun. Dia termasuk dokter senior di RS Dharmais.”
Tamu Tak Diundang
Catatan Sakit (1) : Tamu Tak Diundang
Ada yang datang tanpa diundang hari ini, tapi bukan jailankung.
Ingin kutendang jauh-jauh tapi dia tidak berbentuk bola sepak.
Sebal.
Aku benci tamu tak diundang yang menguasai rumah yang dia tumpangi sesuka hati.
Aku benci tamu yang bermetamorfosa menjadi penjajah yang menguasai daerah yang dia kuasai dengan kejamnya.
Sebal.
Ada yang datang tanpa diundang hari ini, tapi bukan jailankung.
Ingin kutendang jauh-jauh tapi dia tidak berbentuk bola sepak.
Sebal.
Aku benci tamu tak diundang yang menguasai rumah yang dia tumpangi sesuka hati.
Aku benci tamu yang bermetamorfosa menjadi penjajah yang menguasai daerah yang dia kuasai dengan kejamnya.
Sebal.
Hiu Kecil (notes dari saudaraku)
Iseng, sambil nunggu anak selese bimbel di masjid, buka fb dan menemukan sebuah notes bagus yang amat inspiratif. Sayang kalau dibiarkan begitu saja. Jadi, aku ijin copas, dan sekarang aku taruh di notesku. Baca ya... isinya menarik sekali.
Ketika Rasul Menjadi Unta
[Parenting] copas dari teman karena aku ingin menyimpannya di deret notesku... suka banget, mengharukan.
Ketika Rasul menjadi ‘unta’ (empat dari tujuh rangkaian tulisan memperingati maulid nabi)
Alkisah, suatu hari Rasul berjalan di lorong gang menuju Masjid, lalu berjumpa dengan anak-anak yang tengah bermain. Saat melihat Rasul, anak-anak segera merangkulnya seraya berkata: “كن جملي”
“Ayolah jadi untaku.!” Karena kerap melihat Hasan dan Husain melakukan hal yang sama pada Rasul, mereka pun menginginkanya. Rasul dengan senang hati mengabulkan permintaan mereka.
Ketika Rasul menjadi ‘unta’ (empat dari tujuh rangkaian tulisan memperingati maulid nabi)
Alkisah, suatu hari Rasul berjalan di lorong gang menuju Masjid, lalu berjumpa dengan anak-anak yang tengah bermain. Saat melihat Rasul, anak-anak segera merangkulnya seraya berkata: “كن جملي”
“Ayolah jadi untaku.!” Karena kerap melihat Hasan dan Husain melakukan hal yang sama pada Rasul, mereka pun menginginkanya. Rasul dengan senang hati mengabulkan permintaan mereka.
Suasana (catatan kenangan bulan maret 2011)
Suasana Pagi.
Matahari terbit malu-malu di mulut cakrawala. Masih ada rembulan yang bertengger di penghujung barat. Mungkin itu penyebab matahari terlihat malu-malu untuk tampil. Meski demikian, ada semangat yang bergelora bersemayam pada para pelajar yang bersiap untuk berangkat sekolah. Sebelum matahari sempurna memberitahukan waktu Dhuha, waktu belajar di sekolah memang sudah akan dilaksanakan. Tidak heran banyak pelajar yang begitu semangat mempersiapkan diri, tidak menunggu keberanian matahari sempurna.
Matahari terbit malu-malu di mulut cakrawala. Masih ada rembulan yang bertengger di penghujung barat. Mungkin itu penyebab matahari terlihat malu-malu untuk tampil. Meski demikian, ada semangat yang bergelora bersemayam pada para pelajar yang bersiap untuk berangkat sekolah. Sebelum matahari sempurna memberitahukan waktu Dhuha, waktu belajar di sekolah memang sudah akan dilaksanakan. Tidak heran banyak pelajar yang begitu semangat mempersiapkan diri, tidak menunggu keberanian matahari sempurna.
Labels:
Cerpen,
Sepenggal Kenangan dan Harapan
anak lelaki dan anak perempuan
Siang ini terik sekali.
Silahkan letakkan sosis dan daging sapi tenderloin di atas kepalaku, mungkin akan kau dapati sosis panggang nan lezat dan daging panggang well done.
Sayang, dokter melarangku mengkonsumsi daging merah.
Dan terik matahari yang menyengat siang ini membuatku malas menuju toko material untuk membeli cat berwarna biru.
Di dalam taman yang berpasir di bawah pancaran matahari yang garang, aku melihat seorang anak lelaki menodongkan pistolnya ke arah seorang anak perempuan.
Sama sekali tidak ada rasa takut di wajah anak perempuan itu.
Senyum diuntainya semanis warna pelangi dan matanya mengerling saja menantang pistol mainan itu.
Mungkin nalurinya sebagai seorang perempuan sudah mulai mengajarkan padanya, bahwa setiap lelaki pada akhirnya akan tekuk lutut di kerling mata perempuan.
Ah.
Kenapa pikiranku melantur kemana-mana? Ini pasti karena sengatan sinar matahari yang begitu terik hingga melelehkan pikiran waras yang biasanya terjalin utuh di dalam kepalaku.
Atau... mungkin ini karena dokter yang tega-teganya melarangku memakan daging berwarna merah hingga pikiranku liar berkeliaran.
Tapi... hei! Anak lelaki itu menurunkan pistol mainannya.
Ajaib sekali jagoan kecil itu bisa luluh begitu saja hanya karena sebuah senyuman.
Padahal beberapa menit sebelumnya, sudah dua orang anak menjadi korban keganasan pistol mainannya.
Bahkan larangan untuk tidak mengganggu teman yang keluar dari mulut ibunya pun tidak dia dengar dan dianggap angin lalu saja.
(seharusnya anakku sudah berhenti bermain setengah jam yang lalu. Tapi, aku masih asyik memperhatikan tingkah polah anak lelaki itu. Anak lelaki pengganggu; Anak lelaki yang ingin dianggap jagoan; Anak lelaki yang petantang petenteng dengan pistol mainan dan menakuti anak-anak lain).
"Ayo, kita main lagi."
"Nggak mau ah, pistolnya dibuang dulu." (lalu pluk... pistol itu dilempar begitu saja ke atas pasir).
"Sekarang sudah bisa main?"
"Boleh, tapi jangan nakal ya mainnya."
"Iya, aku nggak nakal."
"Nggak boleh nangisin yang lain juga ya?"
"Iya, aku nggak. Ayo, main lagi."
"Eh... sudah cukup ya mainnya. Sudah jam dua belas siang nih. Sebentar lagi adzan dzuhur. Besok saja main lagi. Ayo Hawna, kita pulang."
"Eh, aku pulang dulu ya. Bye."
(Lalu aku melihat wajah anak lelaki yang ditinggalkan oleh Hawna itu. Kasihan memang, sudah berkorban tapi akhirnya ditinggalkan juga. Tapi, memang sudah siang sekali sih. Kemudian aku melirik ke arah anak perempuan yang memiliki senyum seindah pelangi di sisiku. Dia masih merajut senyum itu di wajahnya. "Bagus nak, kekuatan seorang perempuan itu memang dengan menjadi seorang perempuan yang seutuhnya jika kamu ingin sama kuat dan sama dihargainya oleh lawan jenismu. Berusaha keras untuk melawan keistimewaan sebagai seorang perempuan selamanya tidak akan membawa kemenangan, pada siapapun dan apapun."). Duh, aku melantur lagi nih. Pasti ini karena sinar matahari yang terik banget dan larangan dokter agar aku tidak lagi mengkonsumsi daging merah. Huh!
----------
Penulis: Ade Anita (pada siang hari yang amat terik di hari rabu, 2 maret 2011).
Silahkan letakkan sosis dan daging sapi tenderloin di atas kepalaku, mungkin akan kau dapati sosis panggang nan lezat dan daging panggang well done.
Sayang, dokter melarangku mengkonsumsi daging merah.
Dan terik matahari yang menyengat siang ini membuatku malas menuju toko material untuk membeli cat berwarna biru.
Di dalam taman yang berpasir di bawah pancaran matahari yang garang, aku melihat seorang anak lelaki menodongkan pistolnya ke arah seorang anak perempuan.
Sama sekali tidak ada rasa takut di wajah anak perempuan itu.
Senyum diuntainya semanis warna pelangi dan matanya mengerling saja menantang pistol mainan itu.
Mungkin nalurinya sebagai seorang perempuan sudah mulai mengajarkan padanya, bahwa setiap lelaki pada akhirnya akan tekuk lutut di kerling mata perempuan.
Ah.
Kenapa pikiranku melantur kemana-mana? Ini pasti karena sengatan sinar matahari yang begitu terik hingga melelehkan pikiran waras yang biasanya terjalin utuh di dalam kepalaku.
Atau... mungkin ini karena dokter yang tega-teganya melarangku memakan daging berwarna merah hingga pikiranku liar berkeliaran.
Tapi... hei! Anak lelaki itu menurunkan pistol mainannya.
Ajaib sekali jagoan kecil itu bisa luluh begitu saja hanya karena sebuah senyuman.
Padahal beberapa menit sebelumnya, sudah dua orang anak menjadi korban keganasan pistol mainannya.
Bahkan larangan untuk tidak mengganggu teman yang keluar dari mulut ibunya pun tidak dia dengar dan dianggap angin lalu saja.
(seharusnya anakku sudah berhenti bermain setengah jam yang lalu. Tapi, aku masih asyik memperhatikan tingkah polah anak lelaki itu. Anak lelaki pengganggu; Anak lelaki yang ingin dianggap jagoan; Anak lelaki yang petantang petenteng dengan pistol mainan dan menakuti anak-anak lain).
"Ayo, kita main lagi."
"Nggak mau ah, pistolnya dibuang dulu." (lalu pluk... pistol itu dilempar begitu saja ke atas pasir).
"Sekarang sudah bisa main?"
"Boleh, tapi jangan nakal ya mainnya."
"Iya, aku nggak nakal."
"Nggak boleh nangisin yang lain juga ya?"
"Iya, aku nggak. Ayo, main lagi."
"Eh... sudah cukup ya mainnya. Sudah jam dua belas siang nih. Sebentar lagi adzan dzuhur. Besok saja main lagi. Ayo Hawna, kita pulang."
"Eh, aku pulang dulu ya. Bye."
(Lalu aku melihat wajah anak lelaki yang ditinggalkan oleh Hawna itu. Kasihan memang, sudah berkorban tapi akhirnya ditinggalkan juga. Tapi, memang sudah siang sekali sih. Kemudian aku melirik ke arah anak perempuan yang memiliki senyum seindah pelangi di sisiku. Dia masih merajut senyum itu di wajahnya. "Bagus nak, kekuatan seorang perempuan itu memang dengan menjadi seorang perempuan yang seutuhnya jika kamu ingin sama kuat dan sama dihargainya oleh lawan jenismu. Berusaha keras untuk melawan keistimewaan sebagai seorang perempuan selamanya tidak akan membawa kemenangan, pada siapapun dan apapun."). Duh, aku melantur lagi nih. Pasti ini karena sinar matahari yang terik banget dan larangan dokter agar aku tidak lagi mengkonsumsi daging merah. Huh!
----------
Penulis: Ade Anita (pada siang hari yang amat terik di hari rabu, 2 maret 2011).
