Suasana (catatan kenangan bulan maret 2011)

Suasana Pagi.

Matahari terbit malu-malu di mulut cakrawala. Masih ada rembulan yang bertengger di penghujung barat. Mungkin itu penyebab matahari terlihat malu-malu untuk tampil. Meski demikian, ada semangat yang bergelora bersemayam pada para pelajar yang bersiap untuk berangkat sekolah. Sebelum matahari sempurna memberitahukan waktu Dhuha, waktu belajar di sekolah memang sudah akan dilaksanakan. Tidak heran banyak pelajar yang begitu semangat mempersiapkan diri, tidak menunggu keberanian matahari sempurna.




Aku tersenyum melihat wajah-wajah berseri anak-anakku. Insya Allah, inilah wajah-wajah masa depan. Wajah para penerus bangsa ini, wajah para pembaharu dan calon pemimpin masa depan. Bahkan meski mungkin untuk sekelompok yang kecil.

“Hati-hati ya di perjalanan, di sekolah dan pulang sekolah nanti.”
“Iya bu.”
Mataku tidak lepas memandang kepergian mereka. Semua harapan tertumpu di pundak mereka. Semua doa terkumpul dan tertuju. Darah muda, semangat muda, harapan baru, semua membentuk gelombang yang menggelora.
Duhai masa muda, tumbuhkanlah potensi muda yang masih tersembunyi menjadi kekuatan yang mumpuni.

----000----

Suasana Siang

Dokter keluargaku yang bijaksana selalu rajin mengingatkan, bahwa kehidupan manusia itu mencapai puncaknya di usia 30 tahun. Dimana semua potensi mencapai kemuncak dan kondisi tubuh berada dalam kondisi paling gemilang.
Jantung memompa darah dengan baik, kulit kencang berseri-seri dan segala kemampuan mendapat kemudahan untuk digali kemaksimalannya. Ide-ide kreatif dan brilliant hadir beruntutan, bahkan harus mengantri untuk diaplikasikan. Semuanya saling bersinergi hingga orang muda sering merasa bahwa seharusnya waktu tidak dibatasi hanya 24 jam saja dalam seharinya. Seharusnya lebih, mungkin 30 agar genap dan selalu berharap agar siang memperoleh jatah pembagian waktu yang lebih panjang dari waktu malam.

“Tapi, disinilah semua orang seharusnya waspada. Karena segala sesuatu yang telah bertemu dengan puncak, itu memiliki satu arti. Akan segera berhadapan dengan kondisi menurun.”

Aku termangu mendengar tutur nasehat dokter keluargaku. Usianya sudah tua, tidak heran pelajaran kebijaksanaan sering keluar dari mulutnya. Sudah banyak pelajaran hidup yang aku petik dari pertemuanku dengannya. Perlahan tapi pasti, rasa sayangku pun mulai tumbuh padanya.

“Banyak orang yang mengisi usia puncak kehidupan kesehatan mereka dengan hal-hal yang sia-sia. Begadang, lembur, merokok, makan junk food, kurang istirahat, makan tidak teratur, kerja over loaded, semua makanan masuk ke dalam mulutnya, kurang olah raga, bahkan ada yang malah lupa berolah raga. Akhirnya, setelah lewat usia 30, coba lihat apa yang terjadi? Jantung kita cape loh dipaksa terus bekerja lewat dari 24 jam. Begitu juga dengan anggota tubuh yang lain. Ginjal yang dipaksa bekerja keras mengolah makanan tanpa asupan yang seimbang, hati yang dipaksa untuk memilah semua racun yang kita sumpalkan ke dalam tubuh, belum lagi mata, mulut, tangan, otak, kaki. Akhirnya… mulailah satu persatu kelelahan. Tidak heran jika akhirnya mereka yang sudah lewat usia 30 mulai berdatangan dengan berbagai keluhan penyakit.”

Huff.

“Mas, sore nanti aku ingin mengunjungi tetangga kita yang sakit.”
“Oh, sakit apa?”
“Entahlah. Kata ibu-ibu di arisan kemarin sih, beliau katanya jantungnya bocor, levernya bermasalah dan ginjalnya kenapa gitu. Aku pingin ke rumahnya.”
“Sendiri atau ramai-ramai dengan ibu-ibu arisan yang lain?”
“Sendiri mungkin.”
“Oke, hati-hati ya.”

