[Lifestyle] Di group Fun Blogging, sedang ada challenge untuk menulis 1 day 1 post. Aku, termasuk yang menyambut baik challenge ini karena ini kesempatan untuk rajin meng-up date blog setiap hari otomatis.
Tema hari pertama sekarang adalah tentang MEA.
Apa itu MEA? MEA itu, masyarakat ekonomi Asean.
Sejak tahun 2015, seluruh negara yang tergabung di dalam MEA, sepakat untuk membuka pintu kerjasama dalam berbagai aspek dengan negara-negara yang tergabung dalam MEA. Artinya, akan ada banyak kemudahan yang diberikan demi lancarnya hubungan kerjasama dengan negara peserta MEA.
Bagaimana kesiapan Indonesia dalam hal ini?
Masih ingat peristiwa demo supir taksi beberapa hari yang lalu nggak?Aksi demo yang berakhir rusuh di atas terjadi karena para supir angkutan umum berplat kuning tidak terima akibat pendapatan mereka yang menurun karena kalah bersaing dengan angkutan umum berplat hitam.
Pertanyaannya, kenapa peristiwa ini bisa terjadi?
Kebetulan, aku membaca analisanya Rhenald Kasali tentang Sharing Ekonomi. Yaitu suatu kondisi dimana ada begitu banyak tenaga kerja dan kebutuhan tapi kemampuan pendidikan yang tersedia ternyata masih amat kurang. Jalan keluarnya, tentu saja dengan cara menciptakan sebuah pekerjaan yang bisa ditempati oleh banyak orang tanpa mengedepankan jenjang tinggi pendidikan tertentu. Tapi, posisi pekerjaan ini membuat semua orang berada pada posisi membagi rezeki ekonominya dalam tingkat yang sederajat.
Jadi, contohnya itu jika kita punya kue selebar piring. Jika kita menikmati kue tersebut sendirian pasti akan kenyang sekali kan? Dibagi berdua dengan orang lain pun masih tetap kenyang. Lalu, bagaimana jika dengan kue selebar piring itu, kita berada di tempat dimana ada 100 orang yang lapar. Otomatis, kita akan membagi kue selebar piring itu menjadi 100 potongan yang kecil-kecil sekali. Sama sekali tidak mengenyangkan pasti. Tapi semua orang senang karena merasa bisa mencicipi rasa dan aroma kue tersebut.
Nah. Itulah yang terjadi pada kondisi sharing ekonomi.
Tapi, kondisi di Indonesia berbeda.
Di Indonesia, masih banyak orang yang belum mengerti tentang kemajuan teknologi. Belum mengerti tentang posisi sharing ekonomi. Dan ada banyak yang tidak mau tahu bagaimana kondisi negaranya, yang penting periuk nasi sendiri tetap mengepul dan lauk pauk tersedia lengkap.
Akibatnya, ketika orang-orang ini dihadapkan pada perubahan gaya hidup atau lifestyle masyarakat akibat dari perkembangan teknologi, banyak yang tumbang. Tidak siap. Tidak siap sama sekali.
Coba saja deh kalian lihat aplikasi pemesanan kendaraan umum dengan menggunakan aplikasi di handphone itu. Sebenarnya, taksi berplat kuning beberapa sudah ada yang mulai menggunakannya juga. Masalahnya, para supirnya banyak yang masih tergagap-gagap ketika harus menjemput penumpang dengan menggunakan aplikasi ini.
Kemarin, aku baru saja memesan taksi blue bird dengan menggunakan aplikasi My Blue Bird. Di aplikasi blue bird, aku bisa melihat posisi taksi yang kupesan. Dia sudah sampai mana. Tapi, ternyata si supirnya sendiri malah nyasar mencari alamatku. Padahal di GPS sudah jelas sekali terlihat arah jalan yang seharusnya ditempuh. Artinya, si supir tidak mengerti bagaimana cara memanfaatkan GPS.
Di taksi berplat hitam seperti Uber atau Grab, para supirnya sudah mahir memanfaatkan GPS yang sudah ditanam di handphone mereka.