Labels:
parenting,
Sepenggal Kenangan dan Harapan
karya spontan yang menakjubkan a la Adrian Kelana
Menjelang malam, ketika menunggu Leonardo De Caprio beraksi kembali di film Black Diamondnya di televisi, pada jeda iklan saya membuka facebook lewat hape. Pandangan saya tertuju pada sebuah status yang menurut saya lucu. Begini isinya:
Adrian Kelana:
Regues tengah malam .silahkan menuliskan judul dibawah ini. Semata mata ini untuk melatih ketajaman imajinasi yang digerakan oleh hati.
Dan yang ingin komen kritik maupun saran .sangat saya nantikan dengan kerendahan hati rimba kelana.salam
Saya lalu berpikir, "ini orang iseng banget sih." Tapi, setelah dipikir-pikir, rasanya apa yang dia lakukan sesungguhnya adalah sesuatu yang menakjubkan. Saya melihat ini adalah usaha dia untuk memberi tugas pada dirinya sendiri agar terus menggali potensi yang dia miliki, yang dia sadari benar keberadaannya. Yaitu, kemampuan untuk bisa menulis apa saja dan dalam keadaan apapun.
Bagi saya, yang notabene seorang penulis pemula, apa yang dia lakukan itu terus terang belum bisa saya lakukan. Saya masih terpaku pada mood. Jika ada tawaran menulis, saya masih melihat dulu apa yang membuat tawaran itu menarik untuk diikuti. Biasanya, saya akan ikut tawaran menulis yang mencakup:
- Tema yang saya kuasa (artinya, saya tahu bagaimana saya harus menciptakan tokoh dalam cerita itu dan saya tahu mau apa dengan tema itu. Ini implikasinya, biasanya membuat saya harus berpikir cukup lama terlebih dahulu, lalu dilanjutkan dengan proses perenungan, barulah kemudian bisa menulis).
- Tema dimana saya tahu pasti kondisi bolak baliknya (saya selalu merasa kesulitan jika harus menulis sesuatu yang saya tidak tahu pasti seperti apa kondisi aslinya. ITu sebabnya, sebelum menulis biasanya saya mencari tahu dulu lewat media tentang berita terkait).
- Tema dimana batas imajinasi saya bisa mencakupnya (kadang, imajinasi saya sering harus berbenturan dengan nilai idealis dalam kepala saya. Akhinya, imajinasi saya terbentur dan terkotak. Tapi, sampai detik ini, tidak pernah saya berusaha untuk mendobrak dinding nilai idealis tersebut. Saya terus mempertahankannya. Jadi, sering sebuah tawaran menulis yang saya temui, terpaksa saya abaikan karena saya tidak mau berimajinasi dimana imajinasi tersebut bisa meretakkan dinding nilai idealis yang ada di kepala saya).
- Tawaran itu berasal dari mana (duh, ini bersifat amat sangat subjektif sebenarnya. Seorang penulis yang baik seharusnya tidak boleh memiliki pendapat ini. Tapi demikianlah apa yang saya masih miliki. Saya selalu melihat, latar belakang pengajak.)
- Terakhir, tema tersebut tidak akan menghasilkan persepsi negatif dalam benak orang lain terhadap saya dan keluarga saya (hehe, saya selalu menghindari menulis sesuatu yang bersifat amat sensitif pada orang-orang terdekat saya. Menulis itu adalah hobbi dan proses kreatif, tapi menjaga silaturahim adalah sebuah kewajiban, dan menutupi aib seseorang adalah sesuatu yang seharusnya ditegakkan).
Baik. Kita kembali pada status Adrian Kelana. Pagi ini, 19 maret 2011, pk. 06.27 WIB, saya membuka kembali status Adrian Kelana dan akhirnya terkagum sendiri. Ternyata, dia berhasil memenuhi kebutuhan kreatifitasnya dalam waktu satu malam. Seperti radio yang menyediakan acara permintaan lagu, demikianlah Adrian Kelana memuaskan para pemesan tulisan di statusnya. Berikut jawaban dari statusnya:
Lya Descanova "KETIKA HATI MASIH MENDAMBAKAN CINTA ITU NAMUN CINTA YANG LAIN MENYAPA"
7 hours ago · Like · 1 person
Boru Sasada Siregar Mas aku reques lagi ya...
" Kan ku kenang selalu "
7 hours ago · Like
Ade Anita enyahlah kau dari cakrawala itu
7 hours ago · Like
Evinia Kristanti Sayang untuk Bunda ku..
7 hours ago · Like
Adrian Kelana
@ lya.
@ tersapu cinta yang baru @
jalan ini masih teramat panjang untuk kita lalui
semak belukar telah menoreh luka pada telapak kaki kita
namun kita tetap seayun menuju titik harapan
saat jejak hampir sampai pada tikungan ketujuh
mataku disamun senyum bunga di pinggir jalan
keraguan bergejolak melawan arus
kasih kita tersapu cinta yang baru
by.adrian kelana
7 hours ago · Like · 2 people
Adrian Kelana
@ boru .
@ kan ku kenang slalu @
begitu banyak cerita yang telah kita torehkan
suka duka melebur dalam satu bejana
tanggis tawa yang pernah kita nikmati bersama
namun kini arah telah bersimpang jalan
semua tinggal cerita yang akan ku kenang slalu
by.adrian kelana
7 hours ago · Like · 1 person
Boru Sasada Siregar Thanx ya mas, sempurna....
7 hours ago · Like
Adrian Kelana
@ ade.
@ enyahlah kau dari cakrawala itu @
terlalu lama kau tudung pertiwi dengan selendang dosamu
pandangku samar oleh tingkahmu tuan
kini enyahlah kau dari cakrawala negriku
aku muak mendengar janji palsumu
by.adrian kelana
6 hours ago · Unlike · 2 people
Adrian Kelana
@ evinia.
@ sayang untuk bunda @
bunda, tak mampu aku menghitung tetes tetes kasih yang kau beri
tak sanggup aku mengganti darah yang tertumpah
kini dalam sujud tak henti ku simpul doa buatmu
sebagai sembah bakti sayangku padamu
oh ibundaku tersayang
by.adrian kelana
6 hours ago · Like · 2 people
Andi Nurmiyati Mapangandro Rinduku untuk rimba kelanamu ^_^
6 hours ago · Like
Adrian Kelana
@ andi nur.
@ rindumu untuk rimba kelana @
kau slalu diam menyelam sunyi
menatap dari sebalik awan putih
sesekali tatapmu jatuh di bawah rimbaku
kusambut dengan salam jabat erat jiwaku
saat kabut menyamun pandangmu
ku lihat kau gundah menahan rindu
angin bertanya pada hatimu
kau jawab ada rindu pada bait rimba kelana itu
kini aku yang diam membaca jejak
pantaskah bait purbaku tuk dirindu?
By.adrian kelana
6 hours ago · Like · 2 people
Sepertinya, sebagai penulis pemula, saya memang masih harus banyak belajar dari mas Adrian Kelana dan penulis lain yang lebih senior ya. Hebat sekali beliau.
------------
Penulis: Ade Anita
Adrian Kelana:
Regues tengah malam .silahkan menuliskan judul dibawah ini. Semata mata ini untuk melatih ketajaman imajinasi yang digerakan oleh hati.
Dan yang ingin komen kritik maupun saran .sangat saya nantikan dengan kerendahan hati rimba kelana.salam
Saya lalu berpikir, "ini orang iseng banget sih." Tapi, setelah dipikir-pikir, rasanya apa yang dia lakukan sesungguhnya adalah sesuatu yang menakjubkan. Saya melihat ini adalah usaha dia untuk memberi tugas pada dirinya sendiri agar terus menggali potensi yang dia miliki, yang dia sadari benar keberadaannya. Yaitu, kemampuan untuk bisa menulis apa saja dan dalam keadaan apapun.
Bagi saya, yang notabene seorang penulis pemula, apa yang dia lakukan itu terus terang belum bisa saya lakukan. Saya masih terpaku pada mood. Jika ada tawaran menulis, saya masih melihat dulu apa yang membuat tawaran itu menarik untuk diikuti. Biasanya, saya akan ikut tawaran menulis yang mencakup:
- Tema yang saya kuasa (artinya, saya tahu bagaimana saya harus menciptakan tokoh dalam cerita itu dan saya tahu mau apa dengan tema itu. Ini implikasinya, biasanya membuat saya harus berpikir cukup lama terlebih dahulu, lalu dilanjutkan dengan proses perenungan, barulah kemudian bisa menulis).
- Tema dimana saya tahu pasti kondisi bolak baliknya (saya selalu merasa kesulitan jika harus menulis sesuatu yang saya tidak tahu pasti seperti apa kondisi aslinya. ITu sebabnya, sebelum menulis biasanya saya mencari tahu dulu lewat media tentang berita terkait).
- Tema dimana batas imajinasi saya bisa mencakupnya (kadang, imajinasi saya sering harus berbenturan dengan nilai idealis dalam kepala saya. Akhinya, imajinasi saya terbentur dan terkotak. Tapi, sampai detik ini, tidak pernah saya berusaha untuk mendobrak dinding nilai idealis tersebut. Saya terus mempertahankannya. Jadi, sering sebuah tawaran menulis yang saya temui, terpaksa saya abaikan karena saya tidak mau berimajinasi dimana imajinasi tersebut bisa meretakkan dinding nilai idealis yang ada di kepala saya).
- Tawaran itu berasal dari mana (duh, ini bersifat amat sangat subjektif sebenarnya. Seorang penulis yang baik seharusnya tidak boleh memiliki pendapat ini. Tapi demikianlah apa yang saya masih miliki. Saya selalu melihat, latar belakang pengajak.)
- Terakhir, tema tersebut tidak akan menghasilkan persepsi negatif dalam benak orang lain terhadap saya dan keluarga saya (hehe, saya selalu menghindari menulis sesuatu yang bersifat amat sensitif pada orang-orang terdekat saya. Menulis itu adalah hobbi dan proses kreatif, tapi menjaga silaturahim adalah sebuah kewajiban, dan menutupi aib seseorang adalah sesuatu yang seharusnya ditegakkan).
Baik. Kita kembali pada status Adrian Kelana. Pagi ini, 19 maret 2011, pk. 06.27 WIB, saya membuka kembali status Adrian Kelana dan akhirnya terkagum sendiri. Ternyata, dia berhasil memenuhi kebutuhan kreatifitasnya dalam waktu satu malam. Seperti radio yang menyediakan acara permintaan lagu, demikianlah Adrian Kelana memuaskan para pemesan tulisan di statusnya. Berikut jawaban dari statusnya:
Lya Descanova "KETIKA HATI MASIH MENDAMBAKAN CINTA ITU NAMUN CINTA YANG LAIN MENYAPA"
7 hours ago · Like · 1 person
Boru Sasada Siregar Mas aku reques lagi ya...
" Kan ku kenang selalu "
7 hours ago · Like
Ade Anita enyahlah kau dari cakrawala itu
7 hours ago · Like
Evinia Kristanti Sayang untuk Bunda ku..
7 hours ago · Like
Adrian Kelana
@ lya.
