Kapan Aku Merasa Bangga Pada Diriku Sendiri

 [Lifestyle] Challenge hari pertama, aku diberi pertanyaan. "Write about a time that you felt proud of yourself."

Coba aku ingat-ingat dulu ya, kapan aku merasa bangga dengan diriku sendiri? Pastinya bukan ketika aku merasa GR sendiri kan? Karena kalau ini sepertinya sering deh. Atau, ketika aku merasa senang karena mendapat hadiah atas hasil usahaku sendiri. Wah. Ini mah udah keseringan. Hehehe. Karena aku sepertinya termasuk orang yang sentimentil. Jadi, hadiah apapun, cepet terharunya dan mem- puk puk diri sendiri, "Ade, kamu keren. Ayo bersyukur." Jadi, nggak usah diingat yang ini.

Sesuatu yang membanggakan tapi sudah sering kita dapatkan, nilai kebanggaan karena mendapatkannya akan semakin kecil seiring semakin seringnya mendapatkannya. Suatu saat bahkan mungkin terasa biasa saja. Tidak ada lagi rasa bangganya.

Jadi, aku lagi mengingat-ingat yang lain saja. 

Apa ya?

Sepertinya sih, aku bangga dengan diriku sendiri ketika berhasil mengatasi rasa ketakutanku yang absurd deh.

Ada dua peristiwa dimana aku merasa bangga dan sampai detik ini merasa tidak percaya aku bisa melakukannya dulu. Ya Allah, Masya Allah, alhamdulillah banget aku berhasil melakukannya dulu. Sekarang, belum tentu sih. Eh... nggak tahu juga deh. Hahaha.

Peristiwa Pertama : Memberi susu pada seekor ibu kucing yang habis melahirkan.

Buat orang lain mungkin ini peristiwa yang biasa saja ya. Tapi tidak buatku. Aku seorang yang phobia kucing.

Jadi, ceritanya suatu hari aku sendirian di rumah. Kamar tidurku tepat ada di paling depan rumah, bersisian dengan teras rumah yang mungil. 

Suatu siang, aku mendengar suara gaduh kucing yang sedang merintih separuh teriak kesakitan. Waduh. Aku takut banget sama kucing. 

Jadi, ketika sedang tidur mendengar kucing merintih separuh teriak kesakitan itu, aku terbangun dari tidur siangku. Kaget. Gerakan pertama yang aku lakukan adalah, memeriksa pintu dan jendela apakan tertutup rapat dan terkunci. Aku takut kucing itu menerobos masuk ke dalam rumah. Lalu dari jendela kamar di pojok, aku mengintip. Dan terlihatlah seekor kucing sedang rebahan sambil menendang-nendang kakinya karena akan melahirkan. Darah mulai keluar dari kemaluannya. Aduh. Aku beneran takut.

Tapi, di rumah nggak ada siapa-siapa. Dan suara kucing itu benar-benar menakutkan buat seorang phobia kucing sepertiku. Jarak antara kucing dan jendela itu dekat banget soalnya. Jadilah, aku membuka facebook dan menulis kejadiannya secara life report.

"Ada kucing yang sedang mengerang kesakitan karena akan melahirkan di rumahku. Kucingnya masih remaja, badannya belum besar tapi perutnya melendung besar. Aku takut kucing, gimana nih? Kasihan tapi aku takut."

Berbagai komentar langsung datang. 

"Mbak, keluar minta tolong tetangganya gih buat nolong kucing itu." (Jawabanku: saya takut kucing, boro-boro minta tolong tetangga, keluar rumah saja saya takut gara-gara ada kucing itu di depan teras rumah)

"Mbak, nggak bisa nelepon siapa gitu buat ngasih bantuan ke kucing?" (jawabanku: nelepon siapa? Ini kan siang-siang, semua orang pada ke sekolah atau ke kantor. Termasuk tetangga mungkin juga begitu)

"Mbak, temani mbak. Elus-elus gitu, biar kucingnya merasa tidak sedang berjuang sendiri." (jawabanku, aku takut kucing. Gimana caranya mau ngelakuin itu?)

dan mungkin ada yang kesal dengan semua komenku jadi menulis begini,

"Sudah. Makanya nggak usah nulis status seperti ini jika tidak mampu melakukan apapun. Bikin kesal yang baca saja."

Huff.

Semua orang memberi perhatian pada kucing, tapi nggak ada yang peduli gimana aku yang sedang berjuang mengatasi rasa takutnya sendirian di rumah dan di depan rumahku ada binatang yang paling aku takuti sedang kesakitan. Ish. Netijen memang kejam.

Akhirnya, facebook aku tutup. Percuma minta dukungan dari sana karena buat netizen sepertinya binatang lebih patut dikasihani daripada manusia. 

Lalu aku meringkuk di pojok kamar. Mau tidur nggak bisa karena suara kucing itu terus terdengar dan aku takut suara itu masuk ke dalam mimpiku. Di dalam mimpi, biasanya suara yang menakutkan jadi pelengkap dari sosok raksasa kucing yang amat menakutkan dan utamanya, di dalam mimpi aku seorang diri menghadapinya. Itu jauh lebih menyeramkan. Aku tidak mau tidur dalam kondisi ini.