Begitu juga dengan ojek pangkalan. Ojek pangkalan masih menunggu penumpang dengan cara nongkrong di pangkalan ojek. Dengan begitu, jumlah penumpang yang mereka dapatkan otomatis hanya yang tertentu saja. Yaitu hanya berasal dari kawasan tempat tidak jauh dari mereka mangkal. Tentu aja jumlah penumpang yang sedikit ini akan mendatangkan jumlah penghasilan yang sedikit pula. Berbeda dengan ojek aplikasi. Mereka bisa mendapatkan penumpang dari wilayah yang amat luas dan otomatis pendapatan mereka akan meningkat karenanya.
Hal-hal seperti ini yang kurang diantisipasi oleh Indonesia. Dan menjadi parah karena tahun 2016 ini, Indonesia siap atau tidak siap harus mulai menjalankan kebijakan MEA.
Apa itu MEA?
MEA adalah masyarakat ekonomi Asean. Ide untuk membentuk MEA dimulai sejak 10 tahun yang lalu. Yaitu ketika para pemimpin negara yang tergabung di negara-negara ASEAN sepakat untuk membentuk sebuah kerjasama regional berupa pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara di tahun 2015.
Ide awalnya adalah, karena Asean ingin meningkatkan perekonomian negara-negara di kawasan Asean ketika harus bersaing dengan Cina dan India dalam menarik investasi asing, plus pangsa pasar untuk memasarkan produk dalam negeri negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Pembentukan pasar tunggal yang diistilahkan dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) ini nantinya memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara sehingga kompetisi akan semakin ketat.
Apa keuntungan MEA bagi negara-negara Asia Tenggara?
Riset terbaru dari Organisasi Perburuhan Dunia atau ILO menyebutkan pembukaan pasar tenaga kerja mendatangkan manfaat yang besar.
Selain dapat menciptakan jutaan lapangan kerja baru, skema ini juga dapat meningkatkan kesejahteraan 600 juta orang yang hidup di Asia Tenggara.
Pada 2015 mendatang, ILO merinci bahwa permintaan tenaga kerja profesional akan naik 41% atau sekitar 14 juta.
Sementara permintaan akan tenaga kerja kelas menengah akan naik 22% atau 38 juta, sementara tenaga kerja level rendah meningkat 24% atau 12 juta.
Namun laporan ini memprediksi bahwa banyak perusahaan yang akan menemukan pegawainya kurang terampil atau bahkan salah penempatan kerja karena kurangnya pelatihan dan pendidikan profesi.Mungkin untuk contoh kasusnya, bisa dilihat dari fenomena penggunaan aplikasi online oleh para pemberi layanan jasa seperti yang sudah aku ceritakan di atas.
MEA: Indonesia apa Kabarmu?
Sayangnya, sepertinya Indonesia termasuk yang lambat bergerak dalam menyambut gagasan MEA ini. Ketika aku berlibur ke kawasan Singapura dan Malaysia (baca tulisanku di blogku yang lain, blog Cari Angin, aku menulis tentang ASEAN dan MEA. Silahkan mampir ya.
Malaysia dan Singapura termasuk 2 negara yang cepat tanggap dalam menyambut MEA.
Jadi, karena mereka tahu pasti tentang syarat-syarat yang diperketat oleh negara-negara ASEAN lain, maka mereka mengantisipasinya dengan melakukan pelatihan-pelatihan bagi warga negaranya yang berkeinginan untuk bekerja di lintas negara dan lintas sektoral. Itu sebabnya, jika kita datang ke Malaysia dan Singapura misalnya, ada pendidikan bahasa Indonesia bagi tenaga kerja dan pelajar mereka.
Mengapa? Karena Malaysia dan Singapura tahu, Indonesia punya potensi sumberdaya manusia dan alam yang banyak yang bisa dikembangkan lebih lanjut.
Di Indonesia sendiri bagaimana?