@ tersapu cinta yang baru @
jalan ini masih teramat panjang untuk kita lalui
semak belukar telah menoreh luka pada telapak kaki kita
namun kita tetap seayun menuju titik harapan
saat jejak hampir sampai pada tikungan ketujuh
mataku disamun senyum bunga di pinggir jalan
keraguan bergejolak melawan arus
kasih kita tersapu cinta yang baru
by.adrian kelana
7 hours ago · Like · 2 people
Adrian Kelana
@ boru .
@ kan ku kenang slalu @
begitu banyak cerita yang telah kita torehkan
suka duka melebur dalam satu bejana
tanggis tawa yang pernah kita nikmati bersama
namun kini arah telah bersimpang jalan
semua tinggal cerita yang akan ku kenang slalu
by.adrian kelana
7 hours ago · Like · 1 person
Boru Sasada Siregar Thanx ya mas, sempurna....
7 hours ago · Like
Adrian Kelana
@ ade.
@ enyahlah kau dari cakrawala itu @
terlalu lama kau tudung pertiwi dengan selendang dosamu
pandangku samar oleh tingkahmu tuan
kini enyahlah kau dari cakrawala negriku
aku muak mendengar janji palsumu
by.adrian kelana
6 hours ago · Unlike · 2 people
Adrian Kelana
@ evinia.
@ sayang untuk bunda @
bunda, tak mampu aku menghitung tetes tetes kasih yang kau beri
tak sanggup aku mengganti darah yang tertumpah
kini dalam sujud tak henti ku simpul doa buatmu
sebagai sembah bakti sayangku padamu
oh ibundaku tersayang
by.adrian kelana
6 hours ago · Like · 2 people
Andi Nurmiyati Mapangandro Rinduku untuk rimba kelanamu ^_^
6 hours ago · Like
Adrian Kelana
@ andi nur.
@ rindumu untuk rimba kelana @
kau slalu diam menyelam sunyi
menatap dari sebalik awan putih
sesekali tatapmu jatuh di bawah rimbaku
kusambut dengan salam jabat erat jiwaku
saat kabut menyamun pandangmu
ku lihat kau gundah menahan rindu
angin bertanya pada hatimu
kau jawab ada rindu pada bait rimba kelana itu
kini aku yang diam membaca jejak
pantaskah bait purbaku tuk dirindu?
By.adrian kelana
6 hours ago · Like · 2 people
Sepertinya, sebagai penulis pemula, saya memang masih harus banyak belajar dari mas Adrian Kelana dan penulis lain yang lebih senior ya. Hebat sekali beliau.
------------
Penulis: Ade Anita
Perempuan oh Perempuan
Perempuan oh Perempuan
by Ade Anita on Tuesday, 14 June 2011 at 09:38 (posting on my facebook)
(tulisan iseng untuk melepas kangen)
Akhirnya, alhamdulillah berat badanku turun 4 (baca: empat) kilogram dalam kurun waktu 3 (baca: tiga) pekan. Senangnya.
Loh? Bingung kan kok tumben-tumbennya menulis curhat gini. Hehehe. Yup, benar. Aku memang termasuk perempuan yang bisa dikatakan (sebenarnya kata yang tepat adalah 'seharusnya dimasukkan') dalam kategori kelebihan berat badan. Semula, aku tenang-tenang saja karena setiap kali bertemu teman-teman yang tidak tahu masa laluku (yang bertubuh langsing dan semampai.. huaaaaa..huhuhu; hiks.. tinggal kenangan), tidak ada yang menanyakan apakah aku gemuk atau kurus. Asyik-asyik saja.
"Hai.. apa kabar?".
Tapi coba jika bertemu dengan teman lama, pasti komentar pertama yang keluar dari mulut mereka adalah:
" Hai, Ade, apa kabar? Waduh, kok gemuk banget sekarang?"... Begh. Terasa ada satu tinju yang menimpa dadaku.
Tapi, ada lagi satu pertanyaan yang menurutku paling sadis yang dilontarkan oleh seseorang, yaitu jika dia dengan tanpa dosa bertanya:
"Hai, Ade. Eh... kamu... kamu sekarang lagi hamil ya? Isi lagi ya?" Huaaaaaaaaaaaa..... hiks..hiks.. hiks.. ini kan penghinaan super duper besar-besaran banget. Karena orang hamil itu, yang besar dan melebar itu bukan cuma perutnya saja, tapi juga betisnya, telapak kakinya, pinggulnya, dadanya, lengannya tapi tidak pernah isi dompetnya.
Paling sebel jika bertemu seseorang dan dia langsung nembak, "Hamil lagi ya?". Percaya deh, rasanya seperti sedang berada di atas ring dan terasa ada puluhan tinju yang dilontarkan pada wajah dan dada kita. Yang kita harapkan kemudian hanya satu, wasit berkata, time out.. time out.
(jadi ingat sodara-sodara, jika bertemu dengan seorang perempuan (baca: ade anita) jangan pernah bertanya seperti ini kecuali jika kamu masih mengenakan helm di kepalamu.. karena mungkin aku akan menjotos hidungmu. hehehehehe)
Oke... back on track.
Kesadaranku bahwa aku harus berubah menjadi lebih sehat (baca: langsing) adalah ketika kakiku sakit ketika dipakai untuk berjalan. Setelah diperiksa ke dokter, ternyata ada ketidak seimbangan antara bentuk kaki dan bentuk badan (baca: tidak kompak antara size kaki dan size body). Kakiku tidak kuat menyanggah berat badan dan berat beban yang disandang di pundak (oh ya, aku punya anak kecil balita; jadi kemana-mana selalu menenteng tas besar yang komplete banget isinya. Mulai dari persiapan jika si kecil mendadak sakit seperti hansplast, obat merah, obat tetes mata, obat penurun panas, termometer; lalu perlengkapan jika ada kejadian yang tidak diinginkan oleh si kecil seperti baju dan celana ganti, jaket, pampers, bedak, minyak kayu putih; juga perlengkapan jika jalanan macet dan terjebak di tengah jalan seperti makanan kecil, minuman, mainan, buku tulis plus alat tulis, gunting kecil, novel, al quran kecil, serta perlengkapan yang tidak boleh ditinggal karena memang penting yaitu payung, dompet, hp, perlengkapan shalat. Semua barang-barang ini aku bawa semua, dipacking kecil-kecil dan diselipkan rapi di dalam tas. Jadi, dari luar sepertinya tas sederhana, tapi isinya mirip kantong Doraemon. Kenapa dibawa semua dalam tas? Karena aku tidak punya kendaraan pribadi; jadi kemana-mana semua barang-barang ini harus diikut sertakan). Semula, dokter juga heran ketika aku kembali dengan keluhan yang sama, "Kakiku sakit dok."... Lalu dia menimbang tas yang aku sandang, ternyata beratnya lebih berat dari beras 5 kg. hahahahaha.
Ya sudah. Akhirnya, solusi pertama diambil. Beban tasku dibagi. Sebagian dibawa oleh anakku yang sudah besar. Lumayan ringan meski tetap berat.
Lalu keluhan kaki sakit belum juga berkurang. Hingga akhirnya, "Mungkin kamu harus diet deh."
"Hah? Diet?" (mendengar permintaan dokterku ini, yang terbayang adalah suasana perpisahan dengan hobby wisata kulinerku).
Lalu, ini susunan diet yang disarankan oleh dokter keluargaku (baca: susunan penyiksaan yang harus dijalankan):
Pagi:
pilihan pertama: susu kedelai boleh (tapi tanpa gula, madu). Lalu havermut (juga tanpa madu atau garam atau gula. Beri kacang-kacangan saja).
pilihan kedua: nasi 5 sendok makan plus lauk satu atau dua potong.
Siang: kembali: nasi 5 sendok makan plus lauk maksimal dua potong plus sayur mayur dibanyakin.
Malam: hanya boleh 1 butir apel saja.
Cemilan: teh herbal atau buah-buahan saja (ini yang berat).
Akhirnya, aku praktekin.
Hasilnya?
Hari pertama, tengah malam perutku keroncongan.
Hari kedua, aku mengerti sepenuhnya apa itu rasanya kelaparan. Astaga, aku bisa mendengar suara gemerucuk di perutku sendiri, luar biasa kan?
Hari ketiga, hmm.. mohon maaf untuk semua roommate karena perut ibu banyak gasnya karena ruang kosongnya tidak ada lagi penghuninya.
Hari keempat, sudah mulai terbiasa (baik tubuh ini maupun seluruh roommates).
Hari kelima, ini weekend. Saatnya untuk memanjakan diri dengan makan di luar dan it's amazing... selera makanku tiba-tiba tidak lagi tinggi.
Hari keenam, merasa bersalah ketika harus menghabiskan dua piring nasi padang (uh, ini gara-gara ayam gulainya yang nikmatnya hingga ke dalam tulangnya). Untungnya, si apel yang dimakan di waktu malam bekerja dengan baik menguras isi perut di pagi hari.
Lalu, tiga pekan kemudian, tiba-tiba celana panjang dan rokku kedodoran semua. Aduh.. deg degan... ada apa ini? Lalu.. perlahan menghampiri satu benda yang amat sangat aku hindari selama ini (sempat sebal dengan penemu benda ini sebenarnya).... : timbangan.
Dan... Waaaahhh.. beratku turun 4 kg!!
HOREEE
HOREEE
Senangnya rasa hati. Akhirnya, aku langsung pergi ke tukang kebab dan merayakannya dengan membeli kebab (ukuran small). Semua roommates ditraktir. Semua gembira.. semua senang... hingga ada satu komentar dari anak sulungku:
"Ini kita merayakan apa bu?"
"Berat badan ibu turun 4 kg?"
"Lah? Kebabnya?"
Ups... (cengar-cengir salah tingkah).
"Tenang nak, nanti kalau berat ibu dah kembali ke 60, kita akan merayakannya di Pizzahuts."
"Bagus bu, teruskan, aku dukung, meski ini salah banget sebenarnya." (kembali cengar cengir).
Tapi sebenarnya selain susunan diet di atas, ada juga daftar olahraga yang harus dijalankan (jalan dengan langkah aerobik dan kegiatan naik turun tangga penyeberangan di atas jalan tol dekat rumah adalah salah satunya).
Semalam, ngobrol dengan beberapa orang teman. Salah satu dari mereka prihatin, kenapa harus perempuan yang repot dengan urusan beginian, padahal perempuan itu sudah mendapat banyak tugas seperti melahirkan, menyusui, dan sebagainya. Aku sih ringan-ringan saja menanggapinya. "Karena yang ingin tampil cantik itu memang perempuan."
Aku punya teman, seorang pria. Jika saja dia hadir saat ini, mungkin dia akan dimasukkan ke dalam golongan pria metroseksual. Kenapa? Karena dia amat sangat memperhatikan kemolekan penampilannya. Pakai lipglos, pelembab wajah, minyak wangi, facial saban weekend, creambath, luluran adalah hal-hal yang rutin dia kerjakan. Hasilnya? Uh... merepotkan sangat. Ketika aku ajak dia pergi ke suatu tempat yang bernama "turun lapangan" komentarnya satu, "aduh, panas banget, nanti kulitku kebakar deh. Aku nggak bawa suncream." Terbayang jika dia jadi pasanganku, bisa-bisa anggaran untuk memanjakan diri mungkin lebih banyak ketimbang untuk kebutuhan sehari-hari.
