Percaya Pada Kemampuan Anak

[Catatan Akhir Tahun] Dan ini sepertinya adalah catatan akhir tahun terakhirku. Tentang arti kalimat Percaya Pada Kemampuan Anak. Seperti apa sih wujudnya? Sepanjang anak-anakku bersekolah, aku sering sekali membaca rangkaian 4 kata yang membentuk kalimat "percaya pada kemampuan anak" ini. Nyaris sebagian besar orang tua sudah merasa melakukannya, termasuk aku dan suami. Dan nyaris semua pakar parenting selalu menggaungkan 4 kata yang membentuk kalimat "percaya pada kemampuan anak" ini. Pertanyaanku, seperti apa sih wujudnya?


Dan alhamdulillah, pertanyaanku sudah terjawab lewat sebuah pengalaman yang terjadi di bulan-bulan akhir tahun 2019.

Jadi nih, ceritanya putri bungsuku tahun 2020 ini insya Allah akan menghadapi ujian nasional serta ujian penentuan kemana dia akan melanjutkan SMA nya kelak.
Mules dan deg-degannya tuh sudah terasa sejak dia mulai masuk kelas 9 sebenarnya.

Bukan apa-apa sih. Tapi, zonanisasi telah membuat SMA yang menjadi tujuan anakku kelak adalah SMA favorit yang diperebutkan oleh seluruh anak di DKI Jakarta, yaitu SMA 8 Jakarta. Dan aku tahu pasti, beberapa SMP di zona tempat kami berada, mereka all out menggembleng anak didiknya agar mendapat nilai tinggi semaksimal mungkin. Tidak hanya lewat gemblengan di sekolah saja, tapi juga melalui bimbel.

Sementara SMP tempat anakku berada terlihat santuy (oh ya, santuy ini juga sepertinya istilah baru dalam bahasa gaul yang muncul di tahun 2019 deh, artinya santai). Jadi, anak-anak kurang termotivasi untuk meraih nilai tertinggi.

Dan aku tahu, anakku sedang mengalami mood swing akibat dari masa remaja yang harus dia lalui bersama segala konsekuensi hormonalnya. Jadi, anakku sering terpengaruh dengan suasana di sekitarnbya. Dalam hal ini, sekolah yang santuy, dan teman-teman yang juga santuy. Aku yang jadi deg-degan.

Akhirnya, pengumuman hasil PAS (Pekan Ulangan Semester) diumumkan di akhir bulan November 2019. Hasilnya, alhamdulillah anakku lumayan di kelasnya, tapi di sekolah belum masuk 30 besar.  Nah, beberapa teman yang satu genk dengan anakku, nilainya ternyata kecil.

Jadilah di grup ibu-ibu kelas anakku, kami semua saling curhat tentang kegalauan kami melihat hasil nilai tersebut. Hinga satu orang ibu curhat bahwa dia sedih melihat anaknya menangis karena melihat nilai ulangan yang hancur.

"Aku sedih melihat anakku sedih. Jadi jika di rumah, kami tidak pernah membicarakan tentang nilai tersebut sama sekali. Karena kami semua jaga perasaan dia. Dia sampai nangis loh di kamarnya. Lalu jadi patah semangat. Aduh, aku sedih melihatnya."

Curhat si ibu di grup whats app.
Aku, iya sih aku juga sedih. Aku merasa anakku belum maksimal berusahanya. Aku percaya bahwa anakku bisa lebih maksimal.

Akhirnya, kami jadi saling menghibur satu sama lain. Setengah tahun berkumpul dalam satu grup dan saling curhat tentang anak masing-masing, pada akhirnya membuat kami saling terbuka dan saling membantu satu sama lain.

Jika pada sebagian anak, dipajangnya nilai perolehan akan bisa memotivasi si anak agar lebih giat belajar, ternyata pada kenyataannya, dipajangnya nilai secara terbuka itu bisa melukai perasaan sebagian anak yang lain. Aku sendiri, termasuk orang tua yang lebih menyukai keterbukaan dan dalam hal ini dipajangnya nilai di papan informasi sekolah adalah bagian dari keterbukaan.

Catatan Parenting A la Ade Anita: Kita tidak pernah bisa mengatur kehendak dunia. Karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di hari esok. Tapi kita bisa mengendalikan diri kita sendiri. Tentu saja lewat persiapan tertentu. Sebagai orang tua, hendaknya setiap orang tua harus mempersiapkan anak agar tangguh menghadapi perubahan di dunia di luar keluarganya.  Setidaknya, mempersiapkan mental untuk siap kalah dan siap menang. Agar jika kalah tidak lantas terpuruk dan lupa bangkit, dan ketika menang, tidak jadi sombong lalu malah lalai.

Kebetulan, salah satu anak tidak siap dengan kenyataan bahwa nilainya hancur di PAS. Dan mendapati nilai peroleh rendahnya dipajang membuat anak jadi merasa terpukul dan terpuruk. Tentu saja ibunya sedih. Akhirnya kami diskusi tentang anak di grup.  Dan disinilah aku bertemu dengan 4 kata yang merangkai kalimat "Percaya pada kemampuan anak".




Catatan Parenting A La Ade Anita: Makna dari 4 rangkaian kata yang membentuk kalimat "percaya pada kemampuan anak" itu bukan berarti orang tua sepenuhnya melepas anak melakukan sesuatu. 
Tidak.
Tidak demikian
Tapi, mendukung anak untuk melakukan sesuatu tapi orang tua harus tetap mendampingi dan memberi bantuan agar anak bisa mengatasi masalahnya dengan kemampuan dirinya sendiri. Orang tua hanya membantu menunjukkan arahan yang benarnya saja. 

Mungkin ilustrasi membantu mengajari anak menyeberang jalan raya di bawah ini bisa membantu sebagai gambaran apa sih makna percaya pada kemampuan anak.

credit foto: pixabay

Jadi, tetap biarkan anak menyeberang jalanan sendirian. Tapi, kita sebagai orang tua memastikan dulu bahwa itu bukan jalan raya yang ramai lalu lintasnya. Dan kita sebagai orang tua juga tidak membiarkan anak menyeberang jalan raya sendirian. Dampingi di samping agak belakang, tidak menuntun tapi mata tetap awas, waspada terhadap gerakan si anak plus waspada jika ada kendaraan yang tiba-tiba nyelonong.

Setiap anak itu pandai. Itu faktanya. Tidak ada anak yang bodoh. Hanya saja, tidak semua anak punya kesempatan untuk mengetahui dimana keunggulan dan kelemahan dia. Dan tidak semua anak tahu bagaimana cara mengatasi kekurangan atau kelemahan yang dia miliki. Dan ini, menjadi bagian dari tugas kita sebagai orang tua untuk membantu anak kita.


Dan inilah catatan akhir tahunku yang terakhir. Sampai jumpa tahun depan, 2020. Insya Allah.

Tidak ada komentar