[Parenting] Kapan sebenarnya saat tepat untuk memperkenalkan sistem kelola keuangan pada anak? Di keluargaku, sepertinya hal ini sudah dilakukan sejak mereka masih kecil alias berusia dini. Bukan berarti mengajarkan anak balita tabel pengeluaran dan pemasukan serta saldo untung atau saldo rugi ya. Tapi, sejak mereka bisa meminta dibelikan sesuatu pada kita. Yang diperkenalkan adalah tentang pentingnya uang dalam kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
"Wah. Kita kayaknya belum bisa beli ini deh. Uangnya nggak cukup. Bulan depan saja ya." Itu misalnya. Dengan begitu anak menjadi mengerti bahwa segala sesuatu itu ada harganya dan nominal yang tertera di lembaran uang itu menandai harga yang berkonsekuensi batas kemampuan untuk membelinya. Jika nominal harga yang tercantum di tag price sebesar Rp15.000 misalnya, maka nominal uang Rp2000 otomatis tidak cukup untuk membeli barang tersebut.
Anak-anak, memang awalnya masih sulit untuk memahami hal ini. Karena dalam pemahaman anak-anak, proses jual beli adalah proses pertukaran barang biasa. Sebuah barang ditukar dengan selembar atau beberapa lembar uang. Dan barang yang semula belum kita miliki akhirnya bisa kita miliki. Sesederhana itu. Karena anak-anak belum mengerti besaran nominal angka, maka mereka tidak mengerti tentang besaran harga yang terjadi dalam proses transaksi jual beli tersebut.
Dulu, kelakuan anakku ketika mereka masih kecil adalah seperti ini nih.
"Bu, aku punya uang banyak nih. Ayo kita beli mainan." Lalu dia memperlihatkan uang berlembar-lembar yang dia dapat dari ang pau lebarannya. Banyak memang, jika ditumpuk bisa lumayan tebal. Tapi, yang dia tidak ketahui adalah, warna uangnya warna kelabu, yang artinya tumpukan uang itu adalah tumpukan uang dua ribuan perak. Jadi, meski tebal, ketika dihitung jumlahnya tidak sampai puluhan ribu padahal mainan yang dia inginkan harganya ratusan ribu.
Momen kebanggaan anak bahwa dia punya banyak uang dan berarti bisa membeli banyak barang karenanya ini memang momen yang lucu. Sebenarnya. Tapi, aku termasuk ibu yang lebih memilih untuk membicarakan kenyataan sebenarnya daripada mengabadikan suasana kegembiraan si bocah.
"Nak. Tetap kurang uangnya. Karena harga barang yang kamu inginkan itu, sebanyak ini. Sedangkan uang kamu sekarang adalah sebanyak...."
Otomatis senyum sumringah di wajah bocah akan serta merta hilang. Tapi, tak apa. Setidaknya, kita sudah memperkenalkan sebuah kenyataan yang sebenarnya pada anak kita. Ketimbang berbohong pada anak lalu diam-diam menomboki kekurangan uangnya.
Kelanjutan dari pemaparan kenyataan hidup pahit pertama yang diperkenalkan pada anak ini, adalah, memperkenalkan pada anak arti sebuah usaha untuk meraih apa yang dia inginkan.
"Nak, berarti mulai sekarang kita nabung yuk biar bisa beli itu."
Dari sini, kita bisa mengarahkan anak kita insya Allah bahwa segala sesuatu yang diusahakan dengan sabar akan berbuah manis.
Hikmah mengajarkan anak menabung itu adalah:
- Anak diajarkan arti sabar dalam berusaha
- Anak diajarkan untuk mengendalikan diri bahwa segala sesuatunya tidak bisa didapat dengan mudah. Harus ada usaha terlebih dahulu.
- Anak diajarkan untuk menghargai sebuah usaha
Dan demikianlah aku dan suami memperkenalkan anak pada kegiatan kelola keuangan sejak usia dini.
Hasilnya bagaimana?
Ternyata, alhamdulillah hasilnya, anakku tumbuh menjadi anak-anak yang tidak banyak menuntut orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Anak-anakku lebih suka menabung sendiri, berusaha semaksimal yang mereka bisa untuk mengumpulkan uang, guna bisa mendapatkan sesuatu. Barulah jika memang sudah mentok, mereka datang pada kami untuk meminta "tambahan" dana.
Hanya saja, karena anak-anakku berbeda usianya, sehingga siklus pertanyaan seputar kelola keuangan ini terus berulang. Memang berbeda usia maka kebutuhan akan sebuah pengetahuan tentang hal ini pun berbeda. Dan tugas kita sebagai orang tua untuk memberikan penjelasan sesuai dengan usia anak-anak tersebut.
Jadi, tulisan ini tentang memperkenalkan anak pada kelola keuangan sederhana dulu ya. Untuk anak yang lebih besar, mungkini insya Allah di tulisan berikutnya.
