[Keluarga] Assalamu'alaikum Ibu
(ni salamku yang kedua yang aku berikan padamu lewat tulisan)
(ni salamku yang kedua yang aku berikan padamu lewat tulisan)
Ibu... bagaimana kabarmu saat ini? Apakah
engkau menerima salam yang aku titipkan dalam doa-doaku setiap malam?
Doa yang aku selipkan untukmu dan ayah
sekaligus. Doa yang aku haturkan dengan suara yang samar-samar, bahkan setengah
berbisik karena aku tidak ingin ada orang lain yang mendengarnya; dengan
harapan seluruh muatan doa itu akan terserap langsung menuju ke 'Arsy Allah,
utuh dan penuh; tanpa ada yang menirunya, tanpa ada yang membocorkannya. Aku
ingin doaku adalah persembahan spesialku untukmu ibu. Dan dalam setiap doaku,
ada bulir rindu yang terselip di dalamnya. Apakah ibu bisa mengetahui hal itu?
Perihal rinduku itu. Rindu yang spesial.
Ya. Bukan cuma doaku yang selalu spesial untukmu. Rinduku padamu juga spesial. Rindu ini hanya milikmu saja.
Ibu, untuk perkara rindu pun, aku memang
tidak mau berbagi.
Entahlah bu, apa yang terjadi pada diriku
saat ini aku juga tidak mengerti. Jika saja rindu di hatiku harus ditempatkan,
aku tahu akan banyak sekali wadah yang harus digunakan untuk menampungnya.
Itupun tiap-tiap wadah akan meluber isinya. Rindu yang aku miliki saat ini
benar-benar sudah membludak. Tapi... rindu yang aku miliki ini memiliki wujud
yang aneh.
Aneh sekali bu.
Aneh.
Karena aku merasa amat rindu padamu. Rindu
yang teramat sangat. Tapi... sekaligus aku lupa... lupa bagaimana rupa wajahmu.
Aku juga lupa dengan bayangan sebesar apa tubuhmu. Dan semua lupa yang aku
miliki saat ini membuatku semakin rindu padamu. Dan ketika rindu itu terasa
kian menggerus kalbuku, aku pun mulai merasakan derita karena lupa pada
sosokmu.
Itu sebabnya aku sering menangis ketika aku
menyampaikan doaku pada setiap doa seusai Tahadjutku. Aku merasa amat tersiksa,
Bu. Aku ingin mengingatmu tapi aku lupa bagaimana rupa wajahmu.
Aku ingin mengenangmu, tapi aku lupa
bagaimana bentuk tubuhmu.
Aku ingin memutar kembali semua kenangan
kita tapi aku lupa corak warna suaramu.
Oh ibu... kenapa setiap kali waktu yang
datang menghampiriku selalu menggerus ingatanku padamu?
Akhirnya... yang aku alami sekarang
adalah.. rindu pada bayanganmu yang aku tidak bisa menggambarkannya seperti apa
itu sebenarnya? Dan rindu seperti ini amat menyakitkan hatiku bu. Apakah karena
sudah berbilang 10 tahun engkau meninggalkan aku, meninggalkan dunia ini?
Sekarang. Yang aku bisa kenang hanyalah
kisah-kisah kenangan kebersamaan kita saja. Ada banyak sekali kisah-kisah yang
menggelikan, mengharukan, hangat, bikin gerah, sekaligus bikin gemas. Itu saja
yang bisa aku kenang tentang dirimu.
Ibu....
Terima kasih ya karena engkau masih tetap
hadir dalam mimpi-mimpiku meski kehadiranmu selalu dalam kondisi diam membisu
dan ketika keadaanmu masih muda dahulu. Aku tahu, sosokmu yang hadir dalam
mimpiku adalah sosok yang aku temui ketika aku masih kecil dahulu. Sebelum
tubuhmu terhinggap berbagai penyakit. Yaitu saat ketika kau memiliki penampilan
terbaikmu.
Ibu. Ade kangen.... pake banget.
-------------------
Catatan nggak penting buat orang lain tapi
penting buatku: Ibu pernah datang terakhir kalinya dalam hidupku ketika aku
berulang tahun pada 26 September 2003 (ibu meninggal 18 april 2003) ketika aku
benar-benar merasa rindu padanya. Dia berbaring tepat di sebelahku. Tanpa kata.
Berbaring diam telentang. Dan aku juga telentang. Kami berdua telentang.
Menatap langit-langit kamarku. Bingung mau ngomong apa meski dada ini sudah
serasa ingin meledak karena menahan rindu. Mau memeluk dia tapi sadar itu Cuma
bayangan jadi aku takut jika aku ngotot memeluknya dia akan segera menguap
pergi dan menghilang. Dan ketika aku tahu harus ngomong apa, aku pun berbalik
menghadapnya. Lalu perlahan berkata:
"Bu, ...." Ibu tersenyum
menatapku.
Sehari sebelum ibu meninggal dahulu, beliau
memang baru pulang dari kunjungan ke Palembang. Ibu memberikan kacang goreng
cemilan selama di pesawat padaku. Dan aku menolaknya ketika itu.
