Ini Pola Hidup Sehat Yang Aku dan Suamiku Jalankan sebagai #healthAgent

[Lifestyle: Kesehatan]: Siapa coba yang mau menderita sakit.
Kebetulan, aku dikelilingi oleh keluarga besar dengan riwayat penyakit yang beragam. Ayahku, punya tekanan darah rendah dan penyakit pencernaan. Sedangkan ibuku punya asma, gula darah, tekanan darah tinggi dan jantung. Kesemua penyakit ini, tentu saja bersifat herediter, alias diturunkan dari generasi ke generasi. Jadi, kami anak-anaknya membawa gen yang memiliki bakat untuk bisa terkena penyakit-penyakit tersebut.  Jadi baru bakat ya, belum pasti terkena.

Bakat penyakit itu artinya jika kami tidak hati-hati menjalankan pila hidup sehat maka bisa jadi penyakit itu muncul dan menyerang kesehatan kami.

Mengabadikan Matahari

Setiap kali aku pergi mengantar anak-anakku ke sekolah, inilah pemandangan yang paling aku sukai. Melewati moment ketika matahari terbit dari atas jembatan penyeberangan yang ada di atas jalan raya MT Haryono.

Jika sudah begini, rasa lelah, penat, jenuh, panik takut telat, dan sebagainya hilang dalam sekejap.









Anak dan Sepasang Sepatu

Jakarta itu kota yang sering macet.
Sepertinya, semua orang sudah tahu itu ya.
Nah. Untuk mengantisipasi macet, maka aku memilih untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi jika ingin mengantar dan menjemput anak sekolah.

Biasanya, pagi-pagi aku dan kedua putriku sudah berangkat sebelum jarum jam menunjukkan pukul enam pagi. Karena jika lewat jam enam, sudah bisa dipastikan ada yang tiba terlambat di sekolahnya. Rute perjalananku ketika mengantar kedua putriku adalah, yang SMA dulu (SMA 8 Bukit Duri) baru kemudian menuju ke sebuah Sekolah Dasar Swasta di bilangan Tebet.

Jalan kaki, naik jembatan penyeberangan, turun jembatan penyeberangan baru kemudian naik kendaraan umum.


Di Punggungku, ada tas ransel sekolah anakku.
Jika sudah begitu, maka  sebuah benda yang amat besar jasanya buatku adalah sepasang sepatu.

Sejak tahun 2012, kedua lutut dan pergelangan kakiku terkena pengapuran tulang. Jadi, ceritanya kata dokter usia tulangku di kedua tempat itu lebih cepat tua dibanding usia biologisku. Dari pemeriksaan usia kepadatan tulang, usia lutut dan pergelangan kakiku tuh kata dokter sih sudah 60 tahun (uhuk..uhuk..). Jadi tidak seimbang dengan usia biologisku yang baru sweet seventeen lewat (hitung pake kalkulator.... lewat seperempat abad...wkwkwkkw.... masya Allah, digit usiaku sudah bisa dihitung dengan kalkulator).

Nah... karena pengeroposan tulang tidak bisa disembuhkan, pun tidak bisa dikurangi.... tapi bisa dicegah agar tidak terus bertambah luas dan bertambah parah, maka aku pun mulai amat memperhatikan yang namanya SEPATU. Dokter tulangku memang menyarankan agar sepatu yang aku gunakan haruslah sepatu yang empuk dan nyaman dipakai sehingga ramah untuk lutut dan pergelangan kaki.

Itu sebabnya, nyaris untuk kebutuhan sepasang sepatu, aku termasuk yang cepat sekali ganti. Sama seperti kebutuhan memiliki sepasang sepatu pada anak-anak. Bedanya... anak-anak membutuhkan sepasang sepatu baru karena mereka tumbuh dengan cepat sehingga sepatu mereka cepat sekali kekecilan sedangkan aku... untuk mencegah agar gejala pengeroposan tulangku tidak semakin luas dan parah.

Anak-anakku... tahu tentang penyakitku ini.
Itu sebabnya mereka menaruh perhatian cukup besar pada sepatuku.
Jika aku membeli sepatu baru sedangkan mereka tidak... mereka tidak ada yang cemburu. Malah mereka mendukung. Mereka ikut menemaniku mencari sepatu, kadang ikut memberi suara mana sepatu yang lebih baik aku beli jika aku punya beberapa kandidat sepatu baru yang lucu-lucu.