Nah, kalau sudah begini? Pilih mana, lelaki yang juga ikut merepotkan kemolekan fisik mereka atau cukup perempuan saja yang direpotkan dengan urusan kecantikan ini? Aku sih pilih cukup perempuan saja (hehehe, ini masalahnya bukan persamaan hak, tapi mempertahankan hak. Sebal juga kalau hak kita untuk memanjakan diri harus disaingi seperti ini. Coba kalau ternyata pasangan kita yang berhasil dalam menjaga kemolekan tubuhnya ketimbang kita? Nah loh? Bisa berabe kan?).
Jadi.. ya sudahlah...yang penting ikhlas melaksanakannya karena hati yang ikhlaslah yang akan membawa kebahagiaan.
Btw, Sudah berapa lama anda membaca tulisanku ini? Lima menit? Coba tambahkan dengan keseluruhan aktifitas di depan facebook sebelumnya? Sudah lebih dari lima belas menitkah? Jika sudah, itu artinya tulisan ini harus berakhir dan sebaiknya kalian yang sedang membaca bangun dari kursi dan ambil gerakan berdiri lalu berjalan memutari ruangan sejenak saja. Ini penting untuk melemaskan otot yang kaku dan mencegah terjadinya pengapuran pada tulang atau osteoporosis.
Terima kasih!
---------------
Penulis: Ade Anita (hehehe, maaf ya cuma tulisan iseng untuk melemaskan jemari lagi setelah vakum menulis selama beberapa bulan karenba berbagai kesibukan).
Jakarta, 14 Juni 2011
by Ade Anita on Tuesday, 14 June 2011 at 09:38 (posting on my facebook)
(tulisan iseng untuk melepas kangen)
Akhirnya, alhamdulillah berat badanku turun 4 (baca: empat) kilogram dalam kurun waktu 3 (baca: tiga) pekan. Senangnya.
Loh? Bingung kan kok tumben-tumbennya menulis curhat gini. Hehehe. Yup, benar. Aku memang termasuk perempuan yang bisa dikatakan (sebenarnya kata yang tepat adalah 'seharusnya dimasukkan') dalam kategori kelebihan berat badan. Semula, aku tenang-tenang saja karena setiap kali bertemu teman-teman yang tidak tahu masa laluku (yang bertubuh langsing dan semampai.. huaaaaa..huhuhu; hiks.. tinggal kenangan), tidak ada yang menanyakan apakah aku gemuk atau kurus. Asyik-asyik saja.
"Hai.. apa kabar?".
Tapi coba jika bertemu dengan teman lama, pasti komentar pertama yang keluar dari mulut mereka adalah:
" Hai, Ade, apa kabar? Waduh, kok gemuk banget sekarang?"... Begh. Terasa ada satu tinju yang menimpa dadaku.
Tapi, ada lagi satu pertanyaan yang menurutku paling sadis yang dilontarkan oleh seseorang, yaitu jika dia dengan tanpa dosa bertanya:
"Hai, Ade. Eh... kamu... kamu sekarang lagi hamil ya? Isi lagi ya?" Huaaaaaaaaaaaa..... hiks..hiks.. hiks.. ini kan penghinaan super duper besar-besaran banget. Karena orang hamil itu, yang besar dan melebar itu bukan cuma perutnya saja, tapi juga betisnya, telapak kakinya, pinggulnya, dadanya, lengannya tapi tidak pernah isi dompetnya.
Paling sebel jika bertemu seseorang dan dia langsung nembak, "Hamil lagi ya?". Percaya deh, rasanya seperti sedang berada di atas ring dan terasa ada puluhan tinju yang dilontarkan pada wajah dan dada kita. Yang kita harapkan kemudian hanya satu, wasit berkata, time out.. time out.
(jadi ingat sodara-sodara, jika bertemu dengan seorang perempuan (baca: ade anita) jangan pernah bertanya seperti ini kecuali jika kamu masih mengenakan helm di kepalamu.. karena mungkin aku akan menjotos hidungmu. hehehehehe)
Oke... back on track.
Kesadaranku bahwa aku harus berubah menjadi lebih sehat (baca: langsing) adalah ketika kakiku sakit ketika dipakai untuk berjalan. Setelah diperiksa ke dokter, ternyata ada ketidak seimbangan antara bentuk kaki dan bentuk badan (baca: tidak kompak antara size kaki dan size body). Kakiku tidak kuat menyanggah berat badan dan berat beban yang disandang di pundak (oh ya, aku punya anak kecil balita; jadi kemana-mana selalu menenteng tas besar yang komplete banget isinya. Mulai dari persiapan jika si kecil mendadak sakit seperti hansplast, obat merah, obat tetes mata, obat penurun panas, termometer; lalu perlengkapan jika ada kejadian yang tidak diinginkan oleh si kecil seperti baju dan celana ganti, jaket, pampers, bedak, minyak kayu putih; juga perlengkapan jika jalanan macet dan terjebak di tengah jalan seperti makanan kecil, minuman, mainan, buku tulis plus alat tulis, gunting kecil, novel, al quran kecil, serta perlengkapan yang tidak boleh ditinggal karena memang penting yaitu payung, dompet, hp, perlengkapan shalat. Semua barang-barang ini aku bawa semua, dipacking kecil-kecil dan diselipkan rapi di dalam tas. Jadi, dari luar sepertinya tas sederhana, tapi isinya mirip kantong Doraemon. Kenapa dibawa semua dalam tas? Karena aku tidak punya kendaraan pribadi; jadi kemana-mana semua barang-barang ini harus diikut sertakan). Semula, dokter juga heran ketika aku kembali dengan keluhan yang sama, "Kakiku sakit dok."... Lalu dia menimbang tas yang aku sandang, ternyata beratnya lebih berat dari beras 5 kg. hahahahaha.
Ya sudah. Akhirnya, solusi pertama diambil. Beban tasku dibagi. Sebagian dibawa oleh anakku yang sudah besar. Lumayan ringan meski tetap berat.
Lalu keluhan kaki sakit belum juga berkurang. Hingga akhirnya, "Mungkin kamu harus diet deh."
"Hah? Diet?" (mendengar permintaan dokterku ini, yang terbayang adalah suasana perpisahan dengan hobby wisata kulinerku).
Lalu, ini susunan diet yang disarankan oleh dokter keluargaku (baca: susunan penyiksaan yang harus dijalankan):
Pagi:
pilihan pertama: susu kedelai boleh (tapi tanpa gula, madu). Lalu havermut (juga tanpa madu atau garam atau gula. Beri kacang-kacangan saja).
pilihan kedua: nasi 5 sendok makan plus lauk satu atau dua potong.
Siang: kembali: nasi 5 sendok makan plus lauk maksimal dua potong plus sayur mayur dibanyakin.
Malam: hanya boleh 1 butir apel saja.
Cemilan: teh herbal atau buah-buahan saja (ini yang berat).
Akhirnya, aku praktekin.
Hasilnya?
Hari pertama, tengah malam perutku keroncongan.
Hari kedua, aku mengerti sepenuhnya apa itu rasanya kelaparan. Astaga, aku bisa mendengar suara gemerucuk di perutku sendiri, luar biasa kan?
Hari ketiga, hmm.. mohon maaf untuk semua roommate karena perut ibu banyak gasnya karena ruang kosongnya tidak ada lagi penghuninya.
Hari keempat, sudah mulai terbiasa (baik tubuh ini maupun seluruh roommates).
Hari kelima, ini weekend. Saatnya untuk memanjakan diri dengan makan di luar dan it's amazing... selera makanku tiba-tiba tidak lagi tinggi.
Hari keenam, merasa bersalah ketika harus menghabiskan dua piring nasi padang (uh, ini gara-gara ayam gulainya yang nikmatnya hingga ke dalam tulangnya). Untungnya, si apel yang dimakan di waktu malam bekerja dengan baik menguras isi perut di pagi hari.
Lalu, tiga pekan kemudian, tiba-tiba celana panjang dan rokku kedodoran semua. Aduh.. deg degan... ada apa ini? Lalu.. perlahan menghampiri satu benda yang amat sangat aku hindari selama ini (sempat sebal dengan penemu benda ini sebenarnya).... : timbangan.
Dan... Waaaahhh.. beratku turun 4 kg!!
HOREEE
HOREEE
Senangnya rasa hati. Akhirnya, aku langsung pergi ke tukang kebab dan merayakannya dengan membeli kebab (ukuran small). Semua roommates ditraktir. Semua gembira.. semua senang... hingga ada satu komentar dari anak sulungku:
"Ini kita merayakan apa bu?"
"Berat badan ibu turun 4 kg?"
"Lah? Kebabnya?"
Ups... (cengar-cengir salah tingkah).
"Tenang nak, nanti kalau berat ibu dah kembali ke 60, kita akan merayakannya di Pizzahuts."
"Bagus bu, teruskan, aku dukung, meski ini salah banget sebenarnya." (kembali cengar cengir).
Tapi sebenarnya selain susunan diet di atas, ada juga daftar olahraga yang harus dijalankan (jalan dengan langkah aerobik dan kegiatan naik turun tangga penyeberangan di atas jalan tol dekat rumah adalah salah satunya).
Semalam, ngobrol dengan beberapa orang teman. Salah satu dari mereka prihatin, kenapa harus perempuan yang repot dengan urusan beginian, padahal perempuan itu sudah mendapat banyak tugas seperti melahirkan, menyusui, dan sebagainya. Aku sih ringan-ringan saja menanggapinya. "Karena yang ingin tampil cantik itu memang perempuan."
Aku punya teman, seorang pria. Jika saja dia hadir saat ini, mungkin dia akan dimasukkan ke dalam golongan pria metroseksual. Kenapa? Karena dia amat sangat memperhatikan kemolekan penampilannya. Pakai lipglos, pelembab wajah, minyak wangi, facial saban weekend, creambath, luluran adalah hal-hal yang rutin dia kerjakan. Hasilnya? Uh... merepotkan sangat. Ketika aku ajak dia pergi ke suatu tempat yang bernama "turun lapangan" komentarnya satu, "aduh, panas banget, nanti kulitku kebakar deh. Aku nggak bawa suncream." Terbayang jika dia jadi pasanganku, bisa-bisa anggaran untuk memanjakan diri mungkin lebih banyak ketimbang untuk kebutuhan sehari-hari.
Nah, kalau sudah begini? Pilih mana, lelaki yang juga ikut merepotkan kemolekan fisik mereka atau cukup perempuan saja yang direpotkan dengan urusan kecantikan ini? Aku sih pilih cukup perempuan saja (hehehe, ini masalahnya bukan persamaan hak, tapi mempertahankan hak. Sebal juga kalau hak kita untuk memanjakan diri harus disaingi seperti ini. Coba kalau ternyata pasangan kita yang berhasil dalam menjaga kemolekan tubuhnya ketimbang kita? Nah loh? Bisa berabe kan?).
Jadi.. ya sudahlah...yang penting ikhlas melaksanakannya karena hati yang ikhlaslah yang akan membawa kebahagiaan.