---000---

Suasana Sore

Cantik. Satu kata itu langsung muncul dalam kepalaku ketika aku pertama kali bertemu dengan tetanggaku ini. Usianya lebih muda tiga (3) tahun dariku. Konon kabarnya, dia masih keturunan bangsawan Jawa yang cukup berada dahulu. Sisa-sisa kabar ini masih terlihat dari rambutnya yang tebal hitam dan bergelombang, gayanya gemulai ketika berjalan, dan tutur katanya yang amat halus ketika berbicara. Kulitnya yang kuning langsat selalu terlihat menonjol jika dia sedang berada di tengah-tengah ibu-ibu arisan yang lain. Lengan mulusnya selalu terlihat menutupi mulutnya jika dia sedang ingin tertawa lebar. Sopan santun memang selalu terjaga rapi dalam penampilannya. Tidak pernah sekalipun aku melihatnya bersikap grabak grubuk, tidak terkendali, tertawa ngakak, apalagi duduk tidak rapi.

Konon kabarnya lagi; pernikahannya tidak direstui oleh keluarganya. Ya, dia jatuh cinta pada rakyat biasa yang berprofesi sebagai pembuat tempe. Itu sebabnya, ketika pertama kali melihat sosok perempuan jelita ini, aku hampir merasa pasti bahwa dia berasal dari Status Sosial Ekonomi Menengah ke atas demi melihat penampilannya yang rapi, cantik, gemulai dan santun. Tidak heran aku sedikit syok ketika berkunjung ke rumahnya (karena kebetulan dia kedapatan arisan) dan mendapati rumahnya yang mungil dan amat sederhana. Tapi kekagumanku padanya tidak luntur sama sekali. Bayangkan, minus perawatan salon dan minus gaya hidup yang bisa menunjang langgengnya sebuah kecantikan, dia masih bisa tampil begitu memukau.

Lalu, ke rumahnyalah sore ini aku menuju, lengkap dengan buah tangan ala kadarnya.

Lalu, di rumahnya itulah aku langsung terpana. Kembali terpana hingga terhenyak.

Bulu kudukku meremang, dan sebuah rasa teriris terasa perih di dalam benakku.

Perempuan jelita itu berdiri di muka pintu dengan sosok yang nyaris tidak aku kenal. Rambutnya yang tebal, hitam dan bergelombang kini tersisa hanya beberapa helai saja. Warnanya pun sudah berubah menjadi abu-abu. Matanya yang bulat ayu, berubah menjadi mata yang layu dan lesu. Kulit kencangnya yang dahulu kuning langsat kencang, kini terlihat mengkerut, bergelambir keriput dan berwarna kuning tidak langsat. Benar-benar kuning, seperti kulit pisang. Kedua tangannya kegemetar tidak bisa diam, tremor. Berdirinya mengangkang dan oleng.

"Saya mengalami kebocoran jantung. Ginjal saya juga rusak satu. Lalu hati saya mengalami pembengkakan." Suara lirih dan merdu dahulu, kini berubah menjadi suara bervibrasi, lirih cempreng seperti suara nenek-nenek.

Perempuan jelita itu…. Aku tahu pasti usianya lebih muda tiga (3) tahun dari usiaku. Tapi sore ini dia berdiri seakan-akan seorang nenek-nenek yang berusia 80 tahun. Bahkan suaminya terlihat seperti anaknya, dan anaknya terlihat seperti cucunya.

Aku ingin menangis, tapi tidak boleh menangis.

Duhai Yang Maha Berkuasa. Begitu besar kuasa Yang Engkau miliki hingga sebuah kecantikan yang sempurna dalam sekejap bisa Engkau ubah menjadi keburukan dalam waktu yang amat sekejap.

“Mas, kamu tahu. Bulan lalu, aku masih mengagumi kecantikannya yang ayu bak putri keraton. Tapi, seandainya kamu bisa melihatnya tadi, ternyata nyata sekali bahwa tidak ada yang bisa abadi di muka bumi ini. Kecantikan itu lenyap hanya dalam waktu satu bulan. Aku nyaris menyangka dia adalah neneknya temanku itu. Tapi ternyata nenek-nenek itulah dia sendiri.”

---000---

Berapa lama waktu yang tersedia dalam satu hari satu malam?

Waktu yang tersisa ketika sebuah keceriaan pagi yang menggelora berubah menjadi malam yang temaram?

Berapa lama waktu yang dibutuhkan matahari untuk berjalan menyusuri cakrawala guna mengejar rembulan?

Hingga merubah suasana terang benderang menjadi gelap yang pekat jika saja tidak ada pijar lampu jalanan dan cahaya bintang?

Entahlah. Jawabannya mungkin bervariasi pada tiap-tiap daerah dan wilayah. Tidak pasti.
Tapi, aku melihat sebuah kepastian yang nyata hari ini. Bahwa hanya dibutuhkan waktu yang sekejap saja untuk merubah sebuah kejayaan masa muda dan kecantikan yang sempurna, menjadi masa tua yang rapuh. Lalu, kecantikan yang dimiliki pun menguap sirna.

Ya Allah, Maha Besar diriMu, dan Maha Sempurna.

-----selesai------
Penulis: Ade Anita (catatan kenangan bulan Maret 2011).

Tidak ada komentar