Pada sebuah Kepastian dan sebuah Ketidak Pastian

Sebutkah satu saja hal yang paling pasti datangnya.
Jawabnya bukan cinta. Apatah lagi nasib baik atau peruntungan.

Saya kenal seseorang yang selalu mengedepankan logika dalam segala sesuatu yang dia kerjakan. Segala sesuatunya selalu disertai alasan yang masuk akal. Bahwa setelah siang pasti ada malam. Bahwa dahaga akan hilang segera setelah kita minum. Dan lapar akan sirna segera setelah kita makan. Bahwa satu ditambah satu pasti dua. Dan dua dikali dua pasti empat.

Bahwa kedudukan pasti akan datang pada mereka yang mau berusaha keras mengejarnya. Bahwa penyakit akan pergi menyingkir ketika kita giat mencegahnya dengan berbagai kiat sehat.

Suatu hari, ketika kakinya yang kuat dan perkasa itu sedang berjalan di atas titian yang beraspal halus tanpa lubang atau undakan, dia terjatuh bersimpuh. Kakinya sakit jika ditegakkan. Setelah dibawa ke dokter, ternyata dia terkena osteoporosis. Begitu pernyataan dokter setelah dia melalui serangkaian pemeriksaan yang seksama.
Tiba-tiba, seribu tanda tanya muncul di atas kepalanya. Ujung tajam jarum yang berkilat memecahkan gelembung tanda tanya itu satu persatu tapi tanda tanya itu tidak jua berkurang jumlahnya. Menyiramkan cairan bingung di wajah teman saya itu seketika. Terguyur oleh rasa tidak percaya atas kenyataan yang baru saja didengarnya.
Bagaimana tidak? Teman saya itu seorang instruktur senam aerobic. Berbagai macam gaya aerobic telah dia pelajari dan akhirnya dia sebarkan lewat pengajaran senam di studio senamnya yang mapan. Pola hidup sehat adalah sesuatu yang harus senantiasa dikunyahnya setiap hari. Tapi mengapa hantu osteoporosis malah datang menguntitnya?

“Ternyata, apa yang pasti itu tidak pasti ya De di dunia ini. Selalu datang sebuah kenyataan baru yang justru membalik kenyataan yang telah kita yakini selama ini. Kadang, penyebabnya tidak diketahui pasti. Tapi, aku merasa, dia datang khusus untuk menegurku bahwa ada campur tangan Tuhan dalam segala sesuatunya, termasuk pada sesuatu yang sudah amat pasti menurut logika manusia.”

Aku tersenyum. Entah mau member komentar apa. Membiarkan kenyataan ini mengendap begitu saja menjadi seperti semen yang terus bertahan menempel di dinding bata. Mungkin hingga terik matahari membuatnya amat kering lalu mengelupasnya satu persatu. Cecerannya jatuh ke atas lantai. Angin menerbangkannya hilir mudik tak tentu arah hingga menghilang. Hingga kejadian ini terlupa begitu saja.
Hingga aku bertemu dengan seorang teman lama. Hingga aku terperangah melihat keberadaannya sekarang.

Dahulu, temanku ini bisa dikatakan anak yang nakal. Sekolah harus dipaksa dahulu oleh orang tuanya. Bisa jadi, jika ibunya tidak pernah punya persediaan air mata untuk membujuk, mungkin dia tidak akan pernah duduk di bangku sekolah. Atau jika ayahnya tidak pernah memakai sabuk pinggang yang gampang dilepaskan dari lilitan di lingkar pinggang celana panjangnya, temanku ini tidak pernah mau belajar.

Terus terang. Dahulu aku hampir pasti menduga bahwa dia akan menjadi seorang sampah masyarakat ketika sudah dewasa nanti. Kebisaannya hanyalah memaksa orang untuk mengerjakan tugas-tugas yang dibebankan ke pundaknya. Sementara dia berjalan dengan ringan membawa hasil pekerjaan yang tidak pernah dia kerjakan, temannya mengiriminya seribu kutukan dan sumpah serapah. Tak jarang kehadirannya merupakan hal pertama yang paling tidak diinginkan oleh teman-temannya. Bagaimana tidak jika sehari-hari pekerjaannya hanyalah mabuk, memaki dan menggoda anak perempuan yang lewat di depannya dengan menarik rok mereka ke atas. Gara-gara dia, setiap kali lewat tempat dia nongkrong dengan teman-teman gangnya yang brutal-brutal, saya selalu berusaha menonggoskan gigi seri atas saya. Lalu menjerengkan kedua bola mata saya. Terkadang, jika sedang kena flu, saya biarkan ingus saya menggelantung di atas bibir saya. Biar saja si hijau itu jadi hiasan pengganti kumis. Ya. Itu harus. Karena gadis dengan wajah yang menjijikkan tidak akan digodanya. Saya selalu ingin menjadi gadis dengan wajah yang menggelikan, gadis yang amat sangat buruk rupa, gadis yang tidak punya nilai kecantikannya sama sekali jika lewat di depan hidungnya.

Dialah calon sampah masyarakat. Persangkaan itu yang ada didalam kepala saya. Bibit-bibit ke arah itu sudah amat kentara menunggu disemai. Pasti buahnya busuk dan bunganya memuakkan.

Tapi persangkaanku itu runtuh seketika ketika akhirnya aku bertemu denganya tanpa sengaja tiga puluh tahun kemudian. Di sebuah mushalla kecil di tepi kampung. Tubuhnya tetap kurus dan kerlingan matanya tetap sama seperti dulu. Hanya saja, kerlingan mata itu hanya sekejap menatap, tidak ada lagi kerlingan nakal. Yang ada adalah kesantunan dan kesopanan dengan cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke sudut yang lain selain diri saya. Dia sekarang juga tidak lagi memiliki seringai yang menyeramkan seperti dulu. Yang membuat saya sangat ingin memiliki ilmu menghilangkan diri dalam seketika. Wajahnya amat teduh dan perilakunya amat santun.

“Saya mengajar ngaji disini. Setiap siang hingga menjelang malam, selalu ada saja yang meminta untuk dituntun membaca Al Quran. HIdup hanya sebentar, saya tidak mau mendapat rugi yang terlalu lama. Sambil menunggu kematian yang pasti akan datang.”
Takjub. Subhanallah. Lalu saya tiba-tiba ingat kenangan yang tersapu angin yang nakal. Tentang sebuah kepastian yang belum tentu pasti. “…bahwa ada campur tangan Tuhan dalam segala sesuatunya, termasuk pada sesuatu yang sudah amat pasti menurut logika manusia.”
----------------
Penulis: Ade Anita. menjelang 1 muharram 1431 H

Tidak ada komentar