Cara Mengenal Allah (Pengantar Ma'rifatullah, bagian pertama)

*Kemenangan Rasulullah SAW (Tafsir Al-Fath:1,2,5)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

“Telah diturunkan kepadaku dua ayat keduanya lebih aku cintai dari dunia seluruhnya.”

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus.” (Al-Qur’an Al-Karim Surah Al-Fath [48]: ayat 1-2)



Dalam ayat di atas, diterangkan mengenai kemenangan yang diberikan khusus kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yaitu :

1. Kemenangan dalam Perjanjian Hudaibiyah *)
2. Semua dosa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam diampuni
3. Ditunjuki kepada jalan yang lurus

Mengetahui hal tersebut, para sahabat pun gembira terutama Umar bin Khoththob ra. karena isi perjanjian Hudaibiyah yang dianggapnya merugikan umat Islam ternyata sebenarnya adalah kemenangan.

Sebelum ayat ini turun, Umar ra protes,

“Bukankah kita berada dalam kebenaran dan mereka dalam kebathilan. Bukankah korban-korban dari pihak kita masuk surga dan dari mereka masuk neraka?”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab,
“Benar”.

Umar ra melanjutkan,
“Lalu mengapa kita memberikan kehinaan pada agama kita (dengan mengadakan perdamaian) sehingga kita kembali padahal Allah belum memutuskan di antara kita”.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab,
“Wahai Ibnul Khaththab, sesungguhnya aku adalah Rasulullah dan Dia tidak akan menyia-nyiakanku selamanya.”

Ia pun kembali dalam keadaan kesal dan ia tidak bisa sabar sehingga menemui Abu Bakar ra seraya mengatakan,
“Wahai Abu Bakar, bukankah kita berada dalam kebenaran dan mereka dalam kebathilan?”

Abu Bakar ra memberikan nasihat,
“Wahai Ibnul Khaththab, sesungguhnya beliau adalah utusan Allah dan Dia tidak akan menyia-nyiakannya selamanya.”
Allah telah memberikan berita gembira berupa kemenangan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mendapatkan kemenangan, maka sahabat pun ingin pula mendapatkan kemenangan.

Lalu para sahabat pun bertanya,
“Berpuas-puaslah wahai Rasulullah, sungguh Allah telah menjelaskan apa yang diperbuat-Nya kepadamu, lalu apa yang diperbuat-Nya kepada kami?”

Maka Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat selanjutnya, (yaitu ayat yang ke-5) :

“supaya Dia memasukkan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam surga”.

Lanjutan ayat ini adalah :
“yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya Dia menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar di sisi Allah”
Ayat ini merupakan jawaban terhadap sahabat, yaitu mereka pun mendapatkan kemenangan pula berupa fauzan ‘adziima : surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai.

Wallahu A’lam

*) Sebagian ahli tafsir mengatakan yang dimaksud dengam kemenangan itu adalah Fathu Makkah, ada yang mengatakan penaklukan negeri Rum dan ada yang mengatakan Perdamaian Hudaibiyah. Tetapi kebanyakan ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud di sini adalah Perdamaian Hudaibiyah.

*Pengantar Ma’rifatullah (bagian pertama)
Oase Ilmu – Friday, 20 May 20

Berikut ini adalah rangkaian artikel yang insya Allah berguna sebagai pencerah ruhiyah kita. Kami mengkedepankan kalian dalam bentuk tiga bagian tulisan yang terpisah. Selamat mengikuti.

MENGAPA MENGENAL ALLAH?

Berapakah usia kita sekarang? 20,
30, 50, 80 tahun? Berapapun, sesungguhnya itu hanyalah
sekelumit kisah dibandingkan sejarah kehidupan itu sendiri.
Dibandingkan batu yang ada dihalaman rumah kita, yang
mungkin berusia ribuan tahun, kita sungguh tak ada
apa-apanya. Atau dibandingkan jagad raya yang sudah lebih
dari 30 milyar tahun. Apalagi bila dibandingkan dengan
proyeksi masa depan kehidupan kita. Dimana kita akan hidup dialam barzakh atau alam kubur, ribuan tahun lagi. Kemudian masuk kealam akhirat, yang entah apakah bisa diukur. Dan bagaimana pula kehidupan yang disebut-sebut “khoolidiina fiiha aabadan” (mereka abadi didalamnya).

