Persembahan Cinta

by Ade Anita on Thursday, 22 December 2011 at 22:15
Sepanjang hari ini, ada sesuatu yang aku tunggu dengan rasa hati yang harap-harap cemas. Sesuatu yang tidak bisa aku bayangkan. Tidak. Lebih tepatnya, tidak ingin aku bayangkan. Ya. Karena aku seorang pecinta kejutan.
Ah. Mungkin kalian belum tahu, kenapa aku memulai tulisan ini dengan deretan kalimat di atas. Baik, aku akan ceritakan kronologis tulisan ini dibuat. Tulisan ini bermula ketika kemarin, aku menulis di status facebookku dengan tulisan seperti ini:


Ade Anita

‎"Eh.. besok hari apa bu?" hawna tiba-tiba bertanya dengan wajah seperti tersadar akan sesuatu.
"hari kamis."
"Tanggalnya?"
"22 desember."
"Oh.. berarti hari ibu dong. Ingetin aku ya bu, karena aku mau ngasi hadiah buat ibu." (sebagai seorang ibu yang belum bisa melepas jiwa materialistiknya, mataku kontan terbelalak dan hatiku girang melompat mendengarnya).
"Hadiah apa?" (mata berbinar-binar bertanya)
"Aku mau bikin kue yang bikin ibu kurus." (kelopak bunga yang mekar di hatiku langsung rontok satu demi satu. Kue apa yang bikin kurus? duh... mau bersenang-senang saja kok ya susah)...

(ceritanya bersambung besok... kita lihat apa surprise yang akan dia berikan)Like · · Yesterday at 15:43 near Jakarta



Nah... nah. Dengan sebuah “clue” yang begitu unik, hati ibu siapa yang tidak penasaran? Dan demikianlah aku sejak pagi. Menanti dengan sabar kejutan apa yang akan terima.

Kebetulan, pagi ini aku harus mengambil raport Hawna ke sekolah. Sejak hari selasa, Hawna sakit jadi tidak masuk sekolah. Ternyata, di hari Rabu, kelas Hawna ada kegiatan tambahan. Yaitu, setiap anak membuat kartu istimewa untuk ibu mereka, menulisnya dengan tulisan tangan mereka sendiri kalimat yang ingin mereka ucapkan sebagai rasa terima kasih untuk para ibu mereka. Sehingga, ketika hari ini, Kamis, 22 Desember 2011, kami, para ibu (ini hari kerja jadi yang mengambil raport memang para ibu atau nenek atau kakek bagi yang ibunya bekerja.. tidak ada pembantu, apalagi supir atau tetangga), selain menerima raport dari anak-anak juga menerima kartu cantik dari anak kami. Sayangnya, karena Hawna tidak masuk sekolah, dia “istimewa” ketimbang anak lain di kelasnya. Dia tidak bisa memberikan kartu cantiknya untukku. Tapi dia memberikan senyumnya yang paling manis untukku di pagi hari sambil mencium kedua pipiku dan mengucapkan “ibu, selamat hari ibu ya.”

Akhirnya, pulang sekolah, setelah ganti baju rumah, Hawna langsung sibuk mencari kertas dan alat tulis.

“Untuk apa?”
“Aku mau bikin sesuatu untuk ibu.”
“Hawna butuhnya apa?”

Lalu dia menyebut beberapa benda yang dibutuhkan dan aku pun menyediakannya dengan suka cita. Setelah semua benda-benda itu terkumpul, dia lalu mulai menekuni kertas putihnya dan mulai menulis. FYI: Hawna baru kelas satu sekolah dasar, jadi untuk menulis dan membaca dia masih mengeja. Jadi, meski dia menutupi kertasnya dengan tubuhnya agar aku tidak bisa mengintip, meski dia berusaha keras berbisik (tapi dia belum bisa berbisik dengan suara bisikan, jadi bisikannya masih agak keras), aku tetap bisa mendengar untaian kalimatnya. Belum lagi ketika dia kesulitan mengeja sebuah kata dan terpaksa bertanya padaku.

“Bu, kalau ‘harap’ itu pake ‘b’ atau pake ‘t’?
“Bukan semua, tapi pake ‘p’. Jadi h-a-r-a-p.”

Uh. Aku seorang pecinta kejutan, dan akhirnya jadi risih sendiri jika harus mendengar tahap demi tahap sebuah kejutan yang akan diberikan seseorang padaku.

“Hawna, ibu tinggal nyuci baju aja ya. Hawna berani kan sendirian? Nanti kalau sudah selesai, bilang saja. Oke?”

Akhirnya, aku pun memisahkan diriku dari dia. Menjauh, demi menjaga kejutan agar tetap jadi kejutan.