Mau makan, ya boro-boro tertelan.

Mau nonton televisi, ah, mau dibuat sebesar apa volumenya agar bisa mengalahkan suara kucing teriak kesakitan? Norak banget nggak sih jika kita menyetel televisi dengan suara yang menggelegar keras?

Aku duduk memeluk lutut sambil merapal al fathihah berulang-ulang dan menyenderkan punggung di dinding.

Kira-kira sejam kemudian, suara kucing itu tidak lagi terdengar. Pelan-pelan, aku beringsut menuju jendela dan mengintip. Ternyata anaknya sudah lahir. Jumlahnya entah berapa, pokoknya rada banyak dan besar-besar bentuk badannya. Seperti tikus curut yang tanpa bulu. Darah bertebaran di sekitar mereka. Menggenang. Dan ibu kucing yang masih remaja, tampak terkulai lemas. 

Aku langsung merasa jatuh kasihan. Terbayang ketika aku melahirkan anak-anakku dulu. Setelah anak-anak keluar dari rahim, aku merasa lega sekaligus lemas. Lelah dan tak bertenaga. 

Akhirnya, aku menuju ke daput dan membuat secangkir susu sapi putih. Lalu dituang ke dalam mangkuk, dan memutuskan untuk memberi ibu kucing susu tersebut. Tapi bagaimana caranya bisa memberi susu itu tanpa harus mendekati kucing? Rasa takutku pada kucing masih ada.

Setelah tiba di teras rumah, mangkuk susu aku taruh di atas ijuk sapu. Lalu, gagang sapu aku dorong ke arah kucing. Suara gagang sapu yang bergerak tersebut membuat ibu kucing mengangkat kepalanya sedikit dan melirik ke arahku. Aku takut. Jadi mundur lagi. Hampir saja membatalkan niat untuk memberi susu. Tapi, aku lihat pandangan wajah ibu kucing terlihat begitu lemas. Jadi, aku beranikan diri buat maju lagi. Dengan tangan dan lutut gemetaran, kembali mendorong gagang sapu agar mangkuk susu bisa mendekati kucing. 

Tapi ternyata kurang panjang. Jadi, aku kembali mencari gagang yang lain. Ketemu gagang pengki. Jadi, gagang sapu didorong oleh gagang pengki, terus melaju mendekati ibu kucing. Membawa mangkuk susu lebih dekat dengan ibu kucing. Ketika jarak ibu kucing dan mangkuk susu sudah amat dekat, aku lihat ibu kucing mulai menengadahkan kepalanya dan mulai menjilati susu dalam mangkuk ceper itu perlahan. Lalu lemas lagi, tergeletak lagi. 

Kasihan.

Dalam hati, aku malah mendoakan agar Allah memberi kekuatan pada kucing agar bisa minum susu agar tidak lemas. Jadi, aku mendoakan makhluk yang paling bikin aku takut agar kuat dong. 

Ibu kucing akhirnya kembali bisa mengangkat kepalanya lagi. Lalu mulai menjilati susu lagi. Lalu lemas lagi. Terkulai di pinggir mangkuk dan membuat mangkuk akhirnya terbalik dan air susunya tumpah di lantai.

Aku khawatir jika susu menjadi percuma dan terbuang. Tapi, ternyata susu yang tumpah di lantai itu malah membuat ibu kucing tidak perlu susah payah mengangkat kepalanya. Dia cukup rebahan dan menjulurkan lidah lalu mulai menjilati susu yang tumpah di sekitarnya. Makin lama makin intensif dan akhirnya dia bisa bergerak dan memandang anak-anaknya yang ada di belakang kaki belakang dan bokongnya.

Akhirnya, ibu kucing berhasil menyapa anak-anaknya yang masih belum bergerak karena terselimuti lendir seluruh badan mereka. Anak-anak itu sekarang sudah bisa dijilati dan setelah lendir berhasil dijilati, anak-anak itu mulai bisa mengeluarkan suara.

Alhamdulillah.

Aku kembali berlari masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah, aku tersenyum.

Wah. Masya Allah. Aku yang takut kucing akhirnya tersenyum ketika melihat kejadian barusan. Senyum lega karena si ibu kucing yang masih remaja berhasil survive melalui moment pertama kali melahirkan.

Kejadian ini yang membuatku merasa bangga pada diriku sendiri karena berhasil mengatasi rasa takutku sendiri, dengan memberi minum binatang yang aku anggap paling menakutkan di muka bumi.


Berhubung aku takut kucing, jadi nggak nyimpen foto kucing di laptop dan hape. Tapi, kemarin putriku selesai mandiin anak kucing liar yang katanya dekil dan bau amis banget, lalu dia handuki dan dia potret. Nah. Cuma ini satu-satunya foto kucing yang masih aku miliki di laptop (baru donlot biar tulisan ini ada fotonya). Abis dimandiin, anak kucing ini dilepas lagi di depan rumah. Ya sudah pasti kotor lagi sih, tapi terserahlah. Selama adegan memandikan, aku mengunci diri di dalam kamar.


Tidak ada komentar