CATATAN AKHIR TAHUN 2012: Takdir Yang Menakjubkan

[Catatan akhir tahun] 2012: Kisah Bunga Liar

Tanah pekarangan di rumah saya memang tidak luas. Hanya selebar 1,5 x 3 meter persegi saja tanah pekarangan tersebut. Bisa jadi, karena tanah sekecil inilah maka persediaan air tanah saja alhamdulillah terus tersedia.



Seperti diketahui, air tanah tersedia dari kemampuan mereka untuk menyerap air hujan yang turun ke bumi. Limpahan air gratis yang diturunkan Allah itu akan mencari jalan untuk masuk ke dalam tanah. Bahkan, bisa jadi, mereka sebenarnya lebih suka jika menelusup ke dalam tanah ketimbang masuk ke selokan atau parit yang sering dipenuhi sampah hingga menghalangi perjalanan akhir air menuju laut. Sayangnya, banyak orang, khususnya di perkotaan, yang menutupi tanah mereka dengan semen atau keramik. Tidak jarang seluruh halaman rumahnya dipenuhi dengan semen atau keramik. Satu-satunya tanah yang mereka miliki adalah tanah yang ada di pot-pot kembang tempat mereka memelihara tanaman. Itu sebabnya tanah semakin sulit menerima kiriman air hujan. Itu sebabnya, ketika musim panas sedikit berkepanjangan atau bahkan panjang, mulai banyak yang kekeringan sumurnya. Kiriman air gratis yang turun dari langit, diabaikan. Masuk ke selokan atau parit begitu saja. Tergenang, meluap, lalu banjir. Lalu mulai menuduh musim hujan sebagai biang keladi petaka banjir.

Ah.

Kembali ke tanah pekarangan yang saya miliki (saya benci jika harus membicarakan orang2 yang tidak bersyukur di musim hujan). Di atas tanah ini, saya menanam beberapa tanaman pilihan. Ada rumpun kemuning. Memanjang di samping pagar. Bukan hanya saya yang mencintai rumpun kemuning ini, tapi juga para tetangga. Ketika kemuning sedang berbunga, wangi yang dia tebarkan menyebar hingga ke gang-gang sempit di samping rumah. Lalu terus menelusup ke perkampungan sempit dan padat di belakang rumah. Di perkampungan sempit ini, rumah-rumah yang berdiri di sana mungil-mungil tapi penghuninya banyak. Suami istri dengan beberapa orang anak, nenek, kakek, ipar, adik, kakak, dan sepupu. Bayangkan saja rumah sempit yang hanya terdiri dari 2 atau 3 sekat ruangan, yang masing-masing sekat hanya selebar 2,5 x 2,5 meter, diisi oleh orang sebanyak itu. Masih ditambah dengan sepeda motor pula yang harus dimasukkan ke dalam rumah untuk alasan keamanan. Nah, jika malam, untuk mengurangi hawa panas dalam rumah karena masing-masing penghuni saling berebut oksigen dan ramai-ramai mengeluarkan karbondioksida dan bau badan, maka pintu dan jendela rumahpun harus dibuka lebar-lebar. Tentu saja setelah sebelumnya dipasang pintu dan jendela dari kasa nyamuk. Karena pintu dan jendela yang terbuka lebar inilah, maka wangi kemuning dari rumpun kemuning yang saya tanam di tanah pekarangan rumah, bisa masuk ke dalam rumah mereka. Wanginya membawa kesegaran. Saya ada beberapa testimoni para tetangga yang ramai-ramai mendatangi saya ketika melihat saya mengayunkan gunting tanaman untuk merapikan halaman:

"Bu Ade. Kemuningnya jangan dipotong ya, kalo malam enak wanginya sampai ke rumah. Jadi berasa tidur di kamar pengantin."

"Bu Ade, makasih ya dah melihara kemuning. Suka banget sama wanginya. Jadi segar rumah saya meski gak punya halaman."

Itu sebabnya rumpun kemuning adalah tanaman kesayangan saya di tanah pekarangan saya tersebut. Selain itu, saya juga menanam perdu Lidah Mertua (hehehe, namanya bikin rusuh ya?). Lidah Mertua ini berguna untuk mengikat polutan-polutan yang bertebaran di udara. Mengingat jalan raya di depan rumah lumayan aktif lalu lalang kendaraannya, maka saya pun memilih beberapa perdu Lidah Mertua. Berharap, udara yang masuk ke dalam rumah saya, telah melewati filter udara ini terlebih dahulu. Selain itu, saya juga menanam beberapa tanaman obat. Ada Mahkota Dewa, Sirsak, dan Tapak Darah. Sisanya adalah tanaman yang "harus tahan banting jika kebetulan saya malas mengurusnya. Dan kenyataannya, ternyata jika itu terjadi sering sekali." hehehe.

Di antara semua tanaman, ada sebuah tanaman yang saya berusaha tanam. Yaitu bunga Tapak Dara. Dulu, waktu ayah sakit (psirosis), ayah harus membuat olahan herbal dengan cara memetik beberapa helai daun Tapak Dara, dicuci, direbus, airnya disaring lalu diminum. Karena itulah saya sempat mencari tanaman ini lalu menanamnya. Tidak tanggung-tanggung, saya langsung menanam 6 buah pohon mungil ini. Dirawat, disiram, dikasi pupuk, tapi herannya, umurnya tidak pernah panjang. Hanya beberapa bulan, tanaman ini mati.

Lalu saya beli lagi. Penasaran. Dan langsung beli 4 pohon mungil. Perlakuan perawatannya sama. Bahkan kali ini saya ajak mereka ngobrol ketika saya sedang menyiramnya. Hehehe... Ini memang kebiasaan yang aneh. Saya memang sering mengajak ngobrol beberapa tanaman saya.

"Hei...kok sudah lama nih nggak berbunga? Berbunga ya... Biar wangi. Oke?"

Tapi hasilnya, tetap saja umurnya tidak panjang. Beberapa bulan mereka mati lagi.
Huff.

Akhirnya saya menyerah. Berhenti menanam tanaman Tapak Dara. Lalu melakukan kegiatan lain. Saya pikir, jika memang belum diberi kesempatan untuk bisa mendapatkan sesuatu, lebih baik kita bergerak melakukan yang lain terlebih dahulu. Karena hidup memang tidak bisa menunggu bukan? Jadi, kenapa harus ngotot di satu tempat saja?

Hingga tiba-tiba, ketika saya sudah melupakan keinginan untuk bisa memiliki tanaman Tapak Dara, tiba-tiba saya menemukan tanaman ini tumbuh di sebuah tempat yang masih merupakan bagian dari halaman rumah saya, tapi, posisinya sama sekali di luar dugaan. Dia tumbuh di atas dinding pagar samping rumah. Tersembul begitu saja dari rekahan dinding.

Wah. Subhanallah.

Kenapa ketika saya menginginkan sesuatu, amat sangat menginginkannya, malah susah sekali mendapatkannya? Tapi kenapa ketika saya sudah mengikhlaskannya, bahkan cenderung sudah berhenti berharap mendapatkannya, malah diberi, bahkan tanpa saya harus melakukan pengorbanan apapun?

Hidup itu menakjubkan ya. Dan kehendak takdir, adalah sesuatu yang tetap merupakan misteri yang di luar dugaan manusia.

---------
Penulis: ade anita



Tidak ada komentar