Btw, Sudah berapa lama anda membaca tulisanku ini? Lima menit? Coba tambahkan dengan keseluruhan aktifitas di depan facebook sebelumnya? Sudah lebih dari lima belas menitkah? Jika sudah, itu artinya tulisan ini harus berakhir dan sebaiknya kalian yang sedang membaca bangun dari kursi dan ambil gerakan berdiri lalu berjalan memutari ruangan sejenak saja. Ini penting untuk melemaskan otot yang kaku dan mencegah terjadinya pengapuran pada tulang atau osteoporosis.
Terima kasih!
---------------
Penulis: Ade Anita (hehehe, maaf ya cuma tulisan iseng untuk melemaskan jemari lagi setelah vakum menulis selama beberapa bulan karenba berbagai kesibukan).
Jakarta, 14 Juni 2011
Batas Kesabaran
Catatan : notes ini terinspirasi dari status temanku Saptari semalam. Aku copas status ini ke statusku di menit berikutnya.
Saptari Kurniawati
Lita Dimpudus wrote:At 3 years ''Mommy I love you."At 10 years ''Mom whatever."At 16 years "My mom is so annoying."At 18 years "I'm leaving this house."At 25 years ''Mom, you were right''..........At 30 years ''I want to go to Mom's house."At 50 years ''I don't want to lose my mom."At 70 years "I would give up everything to have my mom here with me."WE only have one MOM. Post this on your wall if you appreciate ...
14 hours ago via BlackBerry · Like ·
-------------------------------------------------
"Ini deja vu. Pasti deja vu."
Saptari Kurniawati
Lita Dimpudus wrote:At 3 years ''Mommy I love you."At 10 years ''Mom whatever."At 16 years "My mom is so annoying."At 18 years "I'm leaving this house."At 25 years ''Mom, you were right''..........At 30 years ''I want to go to Mom's house."At 50 years ''I don't want to lose my mom."At 70 years "I would give up everything to have my mom here with me."WE only have one MOM. Post this on your wall if you appreciate ...
14 hours ago via BlackBerry · Like ·
-------------------------------------------------
"Ini deja vu. Pasti deja vu."
Labels:
Cerpen,
Sepenggal Kenangan dan Harapan
Mengomentari Bacaan Yang Aku Baca
Ah. Ini cuma masalah selera.
Sudah beberapa hari ini, eh, bukan. Tepatnya, sudah beberapa bulan ini, aku vakum menulis. Bukan berarti berhenti sama sekali dari menulis. Tidak. Masih terus menulis, karena menulis itu sudah menjadi candu untukku. Jadi, jika tidak menulis sama sekali dalam satu pekan itu, rasanya hidup jadi terasa hampa dan terasa ada yang hilang dari diriku. Mungkin karena menulis itu adalah hobbi yang amat sangat aku manjakan. Jadi, jika dia datang memanggil aku segera akan datang memenuhinya.
Terkait dengan kegiatan penyaluran hobbi menulis tersebut, ada Soul Mate dari hobbi menulis yang juga harus dilakukan. Artinya, jika keberadaan pasangan menulis ini tidak dilakukan, maka seorang penulis tidak akan pernah bisa menulis karena mereka memang ditakdirkan untuk bersama. Soul Mate dari menulis adalah kegiatan membaca dan mengamati. (Hm... memang rada poligami nih si menulis). Tiga serangkai ini harus senantiasa berjalan beriringan. Jika salah satu tidak dikerjakan, maka yang terjadi adalah ketimpangan yang akan membawa bencana bagi penulis itu sendiri.
Saya selalu punya cara unik untuk mengamati segala sesuatu di sekitar saya. Rajin ngobrol kiri kanan, suka mancing-mancing lebih dalam sebuah rahasia orang lain, terlibat lebih dalam dengan masalah dalam negeri orang lain, dan juga menjalin relasi komunikasi dengan banyak orang dan banyak komunitas. Segala sesuatunya sering saya tulis di dalam notes handphone saya. Itu sebabnya, meski gaptek total, saya tetap memerlukan diri untuk memakai handphone yang sedikit canggih hanya karena mereka memiliki fasilitas untuk menulis cepat, menyimpan data mentah tersebut dan mentransfernya dengan mudah ke PC di rumah untuk diolah kemudian. Jika suatu hari handphone tertinggal atau habis batterenya, maka saya sudah menyiapkan rencana B untuk menulis moment menarik yang ingin saya abadikan. Di dalam dompet saya, selalu tersedia sebuah pulpen mini (amat mini karena bisa disimpan di dalam dompet koin) dan saya juga tidak pernah membuang kertas struk pembayaran. Hehehehe.... yang terakhir ini lebih karena proyek idealis.
Coba deh perhatikan struk pembayaran yang anda terima dari kasir. Di bagian belakangnya selalu tersedia lembar kosong kan? Nah.. padahal, untuk menghasilkan kertas yang sepertinya tidak berguna ini, sudah berapa batang pohon di hutan kita yang ditebang? Itu sebabnya kertas struk ini selalu saya simpan karena sering saya gunakan kembali untuk menulis macam-macam. Menulis daftar belanjaan, menulis nomor telepon atau alamat rumah jika bertemu dengan seorang teman dan ingin tuker-tukeran alamat, dll. Nah... Kertas ini juga yang saya gunakan untuk menulis sebuah moment yang berpotensi untuk menjadi tulisan karena di pandangan saya sarat dengan sebuah hikmah.
Sedangkan untuk kegiatan membaca, saya memerlukan diri untuk menyediakan dana spesial, khusus untuk membeli buku. Dahulu sebenarnya saya berlangganan beberapa majalah wanita (karena suami juga berlangganan beberapa majalah yang dia sukai dan itu bukan majalah wanita). Tapi, dalam perkembangannya, saya mengamati sesuatu telah terjadi pada penyajian tulisan di majalah wanita tersebut. Apa yang terjadi? Yaitu, ternyata banyak penulis artikel di majalah wanita tersebut yang terkena penyakit malas menghasilkan tulisan yang berkualitas. Kebanyakan dari mereka banyak yang menulis Copy Paste sesuatu yang tersebar di internet, lalu membumbuinya dengan kalimat-kalimat pengantar atau penghubung. Menghiasinya dengan tata letak dan gambar dan WOALA... jadilah sebuah artikel. Fuih. Menyebalkan. Mending saya browsing internet saja sekalian, unlimited ini.
Akhirnya, saya berhenti berlangganan majalah wanita. Melirik tabloid, huff, hanya wartawan gosip yang rajin memperbaharui tulisan mereka dengan gosip baru. Apa bedanya dengan infotainment di televisi yang jam tayangnya dari pagi hingga tengah malam berganti-ganti di beberapa channel itu?
Pada akhirnya, buku adalah pilihan yang paling menjanjikan untuk bisa membuka cakrawala dan merefresh pengetahuan.
Dalam perkembangannya saat ini, ternyata saya bertemu dengan cara membeli buku baru dengan mudah. Yaitu dengan cara barter buku dengan sesama penulis. Jadi, saya punya koleksi buku ini ini ini, dan mereka punya koleksi buku itu itu itu. Saya memilih buku yang saya inginkan, dan dia pun demikian. Lalu kami barter. Insya Allah sama-sama happy karena kami hanya mengeluarkan ongkos kirim saja.
Akhirnya koleksi buku saya bertambah tanpa terasa dan diseling dengan berbagai kegiatan dan ketahanan fisik, saya mulai melahap membacanya satu persatu. Dan inilah komentar saya (yup, sekali lagi, ini hanya masalah selera):
Yang pertama. Jujur. Saya ternyata tidak begitu menyukai buku yang memasukkan banyak sekali syair lagu di dalam tulisannya. Menurut saya ini sebuah manipulasi tingkat yang paling rendah sekali. Bayangkan jika dalam satu bab yang terdiri dari dari 6 halaman, dua lembarnya terdiri dari syair lagu yang ditulis layaknya sebuah syair yang harus dinyanyikan oleh kelompok paduan suara. Huff... kenapa nggak sekalian saja menuliskan partiturnya jadi bisa dimainkan oleh pembacanya? Dengan begitu kan tulisan tersebut akan menjadi 10 halaman? Mentang-mentang sekarang dituntut harus menulis novel atau buku minimal 150 halaman, masa lagunya 50 halaman sendiri? (Itu sebabnya setiap kali ingin membeli buku, saya usahakan untuk mengintip dahulu di dalamnya, ada banyak sisipan lagu nggak ya? Karena, saya memang ingin mengeluarkan uang untuk membeli buku yang memuaskan mata, bukan ingin membeli buku lagu).
Yang kedua, saya juga tidak menyukai ternyata, buku yang banyak memasukkan kutipan orang lain kelewat banyak. Aduh!! Tolong deh, ini kan sedang membaca novel bukan sedang membaca makalah?
Misalnya begini (ini hanya rekaan saya saja ya, untuk ngasi gambaran betapa nggak enaknya baca novel yang mirip makalah):
Aku termangu menatap buku yang terpampang di hadapanku. Kipas angin yang mengantarkan segelontor angin langsung menyibak halaman yang terpentang hingga mataku bisa leluasa membacanya. Buku itu seperti godam yang memukul-mukul kepalaku. Mengingatkanku pada peristiwa tempo hari yang seperti menari-nari di depan mata. Perih itu kembali terasa. Di buku itu tertulis:
Butir-butir pancasila sila pertama adalah:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
(1) Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
(3) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(4) Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(5) Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
(6) Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
(7) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
hehehehehhe.... ini contohnya. Tuh, kesel kan berasa jadi baca makalah.
Dari dua hal di atas, ada satu kesalahan fatal dari banyak penulis adalah, mereka sering lupa untuk menulis sumber dari mana mereka mengutip. Seperti lagu misalnya, kok saya tidak melihat catatan kaki siapa penyanyi aslinya, judul lagunya dan tahun berapa lagu itu dikeluarkan dan lewat label apa ya? Habiburrahman El Shirazy alias Kang Abik, senantiasa tertib menuliskan kutipan puisi atau lagu yang dia kutip loh. Hebat kan beliau. Sedangkan untuk sebuah makalah, wajib menuliskan narasumber kutipan (tapi ini niatnya nulis novel kan, bukan nulis makalah?)
Yang ketiga (dan karena saya menulisnya sudah terlalu banyak jadi menjadi yang terakhir), saya tidak suka dengan kumpulan puisi yang puisinya garing. Aduh...Arrrggghhh... mau marah rasanya membacanya. Jujur, saya tidak bisa menulis puisi. Mungkin karena saya punya kecenderungan untuk menulis banyak (makanya kalau disuruh nulis flash Fiction nyerah), saya selalu memandang kagum pada para penyair atau penulis yang mampu menulis puisi yang indah-indah.
Membuat puisi itu susah. Kita harus merangkum sebuah rasa yang berjuta cukup dengan beberapa penggal kata saja. Lalu menaruh ruh di dalam beberapa penggal kata itu. Ini yang sulit. Itu sebabnya, meski hanya beberapa kalimat pendek, tapi kesan yang ditimbulkan dari sebuah puisi sering terasa membekas amat dalam bagi pembacanya. Dan saya termasuk seorang penikmat puisi. Setiap kali membuka facebook, ada beberapa notes dari beberapa sahabat yang selalu saya buka. Bahkan, jika sedang merasakan kejumudan untuk menulis karena tuntutan deadline yang mendesak sementara mood belum juga tertangkap, maka saya selalu mampir ke notes beberapa sahabat tersebut. Selalu ada padang rumpun hijau yang saya temui ketika mampir ke notes mereka, ada air terjun jernih, ada kicau burung dan langit biru.. semuanya menyegarkan pikiran dan menenangkan hati hingga inspirasi bisa kembali muncul dan kejumudan bisa ditanggulangi. Itu sebabnya dalam list teman, saya membuat list khusus dengan nama "teman penyair". Syaiful Alim, Cepi Sabre, Arther Panther Olie, Faradina Izdhihary, Fajar Alayubi, dan sebagainya adalah deretan teman yang masuk list Teman Penyair saya.