"Wah. Kita kayaknya belum bisa beli ini deh. Uangnya nggak cukup. Bulan depan saja ya." Itu misalnya. Dengan begitu anak menjadi mengerti bahwa segala sesuatu itu ada harganya dan nominal yang tertera di lembaran uang itu menandai harga yang berkonsekuensi batas kemampuan untuk membelinya. Jika nominal harga yang tercantum di tag price sebesar Rp15.000 misalnya, maka nominal uang Rp2000 otomatis tidak cukup untuk membeli barang tersebut.
Anak-anak, memang awalnya masih sulit untuk memahami hal ini. Karena dalam pemahaman anak-anak, proses jual beli adalah proses pertukaran barang biasa. Sebuah barang ditukar dengan selembar atau beberapa lembar uang. Dan barang yang semula belum kita miliki akhirnya bisa kita miliki. Sesederhana itu. Karena anak-anak belum mengerti besaran nominal angka, maka mereka tidak mengerti tentang besaran harga yang terjadi dalam proses transaksi jual beli tersebut.
Dulu, kelakuan anakku ketika mereka masih kecil adalah seperti ini nih.
"Bu, aku punya uang banyak nih. Ayo kita beli mainan." Lalu dia memperlihatkan uang berlembar-lembar yang dia dapat dari ang pau lebarannya. Banyak memang, jika ditumpuk bisa lumayan tebal. Tapi, yang dia tidak ketahui adalah, warna uangnya warna kelabu, yang artinya tumpukan uang itu adalah tumpukan uang dua ribuan perak. Jadi, meski tebal, ketika dihitung jumlahnya tidak sampai puluhan ribu padahal mainan yang dia inginkan harganya ratusan ribu.
Momen kebanggaan anak bahwa dia punya banyak uang dan berarti bisa membeli banyak barang karenanya ini memang momen yang lucu. Sebenarnya. Tapi, aku termasuk ibu yang lebih memilih untuk membicarakan kenyataan sebenarnya daripada mengabadikan suasana kegembiraan si bocah.
"Nak. Tetap kurang uangnya. Karena harga barang yang kamu inginkan itu, sebanyak ini. Sedangkan uang kamu sekarang adalah sebanyak...."
Otomatis senyum sumringah di wajah bocah akan serta merta hilang. Tapi, tak apa. Setidaknya, kita sudah memperkenalkan sebuah kenyataan yang sebenarnya pada anak kita. Ketimbang berbohong pada anak lalu diam-diam menomboki kekurangan uangnya.
Ingat. Sekali kita berbohong maka seterusnya kita akan berbohong.Dan sekali kita menutupi kenyataan sesungguhnya pada anak, maka tanpa sadar kita sudah mengajarkan pada anak sebuah budaya ABS, "Asal bapak senang". Anak jadi tidak waspada terhadap berita bagus yang didapatnya. Anak jadi tidak tergerak hatinya untuk mericek ulang berita tersebut, alias tidak terlatih melakukan proses tabayyun.
Kelanjutan dari pemaparan kenyataan hidup pahit pertama yang diperkenalkan pada anak ini, adalah, memperkenalkan pada anak arti sebuah usaha untuk meraih apa yang dia inginkan.
"Nak, berarti mulai sekarang kita nabung yuk biar bisa beli itu."
Dari sini, kita bisa mengarahkan anak kita insya Allah bahwa segala sesuatu yang diusahakan dengan sabar akan berbuah manis.
Hikmah mengajarkan anak menabung itu adalah:
- Anak diajarkan arti sabar dalam berusaha
- Anak diajarkan untuk mengendalikan diri bahwa segala sesuatunya tidak bisa didapat dengan mudah. Harus ada usaha terlebih dahulu.
- Anak diajarkan untuk menghargai sebuah usaha
Dan demikianlah aku dan suami memperkenalkan anak pada kegiatan kelola keuangan sejak usia dini.
Hasilnya bagaimana?
Ternyata, alhamdulillah hasilnya, anakku tumbuh menjadi anak-anak yang tidak banyak menuntut orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Anak-anakku lebih suka menabung sendiri, berusaha semaksimal yang mereka bisa untuk mengumpulkan uang, guna bisa mendapatkan sesuatu. Barulah jika memang sudah mentok, mereka datang pada kami untuk meminta "tambahan" dana.
Hanya saja, karena anak-anakku berbeda usianya, sehingga siklus pertanyaan seputar kelola keuangan ini terus berulang. Memang berbeda usia maka kebutuhan akan sebuah pengetahuan tentang hal ini pun berbeda. Dan tugas kita sebagai orang tua untuk memberikan penjelasan sesuai dengan usia anak-anak tersebut.
Jadi, tulisan ini tentang memperkenalkan anak pada kelola keuangan sederhana dulu ya. Untuk anak yang lebih besar, mungkini insya Allah di tulisan berikutnya.
Sejak kecil saya juga menanamkan mengelola keuangan sama neng Marwah mbak Ade, biar udah gedenya bisa menghargai setiap pendapatan keuangannya jadi gak boros, insya allah. Makasih mbak Ade.
BalasHapusHikmahnya memang sangat banyak, namun mengajarkannya cukup menguras kesabaran. Apalagi kalau temennya suka jajan dan apapun keinginannya dituruti sama ortunya :(
BalasHapus