Pendek kata, kehidupan dunia yang kini sedang mencengkeram kita, sungguh ibarat setitik debu dibandingkan masa-masa yang sudah dan akan Allah gelar. Seperti bumi yang tampak disisi kita sedemikian besar, tapi ternyata hanyalah sebutir debu ditengah luasnya alam semesta. Karena itu, relakah kita menganggap kehidupan kita hanyalah sebuah kisah berdurasi

sampai beberapa puluh tahun ke depan? Sementara ternyata ada yang mengabarkan dan menawarkan sebuah kehidupan yang abadi. Sebuah pengkabaran dan penawaran yang bukan mimpi, imajinasi, ilusi apalagi halusinasi. Sebuah penawaran yang merupakan janji yang pasti. Kenapa tidak diuji kebenarannya? Baik mau menerima konsep kehidupan setelah kematian, maupun tidak, bukankah kematian pasti di alami?

“Apakah kamu puas dengan kehidupan didunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup didunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanya sedikit.” (QS 9:38).

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menenui akhirat, sia-sialah perbuatan mereka. Mereka tidak diberi balasan selain apa yang telah mereka kerjakan (QS 7:47)

Kesadaran kita akan kehidupan setelah kematian, itu yang
akan menentukan tingkat kebutuhan kita akan Allah. Karena Dialah sumber dari berita tersebut, Dia pula dzat yang memiliki pengetahuan tentang kehidupan yang lalu, kini maupun yang akan datang. Hanya kepadaNya kita bisa menyandarkan kehidupan paska kematian nanti.

Suatu saat dalam sebuah diskusi, khalayak umum bertanya kepada Rasulullah, apakah mereka dapat melihat Allah. Rasulullah bersabda,”Sulitkah kamu meru’yah bulan purnama pada malam empat belas?”. (Ru’yah: melihat tanda-tanda keberadaan sesuatu. Malam ke-14 penanggalan hijriyah adalah malam dimana bulan purnama muncul). Jawab mereka,”Tidak ya Rasulullah!”. Tanya Rasulullah lagi,” Apakah sulit bagimu meru’yah matahari dilangit tak berawan?”. Jawab mereka lagi,” Tidak ya Rasulullah!”. Sabda Rasulullah,”

Sesungguhnya anda semua akan mengenaliNya seperti itu. Di hari kiamat kelak Allah akan menghimpunkan seluruh manusia dan berkata pada mereka,”Barang siapa yang menyembah suatu benda, maka ikutilah benda tersebut.

Bagi yang menyembah matahari, mereka akan mengikut matahari tersebut. Bagi orang yang menyembah bulan maka mereka akan mengikuti bulan tersebut. Manakala orang yang menyembah thoghut maka mereka akan mengikuti thoghutnya itu. Jadi tinggallah umat ini

yaitu umat yang percaya kepada Allah yang didalamnya
termasuk pula orang-orang munafik yang tetap dalam
kemunafikan mereka. Lalu Allah mendatangi mereka dengan gambaran (shurah) yang tidak mereka kenali dan berfirman kepada mereka, “Akulah Tuhanmu”. Mereka berkata,”Kami berlindung kepada Allah dari tipu dayamu. Kami akan tetap ditempat kami sampai Tuhan kami datang menjemput kami. Apabila Tuhan kami telah datang, kami akan mengenaliNya”. Lalu Allah mendatangi mereka dengan gambaranNya *shurah) yang mereka kenali dan berfirman kepada mereka,”Akulah Tuhan kamu”. Merekapun menjawab,”Ya, Engkaulah Tuhan kami!”.
Merekapun mengikutiNya. Kemudian Allah merentangkan kepada mereka suatu titian (shirath) yang merentangi Neraka. Maka aku bersama umatku adalah orang pertama yang menyeberanginya”. (HR Bukhari-Muslim).


