Ah. Siapa aku ini. Melayang-layang kesana kemari bagai daun
kering yang jatuh dari dahan pohon karena dipermainkan angin. Sendiri. Tidak
berkawan, pun tidak punya lawan. Hanya sendiri. Kesepian. Hanya bisa menatap orang lalu lalang
tanpa berani menegur atau menyapa. Semua
daun kering itu tidak punya arti. Takdirnya hanya satu : terlupakan untuk kemudian
hancur perlahan.
Takdir sebagai barang tua itu memang pedih sekali. Ketika muda
dipuja, ketika kuat senantiasa diperlukan, tapi ketika sudah tua seperti ini,
semua orang mungkin mengharapkan aku segera musnah karena memang sudah tidak
enak dilihat dan tidak ada manfaatnya lagi. Uhuk. Uhuk.
Hingga datang segerombolan pemuda dan pemudi dengan wajah
penuh semangat dan keceriaan yang terlukis di wajah mereka. Mereka berhenti di
tepat di hadapanku. Berhenti seakan tubuh aku ini sebesar dinding China hingga bisa
menghentikan langkah segerombolan manusia yang ingin menyeberangi perbatasan
negara. Perlahan, aku dipungutnya. Lalu dimasukkan ke dalam sebuah kantung.
Disana, ada banyak sekali daun-daun kering yang lain. Mereka semua tampak
tertidur dengan tenang dan damai.
"Eh, saya ada dimana?" Aku bingung. Di sebelahku ada setangkai daun dari pohon
mawar. Sebagian kelopak daunnya sudah mulai rontok hingga hanya menyisakan
gurat-gurat serta daunnya saja. Dia tampak begitu kepayahan. Bahkan sebelah
matanya sudah ikut rontok bersama dengan rontoknya serat hijau daunnya. Dengan terbatuk-batuk dan nafas yang
tersengal-sengal kepayahan, dia mencoba untuk menjawab pertanyaanku.
"Kamu ada di dalam kantung yang berisi daun-daun kering
yang lain. Daun-daun tua yang sudah tidak berguna lagi."
"Oh... apakah? Apakah kita dikumpulkan untuk dibakar
bersama-sama?" Si daun mawar yang tua itu tidak mau menjawab. Dia kembali
memejamkan mata lalu bersama dengan daun-daun tua yang lain, kembali berzikir
menyebut asma Allah.
Ya. Mungkin ini akhir dramatis dari kisah setangkai daun
kering yang tua seperti diriku ini. Dibakar bersama-sama dengan daun kering
yang lain mungkin jauh lebih menyenangkan ketimbang harus mati perlahan karena
terus diinjak-injak orang. Perlahan. Mulutku mengeluarkan zikir, mengikuti gerakan yang lain. Aku ingin mengakhiri
hidupku dengan nama Allah di penghujung nafasku.
Lalu aku larut dalam kekhusyukan. Kedamaian terasa terus
memenuhi seluruh rongga dadaku. Kepasrahan akan takdir berikutnya menjadi kian
terpatri. Takdir Allah tidak pernah ada yang tahu.
Tiba-tiba....SUWWWWIIIIINNNGGG.
Kantong tempatku dan dan teman-teman lain terasa dibalik
seratus delapan puluh derajat. Aku terdorong oleh tubuh teman-temanku yang
lain. Meluncur ke bawah dengan kecepatan tinggi. Meluncur tanpa punya kekuatan untuk bertahan.
Kejadiannya begitu serta merta. Begitu mendadak. Oh Tidak. TIDAAAKK... bahkan
aku lupa dengan cita-citaku untuk bisa mengakhiri hidupku dengan nama Allah di
penghujung nafasku karena suasana hiruk pikuk yang begitu tiba-tiba ini. Semua
tumpah ruah dan semua saling timpa satu sama lain.
BLEP.
Kami sekarang ada di sebuah lantai putih yang amat sangat
bersih dan lebar. Surgakah? Udara yang kurasakan menyentuh kulitku terasa
sejuk. Ruangan ini memiliki pendingin ruangan yang sempurna. Oksigen terasa
begitu nyaman kuhirup. Lalu seorang
gadis datang menghampiriku dan dengan penuh kelembutan memungutiku dan beberapa
orang teman untuk dimasukkan ke dalam sebuah piring porselain. Aku hanya bisa menatap
gadis yang membawa tubuhku itu dari bawah. Hidungnya bangir, dagunya lancip. Segelintir
rambutnya yang ikal tampak melintir di depan telinganya. Menyembul dari
sela-sela topi putih yang dia kenakan. Aku
tidak tahu akan dibawa kemana, tapi di sepanjang perjalanan aku melihat
lampu-lampu persegi panjang yang amat terang menyala dan menyilaukan mata. Hingga tiba-tiba kurasakan hentakan dan kami
semua sudah ada di atas sebuah meja. Gadis
itu tersenyum menatapku dan teman-teman.
"Assalamu'alaikum daun-daun kering. Kita kerja sama ya,
untuk membuat hiasan dari daun kering.
Aku ingin membuat lukisan pemandangan kali ini. Dan aku membutuhkan
bantuan kalian semua. Maaf ya jika harus menyakiti sedikit." Aku saling
berpandangan dengan teman-temanku yang lain.
"Kalian dengar itu? Dia menyampaikan salam pada kita?
Astaga, belum pernah aku diberi salam oleh manusia."
"Sstt.. ada yang lebih dasyat lagi. Dia ingin
mengabadikan kita dalam lukisannya. Horeee... akhirnya. Akhirnya kita
bermanfaat juga. Akhirnya hidup kita berakhir dengan sebuah manfaat. Subhanallah..
terima kasih Allah atas kesempatan yang amat sangat berharga ini."
Aku sudah tidak dapat berkata apa-apa lagi. Hati ini sudah
terlalu amat bahagia. Jiwa ini sudah terlalu amat sangat ringan dan terbang. Alhamdulillah,
terima kasih Ya Allah untuk kesempatan paling emas ini. (penulis: ade anita)
terimakasi kak,, tulisannya sangat menginspirasi
BalasHapus