Pakaian Anak: Ikut selera Anak atau Selera Orang Tua?

[Parenting] : Kalian, ketika memilih pakaian lalu membelikan pakaian anak-anak kalian mengikuti selera siapa? Selera anak-anakkah atau selera kalian sebagai orang tua, atau mengikuti selera pasar? Selera pasar tuh maksudnya, apa yang sedang ngetrend saat ini, maka kalian ikuti.



Kebetulan, adik bungsu saya adalah seorang pedagang pakaian anak-anak, Dia punya butik online yang khusus menjual pakaian anak-anak. Selain  berjualan online, adikku ini juga menjajakan pakaian anak-anak dagangannya di bazar-bazar yang diadakan oleh berbagai instansi swasta maupun pemerintah nyaris sepanjang tahun.
Dia bercerita bahwa ada perbedaan selera dari para orang tua ketika sedang  memilih pakaian bagi anak-anak mereka.

Kebiasaan para ayah ketika membelikan pakaian untuk anak-anak mereka:



  • 1. Para ayah cenderung untuk tidak menawar pakaian. Jika pun menawar maka penawarannya tidak serendah mungkin seperti lazimnya dilakukan oleh para ibu (heheheh).
  • 2. Para ayah  cenderung untuk membelikan yang terbaik bagi anak mereka. Tidak mengapa membeli sedikit yang penting kualitasnya bagus.
  • 3. Para ayah cenderung untuk tidak terpengaruh dengan apa yang sedang trend saat ini. Karena para ayah memperhatikan model pakaian dan kepantasan model pakaian tersebut bagi anak-anak mereka. Dan bahkan beberapa ayah, mendahulukan sisi "keamanan" bagi anak-anak mereka. "Pakaian itu terlalu terbuka bagian dadanya." Atau "Pakaian ini terlalu pendek roknya, nanti paha anak saya kemana-mana."

Kebiasaan para ibu ketika membelikan pakaian untuk anak-anak mereka:

  • 1. Para ibu cenderung untuk menawar mati-matian pakaian yang ingin mereka beli. Jika perlu para ibu rela pergi ke tempat lain, berkeliling pasar, lalu kembali ke tempat semula lalu menawar lagi, lalu pergi ke tempat lain dulu, berkeliling pasar, dan kembali ke tempat semula untuk kembali membeli barang dengan harga yang disepakai terakhir kali sebelum dia pergi. Lelah pasti yang para ibu rasakan ini, tapi mereka terlihat puas karena merasa sudah berusaha untuk menekan harga seminimal mungkin.
  • 2. Para ibu cenderung untuk memperhatikan kuantitas daripada kualitas. Jadi, jika dia diberi jatah untuk membeli pakaian dengan dana Rp100.000 misalnya; daripada dihabiskan untuk membeli pakaian indah dan berkualitas seharga Rp100.000; para ibu lebih ikhlas jika menghabiskannya untuk membeli pakaian dengan kualitas lebih rendah, tapi ada tambahannya seperti bisa membeli: celana dalamnya, kaus kakinya,  cemilan. Itulah kaum ibu: kuantitas lebih didahulukan ketimbang kualitas.
  • 3. Para ibu juga memiliki kecenderungan untuk terpengaruh dengan trend apa yang digaungkan di tengah masyarakat. Terlepas apakah trend itu pantas atau tidak dengan bentuk tubuh anaknya, atau bahkan lupa sisi keamanan atau kenyamanan bagi anak-anak mereka. "Ada model baju seperti yang dipakai di film Frozen nggak ya? Yang ada sayap di belakang punggungnya?" (lupa bahwa model baju dengan sayap di belakang punggung ini bikin anak tidak nyaman jika harus bersandar atau tidur rebahan). Atau : "Ada celana legging warna kuning nggak ya, biar cocok dengan kaus ini." (lupa bahwa celana legging untuk anak usia 12 tahun itu sebenarnya membuat anak gadisnya seperti tidak memakai celana saking ketatnya). 