Banyak hal menarik yang diisyaratkan dari kisah diatas.

1 .Betapa dihari kiamat nanti kerja utama setiap manusia adalah mencari Tuhannya dan mengikutinya. Dan dalam hal ini setiap manusia akan mampu mengenali dan mengidentifikasi Tuhannya sejelas meru’yah bulan dimalam empatbelas maupun matahari dilangit takberawan. Hanya masalahnya, siapakah Tuhan kita kelak? Atau lebih tepatnya, siapakah sesungguhnya yang kita anggap Tuhan? Karena setiap orang benar-benar akan mengikuti siapa yang disembahnya sewaktu didunia. Barang siapa yang menyembah suatu benda, maka ikutilah benda tersebut. Bagi yang menyembah matahari, mereka akan mengikut matahari tersebut. Bagi orang yang menyembah bulan maka mereka akan mengikuti bulan tersebut.

Manakala orang yang menyembah thoghut maka mereka akan mengikuti thoghutnya itu. Mereka mengikuti sesembahannya tersebut, karena memang itulah persepsi mereka tentang Tuhannya, yang mereka bangun selama didunia. Dan sesembahan itulah yang tampak jelas
sebagai Tuhan bagi kita. Bila kita merasa aman dari kejadian
saat itu, atau tak memiliki gagasan tentang kisah diatas,
atau tidak memikirkannya, atau malah kita berfikir, tidak
ada kesulitan sama sekali bagi kita dalam mengenaliNya
kelak, maka kita sungguh lalai. Sebagaimana difirmankan:

“Dan barang siapa yang buta (hatinya) didunia ini, niscaya
diakhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih
tersesat dari jalan (yang benar)”. (QS 17:72).

Kebutaan terkait dengan penglihatan, dan penglihatan terkait dengan pengenalan. Ini berarti, bila didunia saja kita kesulitan dalam mengenaliNya, apalagi kelak dialam-alam berikutnya, termasuk Hari Kiamat.

2. Betapa Tuhan yang sebenarnya, yaitu Allah, hanya akan bisa dikenali oleh orang-orang yang beriman. Artinya, keimananlah yang menjadi dasar kemampuan mengenali Allah ini. Bukan hasil analisa, uji coba, riset dan sebagainya.

3. betapa pengenalan mereka terhadap Allah
sedemikian kuat, sehingga mereka bisa berkata,” Kami akan tetap ditempat kami sampai Tuhan kami datang menjemput kami. Apabila Tuhan kami telah datang, kami akan mengenaliNya”. Dan berbekal pengenalan yang seperti ini yang notabene mereka dibangun selama masa kehidupannya didunia, orang-orang beriman itu bisa menolak apapun yang tidak sesuai dengann pengenalannya itu.

4. betapa bagi orang-orang yang beriman itu, Allah akan merentangkan shirath. Dimana di Al-Qur’an kata-kata shirath selalu dikaitkan dengan shiratha’l mustaqim.
Disinilah letak pentingnya mengenal Allah (ma’rifatullah). Pengenalan yang bukan hanya kata-kata. Tetapi suatu pengenalan sejati, pengenalan yang bisa mencegah kita dari ketertipuan. Baik didunia dan terkhusus diakhirat kelak.

Masalahnya kita sering melupakan sunnahNya, dimana segala sesuatu itu ada melalui proses. Begitu pula dalam hal mengenal Allah. Jangan harap itu bisa kita lakukan kelak dihari kiamat, bila saat didunia saja kita tak pernah benar-benar mengenalNya. Itu benar-benar dibangun dari usaha kita selama didunia.

