Jangan Menyerah

[Parenting]  Mungkinkah anak IPS pindah ke IPA? Jawabannya tentu saja mungkin. Tapi bagaimana caranya? Ini status panjangku di facebook, pada bulan juni 2014 silam. Sudah lama ya. Aku baru menemukannya lagi dan memutuskan untuk menyimpannya di blog agar bisa dibaca kapan saja. Ini, cerita tentang perjuangan putriku yang nomor 2. Bukan hanya perjuangan dia ketika pindah dari IPS ke IPA tapi tentang perjuangan dia melawan rasa manja yang dia miliki hingga bisa membawanya dari posisi yang nyaman dan aman ke posisi yang lebih menantang dan insya Allah bisa lebih memunculkan kebiasaannya.

Putriku pindah dari IPS ke IPA itu hanya berselang 1 bulan sebelum pekan ujian tengah semester dimulai. Ini cerita yang aku tulis di status facebookku. Selamat membaca.






JANGAN MENYERAH.


Putriku,  tahun ini mengalami penyesuaian kebijakan pendidikan. Itu sebabnya ketika lulus SMP, kami (putriku, aku, suami dan putra sulungku) perlu waktu cukup lama untuk menentukan pilihan: IPA ATAU IPS.

Berbeda dengan tahun2 sebelumnya, lulusan SMP tahun ini memang langsung diarahkan utk memilih peminatan langsung. Bahkan meski mereka belum tahu apa bedanya IPA dan IPS itu "dalam arti sebenarnya".

Yang mereka ketahui hanya:

  • - pilih IPS kalo mau masuk jurusan sosial di perguruan tinggi nanti (*tapi premis ini otomatis gugur krn ternyata jurusan IPA pun bisa masuk ke jurusan ini)
  • - kalau mau belajar lebih santai, pilih IPS (*ah, ini mah tergantung anaknya kali, apapun jurusannya kalo anaknya santai ya tetap aja dibawa santai)
  • - kalo gak suka ngitung2 jangan pilih IPA (*nah... ini lagi nih. Memangnya pelajaran matematika ekonomi dan akuntansi itu gak ada hitungannya apa?)
  • - Kalau ngerasa kuat hafalan mending pilih IPS daripada IPA (*ehem...ehem...kenyataannya, hafalan di pelajaran Kimia, biologi dan fisika itu banyak banget yang hafalan matinya. Mana bisa rumus dan istilah2 baku ilmu eksak diimprovisasi begitu saja).
  • - Kalau ngerasa gak bisa gaul dan kuper jangan masuk IPS (*hahahahha....malas ah ngebahas gosip ini)
  • - Anak IPS lebih "hedon" jadi kalo ekonomi pas2an mending masuk IPA (*ih, ini gosip rasis banget).

Nahhh... dengan pengetahuan tentang IPA dan IPS yang seuprit itulah semua lulusan SMP yang akan masuk SMA harus menentukan mau masuk IPA atau IPS.

Putriku perlu waktu cukup lama memilih karena harus mengalami adegan brain storming terlebih dahulu dari kami (ortu n kakaknya). Ujungnya, tentu saja nilai NEM menentukan. Dan akhirnya dia masuk IPS padahal dalam hati mau masuk IPA (*belakangan dia sedikit kecewa dg kenyataan harus masuk IPA. Alasannya: karena ternyata lulusan IPA diberi kesempatan lebih banyak utk memilih penjurusan kuliah nanti ketimbang lulusan IPS. Dan jurusan IPA juga diberi keistimewaan lebih drpd  jurusan IPS. Salah satunya: hak utk mengikuti akselerasi. Diskriminasi memang. Tapi... demikianlah kenyataannya).

Itu sebabnya, ketika di dua pertiga semester aku mengetahui ada bangku kosong di IPA akibat dibukanya kelas akselerasi, aku langsung kasak-kusuk dengan menggotong regulasi kebijakan yang membolehkan siswa pindah jurusan jika memang ada bangku kosong.

Bayangkan. Hanya berselang 1 (satu) bulan sebelum UAS, akhirnya putriku resmi pindah ke IPA. Tidak ada matrikulasi karena guru2 tidak ada waktu utk memberikan matrikulasi. Jalan keluar mengejar ketertinggalan hanya les privat selama 2 jam full untuk mempelajari pelajaran 1 semester.

"Bisa nak... bisa. Santai aja, kami yakin kok kamu bisa."
"Tapi mumet aku belajarnya. Aku cuma sanggup belajar 2 mapel aja ah."
"Ya udah gpp. Kamu pilih mapel apa yang mau kamu kejar? "

Setelah merenung dan memikirkan, putriku hanya sanggup mengejar pelajaran kimia dan biologi.

"Gpp ya dua itu aja."
"Iya gpp."
"Jadi kayaknya aku bakalan dapat jelek di pelajatan matematika dan fisika."
"Gpp. Santai aja. Ini kan baru semester awal."

Sejak awal ketika bernegosiasi dengan pihak sekolah, kami memang memberitahu pihak sekolah bhw sekolah gak usah khawatir jika anak bakal stress karena kami ortu yg tidak pernah menuntut anak agar bisa meraih peringkat atas.

Dan hari ini, hari pembagian rapor.
Seperti dugaan semula, mapel fisika matematika putriku hany mendapat nilai C (tapi yg lainnya B semua alhamdulillah,  A- juga ada). Jadi.... aku tetap bangga dengan anakku (dan lupakan nilai C nya).

Kenapa?
Karena dia tidak merasa tertekan dan tetap happy.

Aku menghargai usaha dia untuk mapel yang lain yang tidak mengecewakan. Aku juga menghargai usaha dia untuk berbaur dengan cepat dengan suasana dan pressure baru di kelasnya yang baru sebulan dihuninya itu. Dan aku menghargai usaha dia untuk berusaha maksimal dan tidak putus asa dengan ketertinggalan dia dibanding teman2nya yang lain. Aku juga menghargai keceriaan yang tetap dia miliki di tengah semua kerepotan barunya (*dan ini yang utama... anak tetap ceria dan happy).

Jelang pulang,  wali kelasnya memberitahu bhw putriku cukup baik mengikuti kelas barunya.  Dan memberi kesempatan kedua utk perbaikan nilai mengejar ketertinggalannya. Cihuiii.

Jadi.... ayoooo ah ... jangan menyerah. Jika hati tetap senang dan ikhlas, semua insya allah biaa diatasi.

Tidak ada komentar