Lalu, apa yang terjadi ketika menerima sebuah buku kumpulan puisi dan ketika membacanya saya banyak membaca puisi yang garing? Aduh... dari sebuah tempat yang damai, tentram dan penuh inspirasi, saya seperti terlempar ke tempat yang tandus dan gersang. Bahkan saya pernah membanting sebuah buku yang sudah terlanjur saya beli, dengan harga yang lumayan, karena memuat puisi yang amat buruk. Kesal.
Itu sebabnya, secara jujur saya selalu merekomendasikan beberapa buku untuk dibaca kepada teman-teman dan sekaligus kadang merekomendasikan juga beberapa buku yang sebaiknya tidak usah dibeli atau tidak usah dibaca kepada teman-teman. Sekali lagi.. ini masalah selera.
Yup, ini cuma masalah selera. Selera dari seorang Ade Anita yang sok tahu dan sering sok idealis (masih inget kan kasus kertas struk? hehe... jika kalian kenal saya lebih dalam, kalian bisa tahu seberapa sok idealisnya saya, mungkin sebelas duabelas dengan freak). Maafkan jika ada yang tersinggung dengan tulisan ini. Tidak bermaksud untuk menyinggung siapapun. Sungguh.
----------------
Penulis: Ade Anita.
Sudah beberapa hari ini, eh, bukan. Tepatnya, sudah beberapa bulan ini, aku vakum menulis. Bukan berarti berhenti sama sekali dari menulis. Tidak. Masih terus menulis, karena menulis itu sudah menjadi candu untukku. Jadi, jika tidak menulis sama sekali dalam satu pekan itu, rasanya hidup jadi terasa hampa dan terasa ada yang hilang dari diriku. Mungkin karena menulis itu adalah hobbi yang amat sangat aku manjakan. Jadi, jika dia datang memanggil aku segera akan datang memenuhinya.
Terkait dengan kegiatan penyaluran hobbi menulis tersebut, ada Soul Mate dari hobbi menulis yang juga harus dilakukan. Artinya, jika keberadaan pasangan menulis ini tidak dilakukan, maka seorang penulis tidak akan pernah bisa menulis karena mereka memang ditakdirkan untuk bersama. Soul Mate dari menulis adalah kegiatan membaca dan mengamati. (Hm... memang rada poligami nih si menulis). Tiga serangkai ini harus senantiasa berjalan beriringan. Jika salah satu tidak dikerjakan, maka yang terjadi adalah ketimpangan yang akan membawa bencana bagi penulis itu sendiri.
Saya selalu punya cara unik untuk mengamati segala sesuatu di sekitar saya. Rajin ngobrol kiri kanan, suka mancing-mancing lebih dalam sebuah rahasia orang lain, terlibat lebih dalam dengan masalah dalam negeri orang lain, dan juga menjalin relasi komunikasi dengan banyak orang dan banyak komunitas. Segala sesuatunya sering saya tulis di dalam notes handphone saya. Itu sebabnya, meski gaptek total, saya tetap memerlukan diri untuk memakai handphone yang sedikit canggih hanya karena mereka memiliki fasilitas untuk menulis cepat, menyimpan data mentah tersebut dan mentransfernya dengan mudah ke PC di rumah untuk diolah kemudian. Jika suatu hari handphone tertinggal atau habis batterenya, maka saya sudah menyiapkan rencana B untuk menulis moment menarik yang ingin saya abadikan. Di dalam dompet saya, selalu tersedia sebuah pulpen mini (amat mini karena bisa disimpan di dalam dompet koin) dan saya juga tidak pernah membuang kertas struk pembayaran. Hehehehe.... yang terakhir ini lebih karena proyek idealis.
Coba deh perhatikan struk pembayaran yang anda terima dari kasir. Di bagian belakangnya selalu tersedia lembar kosong kan? Nah.. padahal, untuk menghasilkan kertas yang sepertinya tidak berguna ini, sudah berapa batang pohon di hutan kita yang ditebang? Itu sebabnya kertas struk ini selalu saya simpan karena sering saya gunakan kembali untuk menulis macam-macam. Menulis daftar belanjaan, menulis nomor telepon atau alamat rumah jika bertemu dengan seorang teman dan ingin tuker-tukeran alamat, dll. Nah... Kertas ini juga yang saya gunakan untuk menulis sebuah moment yang berpotensi untuk menjadi tulisan karena di pandangan saya sarat dengan sebuah hikmah.
Sedangkan untuk kegiatan membaca, saya memerlukan diri untuk menyediakan dana spesial, khusus untuk membeli buku. Dahulu sebenarnya saya berlangganan beberapa majalah wanita (karena suami juga berlangganan beberapa majalah yang dia sukai dan itu bukan majalah wanita). Tapi, dalam perkembangannya, saya mengamati sesuatu telah terjadi pada penyajian tulisan di majalah wanita tersebut. Apa yang terjadi? Yaitu, ternyata banyak penulis artikel di majalah wanita tersebut yang terkena penyakit malas menghasilkan tulisan yang berkualitas. Kebanyakan dari mereka banyak yang menulis Copy Paste sesuatu yang tersebar di internet, lalu membumbuinya dengan kalimat-kalimat pengantar atau penghubung. Menghiasinya dengan tata letak dan gambar dan WOALA... jadilah sebuah artikel. Fuih. Menyebalkan. Mending saya browsing internet saja sekalian, unlimited ini.
Akhirnya, saya berhenti berlangganan majalah wanita. Melirik tabloid, huff, hanya wartawan gosip yang rajin memperbaharui tulisan mereka dengan gosip baru. Apa bedanya dengan infotainment di televisi yang jam tayangnya dari pagi hingga tengah malam berganti-ganti di beberapa channel itu?
Pada akhirnya, buku adalah pilihan yang paling menjanjikan untuk bisa membuka cakrawala dan merefresh pengetahuan.
Dalam perkembangannya saat ini, ternyata saya bertemu dengan cara membeli buku baru dengan mudah. Yaitu dengan cara barter buku dengan sesama penulis. Jadi, saya punya koleksi buku ini ini ini, dan mereka punya koleksi buku itu itu itu. Saya memilih buku yang saya inginkan, dan dia pun demikian. Lalu kami barter. Insya Allah sama-sama happy karena kami hanya mengeluarkan ongkos kirim saja.
Akhirnya koleksi buku saya bertambah tanpa terasa dan diseling dengan berbagai kegiatan dan ketahanan fisik, saya mulai melahap membacanya satu persatu. Dan inilah komentar saya (yup, sekali lagi, ini hanya masalah selera):
Yang pertama. Jujur. Saya ternyata tidak begitu menyukai buku yang memasukkan banyak sekali syair lagu di dalam tulisannya. Menurut saya ini sebuah manipulasi tingkat yang paling rendah sekali. Bayangkan jika dalam satu bab yang terdiri dari dari 6 halaman, dua lembarnya terdiri dari syair lagu yang ditulis layaknya sebuah syair yang harus dinyanyikan oleh kelompok paduan suara. Huff... kenapa nggak sekalian saja menuliskan partiturnya jadi bisa dimainkan oleh pembacanya? Dengan begitu kan tulisan tersebut akan menjadi 10 halaman? Mentang-mentang sekarang dituntut harus menulis novel atau buku minimal 150 halaman, masa lagunya 50 halaman sendiri? (Itu sebabnya setiap kali ingin membeli buku, saya usahakan untuk mengintip dahulu di dalamnya, ada banyak sisipan lagu nggak ya? Karena, saya memang ingin mengeluarkan uang untuk membeli buku yang memuaskan mata, bukan ingin membeli buku lagu).
Yang kedua, saya juga tidak menyukai ternyata, buku yang banyak memasukkan kutipan orang lain kelewat banyak. Aduh!! Tolong deh, ini kan sedang membaca novel bukan sedang membaca makalah?
Misalnya begini (ini hanya rekaan saya saja ya, untuk ngasi gambaran betapa nggak enaknya baca novel yang mirip makalah):
Aku termangu menatap buku yang terpampang di hadapanku. Kipas angin yang mengantarkan segelontor angin langsung menyibak halaman yang terpentang hingga mataku bisa leluasa membacanya. Buku itu seperti godam yang memukul-mukul kepalaku. Mengingatkanku pada peristiwa tempo hari yang seperti menari-nari di depan mata. Perih itu kembali terasa. Di buku itu tertulis:
Butir-butir pancasila sila pertama adalah:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
(1) Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
(3) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(4) Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(5) Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
(6) Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
(7) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
hehehehehhe.... ini contohnya. Tuh, kesel kan berasa jadi baca makalah.
Dari dua hal di atas, ada satu kesalahan fatal dari banyak penulis adalah, mereka sering lupa untuk menulis sumber dari mana mereka mengutip. Seperti lagu misalnya, kok saya tidak melihat catatan kaki siapa penyanyi aslinya, judul lagunya dan tahun berapa lagu itu dikeluarkan dan lewat label apa ya? Habiburrahman El Shirazy alias Kang Abik, senantiasa tertib menuliskan kutipan puisi atau lagu yang dia kutip loh. Hebat kan beliau. Sedangkan untuk sebuah makalah, wajib menuliskan narasumber kutipan (tapi ini niatnya nulis novel kan, bukan nulis makalah?)
Yang ketiga (dan karena saya menulisnya sudah terlalu banyak jadi menjadi yang terakhir), saya tidak suka dengan kumpulan puisi yang puisinya garing. Aduh...Arrrggghhh... mau marah rasanya membacanya. Jujur, saya tidak bisa menulis puisi. Mungkin karena saya punya kecenderungan untuk menulis banyak (makanya kalau disuruh nulis flash Fiction nyerah), saya selalu memandang kagum pada para penyair atau penulis yang mampu menulis puisi yang indah-indah.
Membuat puisi itu susah. Kita harus merangkum sebuah rasa yang berjuta cukup dengan beberapa penggal kata saja. Lalu menaruh ruh di dalam beberapa penggal kata itu. Ini yang sulit. Itu sebabnya, meski hanya beberapa kalimat pendek, tapi kesan yang ditimbulkan dari sebuah puisi sering terasa membekas amat dalam bagi pembacanya. Dan saya termasuk seorang penikmat puisi. Setiap kali membuka facebook, ada beberapa notes dari beberapa sahabat yang selalu saya buka. Bahkan, jika sedang merasakan kejumudan untuk menulis karena tuntutan deadline yang mendesak sementara mood belum juga tertangkap, maka saya selalu mampir ke notes beberapa sahabat tersebut. Selalu ada padang rumpun hijau yang saya temui ketika mampir ke notes mereka, ada air terjun jernih, ada kicau burung dan langit biru.. semuanya menyegarkan pikiran dan menenangkan hati hingga inspirasi bisa kembali muncul dan kejumudan bisa ditanggulangi. Itu sebabnya dalam list teman, saya membuat list khusus dengan nama "teman penyair". Syaiful Alim, Cepi Sabre, Arther Panther Olie, Faradina Izdhihary, Fajar Alayubi, dan sebagainya adalah deretan teman yang masuk list Teman Penyair saya.