Kebiasaan para nenek ketika membelikan pakaian untuk cucu mereka. 

Tapi, jaman sekarang sebenarnya ada 1 lagi selera yang ikut berperan untuk menentukan pakaian yang dipakai oleh anak-anak. Yaitu selera nenek. Nenek itu amat sayang pada cucunya. Mereka akan memberikan apa saja, kalau perlu dengan menyingkirkan segala akal sehat dalam pengasuhan pendidikan anak, yang penting cucunya bahagia. Perilaku cucu yang melompat kegirangan lalu berlari menghambur ke pelukan neneknya sambil memberikan kecupan tanda terima kasih adalah sesuatu yang menjadi dambaan para nenek. 

Akibatnya, para nenek pun berlomba untuk memberikan hadiah pada cucunya. Bahkan mereka tidak mengindahkan meski anak kandung dan menantu mereka melarang mereka untuk membelikannya.
"Bu, jangan belikan Fauzan pakaian spiderman lagi. Dia jadi sering melompat dari atas lemari tuh karena merasa sedang jadi spiderman."
Tapi, ketika melihat wajah si cucu bersedih karena pakaian spidermannya robek dan tidak ada yang baru; diam-diam nenek akan membelikannya lagi. 

Artinya, nenek cenderung membelikan pakaian mengikuti selera cucunya. Selera si anak. 


Kebiasaan anak ketika memilih pakaian untuk diri mereka sendiri


Bagaimana dengan anak sendiri?
Masih menurut saudaraku nih, anak sendiri cenderung untuk memilih pakaian bagi diri mereka sendiri karena alasan:
  • 1. Memilih karena teman-temanku banyak  yang memakainya saat ini.
  • 2. Memilih karena aku suka dengan tokoh atau tema yang muncul di model pakaian tesebut.
  • 3. Memilih karena aku tidak mau model yang lain, tapi aku mau tidak mau jika tidak memperoleh apa-apa dari kegiatan belanja kali ini. Jadi aku memilih model ini saja. Lebih baik punya daripada tidak punya. 
Dalam hal ini, sama sekali anak tidak memikirkan sisi kenyamanan, kepantasan, keamanan apalagi sisi syariah jika dia kebetulan beragama islam. 

Nah... kebetulan, teman sesama bloggerku yang kebetulan seorang ibu, yaitu Astin Astanti dengan blognya Buku Harian Anak-Anak, punya beberapa tips tentang cara memilih pakaian untuk anak-anak. Astin ini, tahun lalu resmi mengajukan pensiun dini alias melakukan resign dari tempatnya bekerja agar dapat full time menjadi seorang ibu rumah tangga dan mendampingi anak-anaknya. Keputusan ini membuat Astin bersemangat menjalani hari-harinya sebagai seorang ibu. Dan itu juga yang membuat Astin mulai aktif mengisi kegiatannya sebagai ibu dan interaksinya dengan anak-anaknya di dalam blog Buku Harian Anak-Anak tersebut.

Salah satu, isinya Astin bercerita tentang keputusan untuk memberlakukan legging pada setiap pakaian anak-anaknya (baca di tulisan Astin: Padu Padan Dress dengan Legging untuk Anak-Anak). 
Aku sepakat dengan Astin dalam hal ini. Aku sendiri, juga mulai membiasakan anak-anakku sejak mereka usia dini untuk tidak terpengaruh dengan aneka model pakaian yang sedang ngetrend. Mungkin karena aku bisa menjahit sendiri pakaian bagi anak-anakku ketika mereka masih kecil jadi anak-anak cukup senang ketika aku memberikan pakaian baru bagi mereka hasil dari jahitanku sendiri.