Menurutku, untuk urusan penyakit, akan lebih baik jika sesama anggota keluarga (istri-suami-anak-anak) tahu apa penyakit satu sama lain. Keterbukaan ini akan melahirkan rasa pengertian dan rasa kasih dan sayang serta keinginan untuk saling membantu satu sama lain.

Justru, kesalah pahaman sering muncul ketika kita menyembunyikan sebuah penyakit menjadi sebuah rahasia. Dan kesalah pahaman ini bisa fatal malah.
Apalagi jika itu berhubungan dengan sesuatu yang menimbulkan reaksi alergi atau efek samping lain.

Meski rasanya pahit, terkadang, keterbukaan dan kejujuran memang jauh lebih baik. Kecuali jika memang menyimpan sebuah rahasia dirasakan lebih mendatangkan manfaat daripada mudharat.

Nah.... karena anak-anakku tahu bahwa aku dan sepatu itu adalah dua yang tak bisa disepelekan, maka mereka juga menaruh perhatian terhadap kebutuhankku ini.

Ini salah satu moment sweet dimana putri bungsuku selalu mempersiapkan sepasang sepatuku selalu siap di depan pintu jika aku masuk ke suatu ruangan dan harus lepas sepatu. Jadi, jika aku ingin memakai sepatuku lagi aku tidak perlu susah mencari dimana sepatuku. Baca di tulisanku "anakku yang so sweet" deh. Itu asli sweet banget menurutku sehingga aku sering diam-diam terharu.

Nah. Sedangkan gambar ini adalah foto kenanganku ketika putri keduaku dengan manis memperbaiki tali sepatuku yang terlepas. Aku memang sering kesulitan memasang tali sepatu... tas pinggang yang setia bergelayut di pinggang dan perutku ini (baca: lemak di perut) memang menyulitkanku untuk membungkuk memperbaiki tali sepatu yang terlepas. Nah... putri keduaku dengan manis memperbaiki tali sepatuku tanpa harus disuruh dan tanpa berkata apa-apa sekedar untuk mengharapkan ucapan terima kasih. Dia... melakukannya begitu saja. Dan itu asli membuatku terharu...
Alhamdulillah.

Facebook, 9 mei 2014: Urusan tali sepatu utk ibu2 rempong (*plus maunya cepat n praktis) kayak aku tuh suka ribet. Kadang, aku suka selipin aja tali sepatuku di sisi kaus kaki. Tapi enaknya punya anak perempuan (alhamdulillah) sebelum dia pergi jalan2 dengan teman2nya, dia menyempatkan diri untuk mengikat tali sepatuku dulu. Jadi pas aku mau pergi, aku tinggal SLURP.. memasukkan kakiku saja. Praktis.
Alhamdulillah.

Jangan Biarkan Anak Main Gadget Terus

[Parenting] Putriku yang paling kecil, masih duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar saat ini. Dua pekan lalu, dia diliburkan oleh sekolah karena kakak kelasnya yang duduk di kelas 6 sedang menjalani Ujian Nasional dan Ujian Sekolah.

Kebetulan, di lingungan sekitar rumahku putriku ini tidak punya banyak teman. Malah bisa dikatakan tidak ada. Karena tetangga kiri kanan kebanyakan adalah rumah-rumah yang dijadikan tempat kost-kostan. Jika pun ada rumah yang ditempati sendiri, tidak ada anak kecil yang sepantaran dia.

Ceklist Perlengkapan jika Bepergian Dengan Si Kecil

[Parenting] Bulan Juni hingga Juli, adalah bulan liburan!
Mengapa? Karena, di menjelang akhir bulan Juni, seluruh masa pendidikan sepanjang tahun ajaran selesai ditamatkan. Setelah bagi rapot, anak-anak pun libur kenaikan kelas.

Secara kebetulan, yang memperoleh libur kenaikan kelas bukan hanya mereka yang duduk di bangku sekolah saja (sekolah dasar dan sekolah menengah). Tapi juga mereka yang duduk di bangku kuliah. Bulan Juni dan Juli ini adalah masa liburan setelah mereka menyelesaikan akhir semester genap. Itu sebabnya pada bulan Juni dan Juli tempat-tempat yang menjadi tujuan berlibur keluarga mulai penuh terisi kunjungan.

Pendidikan Seks untuk Mencegah Kejahatan Seksual pada Anak

Suatu hari di tahun 2000-an, yaitu ketika aku masih mengasuh rubrik "uneg-uneg" di website Kafemuslimah.com (yang kini sudah tidak ada lagi); aku mendapat sebuah email yang berisi curhat.