Lalu, apa yang terjadi ketika menerima sebuah buku kumpulan puisi dan ketika membacanya saya banyak membaca puisi yang garing? Aduh... dari sebuah tempat yang damai, tentram dan penuh inspirasi, saya seperti terlempar ke tempat yang tandus dan gersang. Bahkan saya pernah membanting sebuah buku yang sudah terlanjur saya beli, dengan harga yang lumayan, karena memuat puisi yang amat buruk. Kesal.
Itu sebabnya, secara jujur saya selalu merekomendasikan beberapa buku untuk dibaca kepada teman-teman dan sekaligus kadang merekomendasikan juga beberapa buku yang sebaiknya tidak usah dibeli atau tidak usah dibaca kepada teman-teman. Sekali lagi.. ini masalah selera.
Yup, ini cuma masalah selera. Selera dari seorang Ade Anita yang sok tahu dan sering sok idealis (masih inget kan kasus kertas struk? hehe... jika kalian kenal saya lebih dalam, kalian bisa tahu seberapa sok idealisnya saya, mungkin sebelas duabelas dengan freak). Maafkan jika ada yang tersinggung dengan tulisan ini. Tidak bermaksud untuk menyinggung siapapun. Sungguh.
----------------
Penulis: Ade Anita.
[Tips] Mengirimkan Naskah Novel ke Penerbit
[Tips] Mengirimkan Naskah Novel ke Penerbit
By iwok Abqary
Ternyata, masih banyak yang sering kebingungan mengenai cara mengirimkan naskah ke penerbit. Sampai saat ini saya masih sering menerima pertanyaan tentang itu. Agar tidak perlu menjelaskan berulang, ada baiknya saya menuliskannya saja, sehingga kalau ada pertanyaan serupa saya bisa mengarahkannya ke postingan ini.
Apa sih yang harus disiapkan pertama kali sebelum mengirimkan naskah?
Yang harus diperhatikan pertama kali tentu saja naskah tersebut. Apakah naskah yang kita tulis sudah sesuai persyaratkan yang diminta oleh penerbit tersebut? Panjang halamannya sudah mencukupi batas minimal? Aturan penulisannya sudah disesuaikan? Biasanya, setiap penerbit memiliki aturan tersendiri. Satu sama lain bisa memiliki persyaratan dan aturan yang sama, bisa pula berbeda.
Adapun standar umum penulisan naskah fiksi (apalagi fiksi remaja) yang banyak berlaku di penerbit adalah sebagai berikut :
Panjang halaman : 100 - 150 halaman
Ukuran kertas : A4
Jenis huruf (font) : Times New Roman
Ukuran huruf : 12 pt
Spasi : 1,5
Margin : Menyesuaikan dengan default (tidak perlu diganti)
Meskipun demikian, ada pula penerbit yang memberlakukan aturan sedikit berbeda. Misalnya di penerbit gagasmedia. Berdasarkan informasi yang ada di websitenya, panjang halaman minimal yang disyaratkan adalah 75 halaman A4, tetapi dengan spasi 1 (satu). Sebenarnya, kalau dikonversi ke spasi 1,5, jumlah halaman akhirnya tidak akan jauh berbeda. Hanya saja, kalau kita akan mengirimkan naskah ke sana, tentu kita harus mengikuti aturan main mereka, bukan?
Setelah itu, apa yang harus kita perhatikan?
Kerapian naskah! Sudahkah kita membaca dan mengecek ulang naskah yang kita tulis? Masih adakah typo (kesalahan ketik) di sana-sini? Apakah tanda baca yang kita gunakan sudah tepat? Apakah masih ada kata-kata yang ditulis berupa singkatan karena keasyikan menulis dan tidak menyadarinya (seperti kata yg, sdg, kmrn, dll)? Bahasa alay? Ckckck. Ayo editlah segera. Jadilah editor buat naskah kita sendiri agar naskahnya terlihat lebih rapi untuk dibaca.
Saya sering mendengar dan membaca komentar para editor seperti ini ; "kalau penulisnya saja tidak peduli terhadap naskahnya, kenapa kami juga harus peduli?" Itu adalah tanda-tanda tidak bagus untuk review naskah kita. Jangan salahkan mereka kalau mereka menolak menerbitkan naskah kita karena sudah enggan membacanya dari awal.
Naskah sudah rapi, apa lagi yang harus dilengkapi?
Ada beberapa hal lain yang harus diperhatikan untuk melengkapi naskah.
Jangan lupa untuk membubuhi nomor halaman! Hal yang sepele tapi masih saja ada yang melupakan atau mengabaikannya. Bagaimana editor bisa tahu naskah kita ada berapa lembar kalau tidak ada nomor halamannya? Dihitung satu-satu? Plis deh! Sinopsis - Pertama kali membuka naskah, biasanya yang akan dibaca oleh editor adalah sinopsisnya terlebih dahulu. Apakah ceritanya unik dan tidak biasa? Buatlah sinopsis singkat (maksimal 1 halaman) yang menguraikan alur cerita dari naskah kita. Buat secara menarik agar editor tertarik membaca naskah kita selengkapnya. Oya, sinopsis ini LENGKAP menggambarkan ceritanya dari awal sampai ending ya. Jangan buat sinopsis menggantung seperti di back cover novel-novel yang sudah jadi, seperti; "Bagaimana akhir kisah ini? Temukan sendiri di dalam novelnya." Biodata Penulis - Tuliskan data kita selengkap-lengkapnya. Nama asli, Nama pena (kalau ada), Alamat rumah, E-mail, No. Telp/handphone, Nomor rekening Bank, dan prestasi penulisan kalau ada (bisa berupa pengalaman menang lomba nulis, buku yang sudah diterbitkan, karya yang dimuat di media, dan lain-lain). Data yang lengkap akan memudahkan penerbit untuk menghubungi apabila ada informasi yang berhubungan dengan naskah kita. Profil Penulis - Tidak ada salahnya kita sudah membuat profil penulis berupa deskripsi untuk diletakan di bagian dalam belakang buku. Tulis dalam bentuk deskripsi singkat (contohnya pasti sudah pada tahu, kan? Bisa dibaca di setiap buku kok). Apabila naskah ini lolos diterbitkan, kita tidak perlu repot menuliskannya lagi, bukan? Surat Pernyataan Keaslian Naskah - Kalau anda masih kebingungan seperti apa sih surat pernyataan ini? Tidak perlu bingung. Surat pernyataan ini tidak perlu memiliki form khusus, dan kita bisa membuatnya sendiri. Asal di dalam surat pernyataan tersebut tercantum bahwa naskah tersebut adalah asli karya kita, dan tidak melanggar hak cipta, itu sudah cukup kok. Jangan lupa tempelkan meterai Rp.6.000,- pada kolom tanda tangan. Surat Pengantar - Ibaratnya kita bertamu ke rumah orang, sopan santun tetap dibutuhkan. Apalagi kalau kita baru pertama kali menawarkan naskah ke penerbit yang bersangkutan. Surat pengantar ibarat mengenalkan diri kita sebagai penulis kepada penerbit. Lagipula, kalau kita bisa menulis naskah beratus halaman, masa menulis surat pengantar setengah halaman saja tidak bisa? Daftar Isi - Ini adalah bagian yang tidak boleh terlewatkan. Susun daftar isi mulai dari surat pengantar, sinopsis, biodata penulis, surat pernyataan keaslian naskah, Judul-judul bab, sampai ke profil penulis. Ah, jangan lupa, buatlah sampul naskah agar naskah kita lebih terlihat menarik. Biasanya halaman pertama dari naskah selalu saya buatkan sampul. Saya tuliskan judul naskah saya besar-besar. Di bawah judul saya tampilkan gambar/ilustrasi yang kira-kira sesuai dengan isi cerita. Gambar itu biasanya saya browsing dari internet. Di bawah gambar kemudian saya tuliskan nama, alamat, email, dan nomor telepon. Print out, lalu jilid! Agar lebih kuat, halaman sampul dicetak/copy di atas kertas tebal. Kalau perlu, tambahkan lapisan plastik di luarnya. Tampilan yang menarik tentu akan lebih enak dipandang. Siapa tahu menarik editor juga agar penasaran membaca isinya. Jilid? Kenapa harus dijilid? Bukannya naskah bisa dikirim via email?
Tidak semua penerbit menerima kiriman naskah via email, teman. Masih banyak penerbit yang hanya menerima kiriman naskah hardcopy. Setidaknya, itulah yang selalu saya lakukan ketika bekerjasama dengan penerbit Mizan, Gramedia Pustaka Utama, dan Gagasmedia (yang sudah bekerjasama selama ini). Sampai saat ini --yang saya tahu-- mereka hanya terima kirim naskah hardcopy. Setelah dinyatakan lolos terbit, baru kita diminta mengirimkan softcopy-nya.
Kalau memang penerbit yang kita tuju menerima kiriman via email, tentu saja kita bisa segera mengirimkan naskah tersebut tanpa perlu print terlebih dahulu. Jangan lupa, surat pernyataan keaslian naskah harus di scan terlebih dahulu agar dapat ikut dilampirkan.
Dimana kita bisa mendapatkan alamat para penerbit?
Di back cover setiap buku biasanya selalu tercantum alamat penerbit. Kita juga bisa cari tahu di website penerbit tersebut (kalau memiliki website). Beberapa alamat website penerbit sudah saya tulis di sidebar sebelah kanan blog ini. Kalau tidak ada, cobalah pergunakan search engine seperti google dan yahoo, untuk mencari alamat penerbitnya.
Agar aman naskah kita kirim pakai apa?
Kalau lokasi penerbit dekat dengan rumah kita, tentu lebih baik mengantarkan langsung naskahnya, agar bisa berkenalan langsung dengan kru penerbitan. Siapa tahu malah bisa diskusi dengan para editor di sana (kalau tidak sibuk). Alternatif lain, tentu saja mengirimkannya melalui pos atau kurir. Pergunakan pos tercatat/kilat khusus kalau menggunakan Pos Indonesia. Simpan resi/bukti pengiriman dari Pos/Kurir. Itu bisa jadi catatan juga kapan kita mengirimkan naskah tersebut, atau untuk melacak apakah naskah kita sudah sampai di alamat yang dituju atau belum.
Kalau naskah kita ditolak dan ingin dikembalikan, jangan lupa selipkan perangko secukupnya (lihat tarif di PT. Pos).
Naskah sudah terkirim. Sekarang kita tinggal menunggu sampai ada kabar mengenai status naskah kita; diterbitkan, atau tidak.Semabari menunggu kabar itu datang, marilah kita menulis lagi.