Ini beberapa model pakaianyang aku jahitkan untuk mereka.
Ini model celana panjang sederhana banget. Cuma lurus tanpa kantong dan tanpa ritsleting. Hanya karet keliling di pinggang karena pinggang anak-anak terus berubah. Agar istimewa, ada aplikasi kupu-kupu yang aku tempel jahit di bagian atas lututnya dan itu membuat pemakainya menjadi terlihat ceria. Seperti Hawna ketika berusia 3 tahun ini.

Punya daster yang sudah robek dan tidak bisa dipakai lagi? Jangan dibuang dulu. Karena bagian yang masih bagus bisa dipotong dan dijahit jadi rompi untuk si kecil. Apa? Bunda punya celana panjang yang robek dan tidak bisa dipakai lagi? Gampang, celana panjang itu masih bisa diambil bahan yang bagusnya lalu ubah jadi celana panjang untuk si kecil. Tuh, siapa yang menyangka bahwa pakaian Hawna ini terbuat dari sisa pakaian yang didaur ulang si ibu?


15 komentar

  1. Sejauh ini setiap kali beliin baju buat Ghifa yg pertama saya perhatikan adalah bahannya Bun. Soalnya Ghifa itu punya biang keringat. Kasian kalau gara2 bajunya nggak nyerap keringat dia malah rewel. Dan saya lebih suka beli di toko soalnya ogah bgt nawar Bun. Buang2 waktu kalau menurut saya. Toh saya percaya ada harga ada barang. Betul kan ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, kenyataan karakter itu aku dapatkan dari adikku yang pedagang pakaian anak2. Dia melihat karakter pembeli seperti itu biasanya. Makanya dia senang jika yang datang ke tokonya adalah bapak2, karena bapak2 jarang yang nawar harga dengan gigih.

      Hapus
  2. Kalo suamiku mempercayakan pemilihan baju anak-anak bahkan bajunya juga sama aku. Kebetulan anakku yang gede juga lebih percaya sama emaknya kalo milih baju..hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. berarti seleramu disukai dan cocok dirasakan oleh suami dan anak2mu. asyik tuh. Anakku begitu ketika mereka masih pada SD aja. Begitu sudah kuliah, nggak mau lagi. Hahahaa

      Hapus
  3. Orang tua yang selalu perhatian untuk anaknya dan ingin anaknya senang dengan apa yang dipilihnya

    BalasHapus
  4. Asiknya kalau emaknya bisa jahit ya..
    Btw, saya senyum-senyum sama fakta-fakta belanja di atas.. bener dan lucu ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya.. itu pengalaman adikku yang pedagang. Dia kerap membaca karakter pembeli yang mampir ke tokonya.

      Hapus
  5. Masing-masing memiliki pandangan sendiri ya, Mbak, ketika membelikan baju untuk anak mereka. Saat ini, saya cenderung membelikan pakaian atas dasar kepantasan untuk anak. Jika nenek atau abinya ingin membelikan, saya menitip untuk tidak beli yang neka-neko apalagi selera pasar. Hihii. Mesin jahit menjadi list keinginanku setelah punya anak perempuan...siapa tahu bisa seperti Mbak Ade. Meski jahitannya sederhana tapi rasa bahagianya itu sampai ke dasar hati. Makasih ya, Mbak

    BalasHapus
  6. Suami dan aku sama2 punya selera yang sama kalau milih baju anak. Yang penting kualitas dari pada kuantitas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. pertahankan mak kesamaan pandangan seperti ini.

      Hapus
  7. Selama ini saya kalau beliin baju buat Marwah yang dilihat warnanya dulu haha, asal warna pink dan lucu :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dulu aku pernah tuh, membebaskan putri bungsuku untuk memilih warna. Tapi semakin besar kok jadi kayak nggak ada variasi warna lalu mulai deh aku mengarahkan agar dia mau mencoba warna warna lain. Biar dia tahu warna lain juga indah dan dia juga tau warna apa yang kurang cocok buat dirinya.

      Hapus