Suatu saat seorang lelaki bertanya
kepada Rasulullah,”Bilakah berlakunya kiamat?”. Rasulullah
bersabda,”Apakah persiapan kamu untuk menghadapinya?”. Lelaki itu menjawab,”Cinta kepada Allah dan RasulNya”. Rasulullah bersabda,”Kamu akan tetap bersama orang yang kamu cintai”. (HR Bukhari-Muslim)

Mungkinkah kita mencintai sesuatu yang tidak kita kenal???
DI bagian sebelumnya, dijelaskan tentang mengapa kita perlu membangun kemampuan diri kita sendiri sebagai seorang muslim untuk mengenal siapa Tuhan kita. Dari kemampuan dan kesadaran akan pemahaman siapa Tuhan kita tersebut, maka kita bisa mulai beranjak pada tahap berikutnya, yaitu mencintai. Berikut ini adalah bagian yang menjelaskan tentang apa dan bagaimana itu mencintai Tuhan, Mencintai Allah dan Rasul-Nya.

DEFINISI MA’RIFAT

Bila dikaitkan dengan merasakan keberadaan
sang api, maka Ilmu itu ibarat melihat api, sedang ma’rifat
itu merasakan panasnya (memahami bagaimana api itu,
bagaimana macam-macam panas, seberapa panas, dsb).

Demikian Imam Al-Ghazali memberikan perumpamaan. Dalam Islam, kita mengetahui bahwa diri ini terdiri dari jasad dan ruh. Jasad diciptakan dari tanah, sehingga tumbuh dan berkembang ditanah/bumi dan memakan makanan hasil bumi. Ketika bahan makanan tersebut diolah sehingga menjadi makanan siap hidang, maka kita disebut memiliki ILMU tentang makanan.

Tetapi proses MA’RIFAT terhadap makanan itu sesungguhnya baru dimulai ketika masakan tersebut kita kunyah. Kemudian kita rasakan kelezatannya, ditelan, dicerna dan diserap oleh tubuh. Dan seluruh proses ini semata-mata ditujukan untuk tumbuh berkembang dan sehatnya jasad.

Sebagaimana keharusan berkembangnya sijasad, nur insan kita pun harus tumbuh dan berkembang. Untuk itu nur insan perlu makan. Dan sebagaimana asal peniupannya, maka makanan bagi nur insan pun berasal dari cahaya. Tetapi cahaya yang dimaksud tidak semata-mata berupa gelombang elektromagnetik berkecepatan 3.108, melainkan segala sesuatu yang menghapuskan kegelapan. Bukankah sifat cahaya adalah menerangi dan menyingkap kegelapan? Cahaya berkecepatan 3.108 ini oleh Al-Qur’an disebut CAHAYA BUMI. Sedangkan cahaya yang akan menghapus kegelapan ketidaktahuan dan kegelapan kegaiban disebut CAHAYA LANGIT. Percaya atau tidak, semua cahaya ini merupakan makanan bagi nur insan kita.

“Allah adalah cahaya langit dan bumi…”. (QS 24:35).
Yang dibutuhkan oleh nur insan untuk tumbuh dan berkembang adalah cahaya langit yang seperti ini. Ilmu adalah ketika makanan cahaya seperti ini tampak. Dan proses memakan dan mencernanya disebut dengan MA’RIFAT.

Allah berfirman: “(ingatlah), ketika pengikut-pengikut Isa berkata: ‘Hai Isa putera Maryam, bersediakah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?”. Isa menjawab,”Bertaqwalah kepada Allah jika betul-betul kamu orang yang beriman”. Mereka berkata,”Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang
menyaksikan”.

Dikatakan bahwa Allah adalah cahaya langit dan bumi. Karena itu, yang dima’rifati pada hakikatnya adalah Dia. Inilah yang disebut dengan MA’RIFATULLAH, yang hakikatnya adalah proses tumbuh dan kembangnya nur insan kita, hanya melalui metabolisme ilmu dan cahaya.