Semoga postingan ini membantu. :)
http://iwok.blogspot.com/2011/06/tips-mengirimkan-naskah-fiksi-ke.html
By iwok Abqary
Ternyata, masih banyak yang sering kebingungan mengenai cara mengirimkan naskah ke penerbit. Sampai saat ini saya masih sering menerima pertanyaan tentang itu. Agar tidak perlu menjelaskan berulang, ada baiknya saya menuliskannya saja, sehingga kalau ada pertanyaan serupa saya bisa mengarahkannya ke postingan ini.
Apa sih yang harus disiapkan pertama kali sebelum mengirimkan naskah?
Yang harus diperhatikan pertama kali tentu saja naskah tersebut. Apakah naskah yang kita tulis sudah sesuai persyaratkan yang diminta oleh penerbit tersebut? Panjang halamannya sudah mencukupi batas minimal? Aturan penulisannya sudah disesuaikan? Biasanya, setiap penerbit memiliki aturan tersendiri. Satu sama lain bisa memiliki persyaratan dan aturan yang sama, bisa pula berbeda.
Adapun standar umum penulisan naskah fiksi (apalagi fiksi remaja) yang banyak berlaku di penerbit adalah sebagai berikut :
Panjang halaman : 100 - 150 halaman
Ukuran kertas : A4
Jenis huruf (font) : Times New Roman
Ukuran huruf : 12 pt
Spasi : 1,5
Margin : Menyesuaikan dengan default (tidak perlu diganti)
Meskipun demikian, ada pula penerbit yang memberlakukan aturan sedikit berbeda. Misalnya di penerbit gagasmedia. Berdasarkan informasi yang ada di websitenya, panjang halaman minimal yang disyaratkan adalah 75 halaman A4, tetapi dengan spasi 1 (satu). Sebenarnya, kalau dikonversi ke spasi 1,5, jumlah halaman akhirnya tidak akan jauh berbeda. Hanya saja, kalau kita akan mengirimkan naskah ke sana, tentu kita harus mengikuti aturan main mereka, bukan?
Setelah itu, apa yang harus kita perhatikan?
Kerapian naskah! Sudahkah kita membaca dan mengecek ulang naskah yang kita tulis? Masih adakah typo (kesalahan ketik) di sana-sini? Apakah tanda baca yang kita gunakan sudah tepat? Apakah masih ada kata-kata yang ditulis berupa singkatan karena keasyikan menulis dan tidak menyadarinya (seperti kata yg, sdg, kmrn, dll)? Bahasa alay? Ckckck. Ayo editlah segera. Jadilah editor buat naskah kita sendiri agar naskahnya terlihat lebih rapi untuk dibaca.
Saya sering mendengar dan membaca komentar para editor seperti ini ; "kalau penulisnya saja tidak peduli terhadap naskahnya, kenapa kami juga harus peduli?" Itu adalah tanda-tanda tidak bagus untuk review naskah kita. Jangan salahkan mereka kalau mereka menolak menerbitkan naskah kita karena sudah enggan membacanya dari awal.
Naskah sudah rapi, apa lagi yang harus dilengkapi?
Ada beberapa hal lain yang harus diperhatikan untuk melengkapi naskah.
Jangan lupa untuk membubuhi nomor halaman! Hal yang sepele tapi masih saja ada yang melupakan atau mengabaikannya. Bagaimana editor bisa tahu naskah kita ada berapa lembar kalau tidak ada nomor halamannya? Dihitung satu-satu? Plis deh! Sinopsis - Pertama kali membuka naskah, biasanya yang akan dibaca oleh editor adalah sinopsisnya terlebih dahulu. Apakah ceritanya unik dan tidak biasa? Buatlah sinopsis singkat (maksimal 1 halaman) yang menguraikan alur cerita dari naskah kita. Buat secara menarik agar editor tertarik membaca naskah kita selengkapnya. Oya, sinopsis ini LENGKAP menggambarkan ceritanya dari awal sampai ending ya. Jangan buat sinopsis menggantung seperti di back cover novel-novel yang sudah jadi, seperti; "Bagaimana akhir kisah ini? Temukan sendiri di dalam novelnya." Biodata Penulis - Tuliskan data kita selengkap-lengkapnya. Nama asli, Nama pena (kalau ada), Alamat rumah, E-mail, No. Telp/handphone, Nomor rekening Bank, dan prestasi penulisan kalau ada (bisa berupa pengalaman menang lomba nulis, buku yang sudah diterbitkan, karya yang dimuat di media, dan lain-lain). Data yang lengkap akan memudahkan penerbit untuk menghubungi apabila ada informasi yang berhubungan dengan naskah kita. Profil Penulis - Tidak ada salahnya kita sudah membuat profil penulis berupa deskripsi untuk diletakan di bagian dalam belakang buku. Tulis dalam bentuk deskripsi singkat (contohnya pasti sudah pada tahu, kan? Bisa dibaca di setiap buku kok). Apabila naskah ini lolos diterbitkan, kita tidak perlu repot menuliskannya lagi, bukan? Surat Pernyataan Keaslian Naskah - Kalau anda masih kebingungan seperti apa sih surat pernyataan ini? Tidak perlu bingung. Surat pernyataan ini tidak perlu memiliki form khusus, dan kita bisa membuatnya sendiri. Asal di dalam surat pernyataan tersebut tercantum bahwa naskah tersebut adalah asli karya kita, dan tidak melanggar hak cipta, itu sudah cukup kok. Jangan lupa tempelkan meterai Rp.6.000,- pada kolom tanda tangan. Surat Pengantar - Ibaratnya kita bertamu ke rumah orang, sopan santun tetap dibutuhkan. Apalagi kalau kita baru pertama kali menawarkan naskah ke penerbit yang bersangkutan. Surat pengantar ibarat mengenalkan diri kita sebagai penulis kepada penerbit. Lagipula, kalau kita bisa menulis naskah beratus halaman, masa menulis surat pengantar setengah halaman saja tidak bisa? Daftar Isi - Ini adalah bagian yang tidak boleh terlewatkan. Susun daftar isi mulai dari surat pengantar, sinopsis, biodata penulis, surat pernyataan keaslian naskah, Judul-judul bab, sampai ke profil penulis. Ah, jangan lupa, buatlah sampul naskah agar naskah kita lebih terlihat menarik. Biasanya halaman pertama dari naskah selalu saya buatkan sampul. Saya tuliskan judul naskah saya besar-besar. Di bawah judul saya tampilkan gambar/ilustrasi yang kira-kira sesuai dengan isi cerita. Gambar itu biasanya saya browsing dari internet. Di bawah gambar kemudian saya tuliskan nama, alamat, email, dan nomor telepon. Print out, lalu jilid! Agar lebih kuat, halaman sampul dicetak/copy di atas kertas tebal. Kalau perlu, tambahkan lapisan plastik di luarnya. Tampilan yang menarik tentu akan lebih enak dipandang. Siapa tahu menarik editor juga agar penasaran membaca isinya. Jilid? Kenapa harus dijilid? Bukannya naskah bisa dikirim via email?
Tidak semua penerbit menerima kiriman naskah via email, teman. Masih banyak penerbit yang hanya menerima kiriman naskah hardcopy. Setidaknya, itulah yang selalu saya lakukan ketika bekerjasama dengan penerbit Mizan, Gramedia Pustaka Utama, dan Gagasmedia (yang sudah bekerjasama selama ini). Sampai saat ini --yang saya tahu-- mereka hanya terima kirim naskah hardcopy. Setelah dinyatakan lolos terbit, baru kita diminta mengirimkan softcopy-nya.
Kalau memang penerbit yang kita tuju menerima kiriman via email, tentu saja kita bisa segera mengirimkan naskah tersebut tanpa perlu print terlebih dahulu. Jangan lupa, surat pernyataan keaslian naskah harus di scan terlebih dahulu agar dapat ikut dilampirkan.
Dimana kita bisa mendapatkan alamat para penerbit?
Di back cover setiap buku biasanya selalu tercantum alamat penerbit. Kita juga bisa cari tahu di website penerbit tersebut (kalau memiliki website). Beberapa alamat website penerbit sudah saya tulis di sidebar sebelah kanan blog ini. Kalau tidak ada, cobalah pergunakan search engine seperti google dan yahoo, untuk mencari alamat penerbitnya.
Agar aman naskah kita kirim pakai apa?
Kalau lokasi penerbit dekat dengan rumah kita, tentu lebih baik mengantarkan langsung naskahnya, agar bisa berkenalan langsung dengan kru penerbitan. Siapa tahu malah bisa diskusi dengan para editor di sana (kalau tidak sibuk). Alternatif lain, tentu saja mengirimkannya melalui pos atau kurir. Pergunakan pos tercatat/kilat khusus kalau menggunakan Pos Indonesia. Simpan resi/bukti pengiriman dari Pos/Kurir. Itu bisa jadi catatan juga kapan kita mengirimkan naskah tersebut, atau untuk melacak apakah naskah kita sudah sampai di alamat yang dituju atau belum.
Kalau naskah kita ditolak dan ingin dikembalikan, jangan lupa selipkan perangko secukupnya (lihat tarif di PT. Pos).
Naskah sudah terkirim. Sekarang kita tinggal menunggu sampai ada kabar mengenai status naskah kita; diterbitkan, atau tidak.Semabari menunggu kabar itu datang, marilah kita menulis lagi.
Semoga postingan ini membantu. :)
http://iwok.blogspot.com/2011/06/tips-mengirimkan-naskah-fiksi-ke.html
Behind the Story: Setangkai Anggrek Bulan (dari kumcer keduaku selamat malam kabutku sayang)
Minggu, 04 September 2011
[Lifesyle] Behind The Story nomor (#1): Setangkai Anggrek Bulan
Di buku kedua saya yang terbit tahun 2005, “Selamat Malam Kabutku Sayang” (penerbit: Gema Insani Press), ada sebuah cerita yang amat sangat saya suka. JUdulnya Setangkai Anggrek Bulan. Mungkin waktu itu gaya menulis saya tidak begitu bagus (sampai sekarang sih sebenarnya..hehehe, maaf deh…) tapi saya amat suka ceritanya. Hampir seluruh isi cerita pendek dalam buku-buku saya diambil dari kisah nyata. Baik yang saya alami sendiri maupun yang saya dengar sendiri dari penuturan pelakunya sendiri. Kebetulan, saya termasuk orang yang suka usil mau tahu masalah orang lain.
Cerita ini diangkat dari cerita ibu saya almarhumah dahulu. Suatu hari dia menelepon saya meminta agar saya datang ke rumah beliau.
Di buku kedua saya yang terbit tahun 2005, “Selamat Malam Kabutku Sayang” (penerbit: Gema Insani Press), ada sebuah cerita yang amat sangat saya suka. JUdulnya Setangkai Anggrek Bulan. Mungkin waktu itu gaya menulis saya tidak begitu bagus (sampai sekarang sih sebenarnya..hehehe, maaf deh…) tapi saya amat suka ceritanya. Hampir seluruh isi cerita pendek dalam buku-buku saya diambil dari kisah nyata. Baik yang saya alami sendiri maupun yang saya dengar sendiri dari penuturan pelakunya sendiri. Kebetulan, saya termasuk orang yang suka usil mau tahu masalah orang lain.
Cerita ini diangkat dari cerita ibu saya almarhumah dahulu. Suatu hari dia menelepon saya meminta agar saya datang ke rumah beliau.
Langganan:
Postingan (Atom)