Sebenarnya, yang namanya curhat via email itu sering aku terima. Tapi kali ini, aku benar-benar bengong dan asli termangu. Kenapa? Karena gaya tutur dan gaya berbahasanya amat familiar di mataku. Aku tahu, meski si pengirim email menggunakan nama palsu, tapi dia adalah salah seorang yang aku kenal. Memang tidak ketahuan siapa tepatnya orang tersebut. Tapi...

Dengan kulit merinding aku kembali menekuni isi emailnya. Mengabaikan kenyataan siapa sosok asli di belakang penulis email.
Ya. Aku harus profesional; lihat masalahnya bukan orangnya.
Bantu masalahnya, dan tidak menyorot orangnya lalu memperlakukannya secara berbeda hanya karena dia "orang terkenal atau orang yang aku kenal".
Aku baca baik-baik suratnya... mencoba untuk menelusuri masalahnya....  dan lalu menangis.
Sebagai seorang ibu, aku tidak bisa mengabaikan perasaanku ketika membaca curhatnya.

Isi curhat dari pengirim adalah cerita bahwa dia ketika kecil pernah mendapatkan pelecehan seksual yang cukup traumatik. Dilakukan berkali-kali oleh pamannya sendiri. Dan itu dilakukan di rumahnya sendiri, bahkan kamarnya sendiri.
Kenapa bisa begitu?
Karena kedua orang tuanya bekerja di luar rumah. Lalu semua kakaknya pergi ke sekolah dan pembantunya sibuk di dapur di rumahnya yang besar.

Tentu kalian bingung, mengapa dia tidak teriak?

Teriak.
Dia teriak minta tolong.... berontak... protes... tapi, usianya waktu itu baru 3 tahun.
T_I_G_A tahun!!!

Pemberontakan apa yang bisa dilakukan oleh balita usia 3 tahun melawan seorang paman yang jauh lebih besar dan sudah bermental binatang? Apa yang bisa dilakukan oleh seorang balita usia 3 tahun ketika berhadapan dengan seorang lelaki yang sudah dirasuki oleh durjana yang sudah kehilangan nuraninya?

Dan akibatnya... di usianya yang sudah kepala dua, balita yang sudah besar itu sekarang mengalami trauma menghadapi pernikahan. Lebih dari itu, bahkan untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis pun dia takut. Karena dia tahu, dan sadar, bahwa ujung dari hubungan dengan lawan jenis itu pasti akan berakhir ke sebuah pernikahan. Dan sebuah pernikahan, konsekuensinya adalah terjadinya sebuah hubungan intim suami istri. Dan disitulah trauma yang dialaminya di masa kecil kembali membayang.

Itu ceritaku di tahun 2000-an. Masih awal milenium baru.
Bagaimana setelah lebih dari satu dasawarsa seperti sekarang?
Ternyata, kejahatan seksual pada anak-anak terus saja terjadi. Bahkan cenderung semakin banyak dilakukan. Entah karena beritanya banyak diangkat oleh media sehingga semua yang selama ini tidak diperhatikan menjadi muncul di permukaan; atau karena memang kejahatan jenis ini marak terjadi.



Kalau sudah begini... salah siapa ya sebenarnya?

Mau menyalahkan sistem pendidikankah? Atau menyalahkan media kita yang semakin liberal? Atau menyalahkan perilaku masyarakat kita yang semakin permisif pada banyak hal sehingga menyebabkan keseluruhan sistem dalam masyarakat kita ikut berubah?

Duh. Malah makin pusing ya jika kitanya malah mencari kambing hitam untuk semua permasalahan yang muncul menyergap sekeliling kita.

Nah.... mungkin daripada kita menyalahkan pihak lain; ada baiknya kita melakukan pencegahan pada lingkungan terdekat di sekitar kita. Yaitu dengan memberikan edukasi seksual pada anak-anak yang ada di lingkungan terdekat kita. Khususnya jika kalian adalah orang tua yang bekerja di luar rumah sehingga harus meninggalkan anak-anak di rumah.

Jaman sekarang, bukannya aku ngajarin orang untuk parno, tapi, siapa saja punya kans untuk mencelakai anak-anak kita. Jadi, mencegah tentu sebuah perilaku yang amat bijak untuk dilakukan.

Nah... ini adalah video yang berisi tentang pendidikan seks untuk mencegah kejahatan seksual pada anak.
Please tonton dan simak pesan di dalamnya ya.