Tasawuf mengajarkan kepada kita bahwa ia adalah bagian dari agama ini yang mengajarkan kepada manusia untukmengidentifikasikan kehadiran Cahaya Langit ini melalui proses pensucian mata hati, dan kemudian membimbing si jiwa untuk hidup, tumbuh dan berkembang dengan ‘mengkonsumsi’ cahaya langit tersebut. Dan selanjutnya mengarahkan nur insan tersebut untuk bertemu dengan jati dirinya, agar ia bisa menjadi cahaya bagi sesamanya. Proses perkembangan nur insan dapat dianalogikan seperti perkembangan manusia. Ia harus dirawat dan dijaga oleh orang yang tahu supaya tidak bahaya, diberi makanan bergizi, makanan lembut dan halus, diberi ;bimbingan’ dan ‘ajaran’ hingga paham, sampai ia tumbuh dewasa dan mampu berdiri sendiri, bahkan mampu membimbing nur insan lainnya.

Imam Al-Ghazali ketika ditanya, apakah tanda-tanda ma’rifat
itu. Jawabnya “yaitu hidupnya hati/qolb bersama Allah”.
Allah mewahyukan kepada Nabi Daud as, “Mengertikah engkau, apakah ma’rifatKu itu?”. Daud menjawab,”Tidak”. Allah berfirman,”Hidupnya qolb dalam musyahadah kepadaKu.”.

Allah adalah An-Nuur. Dan kehendakNya pun adalah cahaya. Qolb kitapun hidup ketika memakan kehendak Allah itu. Allah berfirman,”(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”. (QS 13:28).
Akhirnya sampailah kita di bagian ketiga. JIka sebelumnya telah dijelaskan definisi Ma’rifatullah, maka pada bagian terakhir ini, akan dijelaskan bahwa mengenal Allah adalah bagian dari agama. Untuk lengkapnya, silahkan simak tulisan berikut ini. Semoga bermanfaat.

MENGENAL ALLAH ADALAH AWAL DARI BERAGAMA

Yaumu’l Qiyamah (hari qiyamah) atau Yaumu’l Hisab (hari penghisaban/perhitungan) umumnya sering juga diistilahkan dengan Yaum’d Diin. Ini bisa ditemukan korelasinya ketika membaca kata-kata imam Ali k.w. yang sudah sangat populer, yaitu “Awwalu’d Diina Ma’rifatullah”. Awal beragama adalah mengenal Allah. Sementara dari Hadits tentang melihat Allah, Rasulullah telah mengabarkan betapa mengenal Allah akan menjadi tugas utama manusia kelak.

Dikisahkan pada suatu hari, Rasulullah SAW berada bersama kaum muslimin, datang seorang lelaki yang kemudian bertanya,”Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksudkan dengan Al-Iman?”. Lalu Baginda menjawab,”Kamu beriman kepada Allah, malaikat, semua kitab yang diturunkan, hari pertemuan denganNya, para Rasul dan beriman kepada hari kebangkitan.”

Lelaki itu bertanya lagi,”wahai Rasulullah! Apa pula yang
dimaksud dengan Al-Islam?” Baginda bersabda,”Islam ialah
engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukanNya dengan selainNya, mendirikan Shalat yang telah ditulis, mengeluarkan zakat yang diwajibkan dan berpuasa pada bulan ramadhan.”.
Kemudian lelaki tersebut bertanya lagi,” Wahai Rasulullah!
Apakah makna Al-Ihsan?”. Rasulullah bersabda,”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihatNya, sekiranya engkau tidak melihatNya, maka ketahuilah bahwa Dia senantiasa memperhatikanmu.”. Lelaki tersebut bertanya
kembali,”Wahai Rasulullah! Bilakah hari kiamat akan
berlaku?”. Rasulullah bersabda,”Orang yang ditanya tidak
lebih tahu daripada yang bertanya”.

Lelaki tersebut bertanya kembali,”Wahai Rasulullah!
Terangkan padaku tanda-tandanya?”. Jawab Nabi, “Apabila seseorang hamba melahirkan majikannya, maka itu adalah sebahagian dari tandanya. Selanjutnya apabila seorang miskin menjadi pemimpin masyarakat, itu juga adalah sebahagian dari tandanya. Selain dari itu apabila masyarakat yang pada asalnya adalah pengembala telah bermewah-mewah digedung-gedung nan indah, maka itu juga adalah sebahagian dari tandanya.

