Barakallah untuk Seluruh Ayah di Muka Bumi

[Keluarga
Hari ini, timeline facebookku menampilkan memories today dimana aku bisa membaca ulang apa yang aku tulis di statusku hari ini, di tahun-tahun yang silam. Jadi sering aku teringat kembali sesuatu yang manis, atau terkesan, atau mengharukan, atau menginspirasi. Disitu pentingnya kita senantiasa berusaha untuk selalu meninggalkan jejak positif di akun media sosial kita. Karena sesuatu yang manis akan selalu menerbitkan senyum dan semangat tersendiri.


Sepertinya hari ini, insya Allah akan cerah. Langit biru bersih ketika jarum jam menunjukkan pukul 05.45 WIB.

Seorang...
Dikirim oleh Ade Anita pada Rabu, 09 November 2017



Untuk lengkapnya, tulisan ini adalah sebagai berikut:

Rabu, 09 November 2017.
Sepertinya hari ini, insya Allah akan cerah. Langit biru bersih ketika jarum jam menunjukkan pukul 05.45 WIB.
Seorang lelaki menjemur pakaian di teras atas lantai satu rumahnya. Air menetes satu satu dari pakaian yang dijajarnya sepanjang tali jemuran.
Tiba-tiba, anaknya yang masih kecil yang sedang bermain di gang kecil depan rumahnya berteriak nyaring.
"Ayahhhhh..... ada tikus besar berdarah darah! Usir dia ayahhhh." Panik. Dan dalam sekejab, lelaki itu meninggalkan jemurannya dan berlari ke lantai bawah. Menggendong anaknya lalu mengambil sapu. Tikus itu diusirnya.
Cinta ayah pada anaknya memang bukan cinta yang kerap dibalut kata manis "aku sayang padamu". Cinta ayah pada anaknya adalah cinta yang diam tapi kuat mengakar. Mungkin tidak ada kata seharum bunga yang akan keluar dari mulutnya tapi dia akan mengerahkan segenap asa seluruh jiwa untuk melindungi keluarga yang dia cintai. Jika perlu, kaki jadi kepala dan kepala jadi kaki.
Seperti pemandangan pagi ini. Ketika lelaki itu rela mencampakkan pakaian yang baru saja dicucinya demi berlari turun tangga membantu putrinya.
Karena dia adalah ayah bagi anaknya.
Untuk semua ayah, semoga kalian selalu dikaruniai kesabaran dan kekuatan.
#ayahjamannowitugakgampang #tetapsemangat

Dan ini adalah skrinsut komentar terpilih.





Iya. Entahlah.
Sayangku pada ayahku allahuyarham itu besar sekali rasanya. Tidak ada habis-habisnya meski beliau sudah kembali ke hadirat Allah di tahun 2009.

Aku ingat ayahku setiap kali melihat kebaikan atau keheroikan seorang ayah pada anaknya.

Ayahku lelaki biasa.
Pelit. Bukan ayah romantis. Tidak selalu punya banyak uang. Kepalanya banyak ketombe. Selalu merasa dirinya seperti Charles Bronson. Rajin merawat kumis yang cuma seiprit karena memang amat sangat susah menumbuhkan kumis seuprit itu (lelaki di keluargaku bukan tipe lelaki yang mudah menumbuhkan bulu tanda kemachoannya). Jika melucu sering tertawa sendiri hingga orang lain tidak bisa jelas mendengarkan leluconnya apa yang dia ceritakan.
Ah.
Pokoknya, ayahku ayah normal. Bukan ayah luas biasa, apalagi super.
Tapi aku sayang sekali pada ayahku.

Ayah yang pasti langsung izin lebih cepat dari kantor jika mendengar aku jatuh sakit dan dilarikan ke UGD cuma gara-gara asma kambuh.

Ayah yang menyempatkan diri bikin teh manis hangat untuk diantar ke meja belajarku jika aku sedang lembur mengerjakan tugas kuliah atau tugas sekolah.

Ayah yang rela dibangunkan pagi-pagi sekali hanya karena anaknya ada yang piket di sekolah jadi harus diantar lebih pagi dari teman-temannya yang lain agar ketika sekolah dimulai, kelas sudah dalam keadaan disapu dan dipel oleh team piket hari itu.

Ayah yang rela menunggu di pos satpam kantor pagi-pagi karena harus berangkat mengantar anak-anaknya sekolah pagi-pagi sekali sehingga ketika tiba di kantor, kantor baru dibuka 2 jam kemudian.

Ayah yang bersedia membelikan duren malam-malam dan mengajakku makan berdua diam-diam di dalam kamar karena aslinya, ibuku jika tahu pasti akan marah besar karena waktu itu aku sedang hamil anak pertama dan menurut ibu tidak boleh makan duren sama sekali. Tapi waktu itu aku pingin banget. Dan menurut ayah, makan sedikit tidak akan menjadi racun jika dimakan sambil membawa bismillah. Yang berbahaya bagi orang hamil makan duren jika makannya banyak. Dan kebetulan, ayah nggak punya uang buat beli banyak. Hahahaha. Klop.



(*dan ketika menulis semua kenangan sederhanaku dengan ayahku ini, meski hanya secuil, aku tetap meneteskan air mata karena rindu yang amat pekat pada ayah).

Mungkin ada yang bertanya hal yang sama dengan yang ditanyakan oleh temanku berikut ini?


 Mungkin ada yang bertanya hal yang sama dengan yang ditanyakan oleh temanku di atas?

Ini jawabannya. Jadi, ibunya baru saja melahirkan. Masih berbaring lelah (karena melahirkan di bidan), semalaman menyusui bayinya. Tidak ada pembantu karena mereka kalangan tidak mampu. Itu sebabnya pekerjaan istrinya untuk sementara dikerjakan oleh si suami. Seperti memasak, mencuci, menjemur, menyeterika pakaian, membersihkan rumah dan menjaga anaknya. Biasanya, si suami pergi bekerja setelah agak siangan. Setelah mengantar anaknya pergi ke sekolah dan sudah memasak terlebih dahulu agar istri yang baru melahirkan bisa makan bergizi agar bisa menyusui anaknya yang baru lahir.

Nanti istirahat kantor, si suami memilih pulang ke rumah, membawa makan siang untuk istrinya lalu menjemput anaknya pulang sekolah. Baru kemudian berangkat ke kantor lagi. Begitu saja pemandangan yang aku lihat dari teras rumahku.

Hingga saatnya ketika aku mendengar suara teriakan minta tolong anaknya dan melihat sendiri si bapak berlari tergopoh turun tangga dengan penuh heroik.
Sederhana sebenarnya. Ini adalah naluri ayah yang ada di seluruh muka bumi. Tapi, buatku itu sesuatu yang mengharukan.




Untuk gambaran rumah tempat si ayah tetanggaku itu menjemur adalah ini nih rumahnya.

Ini gambaran lokasi rumahnya
 Jadi, rumahnya yang bertingkat yang tertutup oleh mesin toren air. Di Teras itulah bapak itu menjemur. Sedangkan anaknya bermain di tengah gang sempit di depan rumahnya. Tangga rumah ada di belakang dan bentuknya berputar. Kalian bisa bayangkan kan bagaimana si bapak itu berusaha turun tangga secepat mungkin?


Untuk itu tidak salah jika aku katakan:
Barakallah untuk Seluruh Ayah di Muka Bumi

Tidak ada komentar