Satu jam kemudian, Hawna menyusulku ke tempat mencuci pakaian sambil senyum-senyum. Tapi, dia tidak membawa apa-apa. Loh? Mana kartu yang sedang dia tulis tadi? Apa jangan-jangan batal? Apa jangan-jangan dia tidak mengeja dan gagal menulisnya hingga akhirnya mengurungkan niatnya untuk menulis kartu ucapan untukku? Aduh.... Jujur, aku sedikit kecewa. Kejutanku terlepas begitu saja. Tapi... hei! Aku langsung membenci diriku sendiri. Kenapa harus berharap sih? Apapun yang dia berikan atau tidak ingin dia berikan, bukan hakku untuk menuntutnya. Aku ikhlas untuk apapun yang aku berikan untuknya dan tidak ingin merusak rasa ikhlas itu dengan harapan dia akan membalasnya. Diam-diam, aku istighfar. Berharap pahala ikhlasku selama ini tidak menguap hanya karena perkara ingin balasan dari anaknya.

“Bu, aku bantuin ibu nyuci baju ya?”

Hawna bertanya malu-malu masih dengan senyum manisnya yang tidak lepas dari wajahnya. Dia giat membantuku mencuci baju (lebih tepat disebut main air sebenarnya). Lalu ketika aku sedang menjemur, karena tali jemuran letaknya tinggi, maka dia hanya menatap semua jemuran itu dijemur.

“Ibu, aku bantu apa lagi nih?”
“Eh, udah nak. Sudah beres semua. Ini tinggal dijemur kok.”

Aku masih sibuk menjemur dan tinggallah dia sendirian menonton aku menjemur pakaian hingga tiba-tiba dia kembali bertanya:

“Ibu, aku bantu ibu bersihin embernya ya?”
“Hah? Embernya? Buat apa?” (sambil menatap ember-ember bekas cucian yang memang sudah lusuh. Karena sudah selesai mencuci, maka semua ember itu aku balik posisinya. Dengan posisi terbalik, tampaklah pantat ember yang berlumut. Aku tidak pernah ambil pusing dengan lumut-lumut itu.)
“Biar bersih. Aku soalnya hari ini mau bantuin ibu. Kan hari ini hari ibu.”

SPLASH... entah mengapa aku jadi terharu mendengar pengakuannya yang polos ini. Aduh, kenapa tadi aku meragukan ketulusan hatinya? Langsung saja aku raih tubuh mungilnya dan aku cium dia bertubi-tubi. Rasa sayangku benar-benar meluap.

Lalu, ketika sore sudah tiba dan semua pekerjaan rumah sudah beres. Dia pun diam-diam memberikan sebuah kertas putih HVS kepadaku.

“Bu, ini buat ibu.”

Perlahan, aku membacanya... kalian ingin membacanya juga? Ini.. silahkan.







Nah, tulisan di atas itu, di samping syair lagu yang dia berikan, adalah tulisan dengan bunyi “lagu ini dimulai” tapi karena dia melihat petunjuknya mengarah ke suatu arah maka dia pun menulisnya mengikuti arah tanda panah. Jadi, dia menulisnya terbalik menjadi “ialumid ini ugal”....

Aku hampir tertawa melihat dia menulis terbalik, tapi sesaat kemudian aku berpikir... ini hebat nggak sih, kok dia bisa mengeja secara terbalik? Menurutku sih luar biasa.

Dan malam ini, belum cukup rasanya semua persembahan cinta yang dia berikan padaku. Ketika menonton Opera Van Java, dia memberiku sebuah kue. Kue Biskuat Coklat ukuran mini (yang mungkin harganya Rp1000 di warung).




Isi kuenya sudah hancur lebur, karena dia mendapat dan menyimpan kue ini sudah lama, dia simpan untuk dia berikan padaku di hari ini. Tertimpa buku-buku pelajarannya, kena ombang ambing isi tasnya yang berat, dan mungkin juga tanpa sengaja terduduk olehnya. Aku yakin jika aku membuka bungkusnya, yang akan aku temui hanyalah remah-remah. Tapi... itu tidak akan mengurangi rasa terharuku atas semua persembahan cinta yang dia berikan padaku. Aku menghargai semua usaha dia untuk menunjukkan rasa sayangnya padaku. Dan rasa sayangku padanya, kian bertambah besar hari ini dan insya Allah besok-besok juga.

I love you anak-anakku.
==============
Penulis: Ade Anita (yang sedang merasakan luapan rasa cinta di dalam hati, hari ini, di hari ibu, 22 desember 2011)

2 komentar

  1. Ow ... so sweeeet ... Hawna pinter deh.

    Ikut terharu mbak. Kisahnya asyik, gaya menulisnya saya suka. Geregetannya dapet, saya ikut geregetan juga waktu mbak menunggu kejutannya hehehe

    Mugniar (Bundanya Fiqthiya)
    http://mugniarm.blogspot.com

    Mampir ke blogku ya mbaak :)

    BalasHapus