"Ibu nih,
emangnya ade anak kecil apa dikasi kacang goreng segala."
"Sudah, simpan saja jika memang kamu
gak mau. Siapa tahu ada gunanya." Aku masih bersungut-sungut kesal. Aku
memang anak yang paling benci jika ibu memberiku sesuatu karena aku selalu
merasa aku bisa melakukan segalanya tanpa bantuan beliau lagi karena aku memang
sudah besar, sudah menikah dan sudah mandiri. Aku benci jika ibu memperlakukanku seakan-akan aku masih anak-anak yang masih harus dibantu sepenuhnya. Bahkan, meski kenyataannya kondisiku kadang amat butuh bantuan sekalipun, aku tetap seorang perempuan yang paling benci jika harus menghaturkan permohonan pertolongan pada orang lain (tapi jika kondisi benar-benar terdesak ya apa boleh buat, meski dalam hati bencinya setengah mati). Di sisi lain, ibuku adalah perempuan yang gemar
membantu orang dan aku adalah perempuan yang nyaman dengan kesendirian dan
kemandirianku. Kami dua paradoks yang serasi bukan? Itu sebabnya, kami sering
berselisih paham karena aku selalu menolak semua pemberiannya sedangkan ibu
selalu mencoba untuk memberikan segalanya untukku. Aku selalu berusaha
menunjukkan pada ibu bahwa aku adalah seorang dewasa yang 'independent'
sedangkan ibu selalu memperlakukan aku sebagai seorang anak yang selamanya
adalah "anak yang memerlukan bantuan dari ibunya" baginya.
Lalu, besoknya ibu meninggal dunia dan
sebungkus kacang goreng itu ada dalam tasku hingga lama sekali. Hingga suatu
hari, aku naik taksi bersama dua anakku dan ketika membayar taksi aku salah
memberikan uang. Aku membayar argo Rp15.000 dengan uang Rp105.000. Salah lihat
uang, kukira sepuluh ribu padahal seratus ribu dan itu uang terakhir di
dompetku dan taksinya sudah keburu kabur cepat-cepat. Sekejap saja duitku habis. Jadilah dari
tempat pengajian aku berjalan kaki ke rumah bersama dengan dua bocahku yang
masih kecil-kecil. Di tengah jalan, dua bocahku ini merasa lapar dan aku tidak
punya uang. Lalu ketika aku merogoh tasku, aku menemukan sebungkus kacang
goreng terakhir pemberian ibuku. Aku berikan pada dua bocahku. Mereka makan
dengan lahap dan itu membawa keceriaan tersendiri hingga mereka bisa sampai di
rumah dengan berjalan kaki yang jauhhh sekali. Dan aku menangis terharu diam-diam.
Ibu benar.
Ternyata ibuku benar. Suatu
hari kacang pemberian ibu memang berguna karena ternyata, se-independent' atau
se-mandiri'nya diriku, aku tetap tidak bisa berdiri sendiri tanpa bantuan orang
lain.
Duh. Dalam hati aku menangis karena merasa bersalah, kenapa aku begitu
sombong ya dahulu? Padahal, jika aku mengatakan terima kasih untuk bantuannya
pasti ibu akan merasa senang karena keinginannya untuk membantu tersalurkan dan
itu sama sekali tidak merugikan diriku. Duh. Kenapa dulu mahal sekali mengucapkan
terima kasih?
Akhirnya... aku tahu apa yang harus aku katakan ketika ibu
tiba-tiba hadir di sisi pembaringanku, di hari ulang tahunku 26 september 2003 itu.
Cepat aku membalikkan badan dan mulutku
bersiap untuk mengucapkan terima kasih ketika.... bayangan ibu menghilang
perlahan hingga benar-benar menghilang. Sisa senyumannya benar-benar hanya
terlihat sejenak sekali. Jadi... pada tanggal 26 september 2003, di ulang
tahunku di siang hari kala itu, aku hanya bisa menangis... hanya karena merasa
gagal mengucapkan "Bu, terima kasih untuk segalanya selama ini."
Dan sejak itu... bayangan ibu tidak pernah
hadir lagi dalam hidupku.
Hingga akhirnya aku merasa.. "kenapa
semakin lama aku semakin lupa wajah terakhir beliau? Bentuk tubuh beliau? Warna
suara beliau?"
Ahhh...
-------------------
penulis: ade anita
tulisan ini diikut sertakan dalam give awaynya Metahanindita: #DWTBAM
Aih... terharuuuuu... Mbak Ade kalau nulis selalu kompliiiit banget :)
BalasHapuseh... hehehe..iya ya komplit?
BalasHapuspaket komplit & special hehehe. Good luck mbak
HapusWAALAIKUM SALAM, ME KASIH BUAT BUAT IBU ANITA, UDAH NYEMPETIN NULIS DAN NGIRIM GAMBAR NYANG BAGUS. SALAM DARI TAUFIQ ABDULLAH DARI SANGGAR SIRIH DARE.
BalasHapus