Nah ini. Para buruh kita, tetap saja tidak dididik untuk bisa menguasai bahasa asing. Bahkan beberapa di antara mereka tidak dididik untuk menguasai teknologi. Jadi, yang diajarkan oleh tenaga yang akan dikirim ke luar negeri itu kebanyakan adalah ketrampilan-ketrampilan dasar dan sedikit ketinggalan jaman. Jangankan menyalakan barang-barang elektronik dengan menggunakan remote control, menyalakan mesin cuci otomatis saja masih banyak yang belum bisa.
Hal-hal seperti ini yang membuat Indonesia sedikit keteteran menyamakan langkah dalam persaingan MEA.
Aku sendiri, aku sih tetap optimis bahwa Indonesia bisa. Ada DNA "the power of kepepet" dalam tubuh setiap orang Indonesia. Istilah kerennya Yohaness Surya itu, teori Mestakung akan selalu hadir pada mereka yang sudah terdesak sehingga mau tidak mau dia harus melakukan sesuatu demi.
Jadi.. ayo deh. Indonesia Bisa!
Negara kita kayaknya masih shock ya mb Ade...dengan MEA ini, belum bisa menerima perubahan meskipun hal itu bisa membuat kita maju.
BalasHapusiya, telat banget negara kita mempersiapkannya padahal negara tetangga sudah sejak 10 tahun bersiap siapnya
HapusSatu hal yang saya sayangkan Mbak Ade, pemerintah kita tidak mendorong kesadaran rakyatnya akan MEA. Bagusnya jika televisi dan radio dipakai untuk menyebarluaskan iklan layanan masyarakat mengenai MEA hingga ke pelosok2 pedesaan dan perbatasan dengan negara lain. Supaya jangan hanya orang2 terpelajar atau menengah ke atas saja yang sadar akan sebuah jaringan bernama MEA.
BalasHapusMbak Ade tentu ingat kan betapa iklan KB dulu begitu masuk hingga pelosok-pelosok. Sampai2 saya yang masih SD bisa hafal jingle KB:
Keluarga Berencana sudah waktunya lalala (sekarang sudah lupa hihihi).
Nah, dulu itu sampai2 kita saja yang anak kecil jadi tahu ada istilah KB meski artinya mungkin belum paham.
Pengennya saya, istilah MEA pun digembar-gemborkan seperti itu biar semua masyarakat ngeh dan di mana2 muncul dorongan untuk meningkatkan kualitas dirinya.
Kasihan warga menengah ke bawah.
Saya sampai membayangkan, kelak akan ada tenpat di mana ada warga yang merasa negara/daerahnya sedang dijajah oleh bangsa lain karena melihat ada orang2 asing yang berkeliaran di sekeliling mereka.
Jadi ingat, di kota saya pernah ada tukang becak yang memukul turis Jepang, Mbak Ade. Gara2 si turis itu pengen sekali nyobain mengendarai becak.
Sama si tukang becak dipukul dan dikata2in, dituduh mau menjajah bangsanya. Saya ngakak nonton berita lokal yang mengabarkan hal ini waktu itu. Sekaligus miris ... karena yah ... begitulah sebagian tipikal masyarakat kita.
Wah kayaknya ini bkan komentar tapi tulisan yah hehehe
hehehee... suatu saat jika kita bisa bertemu secara langsung tampaknya kita akan kekurangan waktu untuk ngobrol panjang lebar tentang apa saja... karena aku dan Niar sama2 hobi mengamati dan hobi ngobrol...
HapusBtw, Mbak Ade sempat2nya ya nulis topik yang tidak ringan ini dengan cukup mendalam.
BalasHapusEh, komen saya yang panjang tadi masuk, nggak, ya Mbak Ade?
iya, karena tema ini sudah ada di kepalaku tapi belum sempat aku tulis. ini aja buru2 nulisnya karena detlennya cuma sehari
Hapusindonesia pasti bisa
BalasHapusinsya Allah bisa
Hapusoohh jadi the power of kepepet tu emang sudah ada di DNA orang Indonesia ya mbak :D :D :D
BalasHapusHahahhaa...iyaa.. katanya Yohannes Surya itu dalam teori Mestakungnya.
HapusMestakung itu kan the power of kepepet
kita punya potensi besar mba ade..semoga bisa kita realisasikan yaaa
BalasHapusaminn pasti bisa
BalasHapus