Hanya lima perkara itulah sebahagian dari tanda-tanda yang diketahui dan selain dari itu Allah saja Yang Maha Mengetahuinya.
Kemudian Rasulullah membaca QS Luqman :34 – “Sesungguhnya Allah lebih mengetahui kapan akan terjadi hari kiamat, disamping itu Dia jugalah yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada didalam rahim. Tiada seorangpun yang mengetahui apakah yang akan dikerjakannya keesokan hari. Dan tiada seorangpun yang mengetahui dimanakah dia akan menemui ajalnya. sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Amat Meliputi pengetahuanNya.” Kemudian lelaki tersebut pergi dari situ.

Rasulullah kemudian bersabda kepada sahabatnya,”Panggilkan orang itu kembali!”. Lalu para sahabat mengejar lelaki tersebut untuk memanggilnya kembali tetapi mereka mendapati lelaki tersebut telah menghilang. Lantas Rasulullah bersabda,”Lelaki tadi ialah Jibril a.s. Dia sengaja datang karena hendak mengajarkan agama kepada anda sekalian, karena anda tidak menanyakannya”.

Dari hadits tersebut, terlihat bahwa permasalahan Ad-Diin itu sebenarnya melingkupi 3 aspek: 1. Al-Islam 2. Al-Iman 3. Al-Ihsan

Tiga aspek ini adalah wilayah interaksi antara seorang hamba
dengan Allah. Kadang runtutan Al-Islam, Al-Iman dan Al-Ihsan
disetarakan dengan fase-fase syariat-thariqat-hakikat-ma;rifat. Keduanya sama-sama menunjukkan bagaimana seorang hamba seharusnya menghadapkan wajahnya kepada Allah SWT. ‘Hamba’ sesungguhnya adalah derajat yang amat tinggi dalam wilayah interaksi antara mahluk dengan Khaliknya.

Penghambaan itu senantiasa dibangun atas dasar keridhoan atau kerelaan yang penuh suka cita. Dimana cinta kasih yang menjadi dasar interaksi kemudian mengkristal menjadi wujud pelayanan dan penghambaan.

“Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan
dukhan, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada
bumi:’ Datanglah kamu keduanya untuk taat kepada perintahKu dengan suka hati atau terpaksa’. Keduanya menjawab:’Kami datang dengan suka hati’”. (QS 41:11)

Langit dan bumi, adalah mahlukNya yang tidak memiliki
kebebasan berkehendak (free will), tetapi mereka dapat
menyambut seruan Allah tersebut dengan kesukacitaan.
Sementara mereka tidak mungkin mengatakan apa yang tidak mereka rasakan. Sedangkan seorang anak manusia, bisa memilih apakah mau menjadi hambaNya atau mengingkariNya. Karena itu, kala mahluk yang memiliki kebebasan berkehendak, ternyata berkehendak menjadi hambaNya, maka semata itu berdasarkan ma’rifat. Artinya sang hamba telah mempelajari dengan sungguh-sungguh, baik dengan ilmu maupun ma’rifat, bahwa menghamba itu adalah alternatif terbaik dan termulis.

Ad-Diin merupakan jembatan antara kita dengan Allah SWT. Pengenalan kepada Allah merupakan tiang-tiang menyangga jembatan itu, dan aspek ma’rifatullah ini memang menjadi dasar dari Al-Islam, Al-Iman dan Al-Ihsan.
Al-Islam diawali dengan bersyahadat akan keesaan Allah SWT dan kerasulan Muhammad SAW. Ketika seorang hamba mengucapkan 2 kalimat syahadat, tentu bukanlah sekedar hapalan. Tetapi sebagai sebuah ekspresi terhadap apa yang dia lihat dan rasakan. Karena yang bersyahadat itu sesungguhnya adalah nur insan yang menjadi qolb kita, sebagaimana dahulu (sebelum kita dilahirkan didunia) hal ini pernah kita lakukan.

Allah berfirman: “Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka seraya berfirman:”Bukankah Aku ini Tuhanmu”. Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”". (QS 7:172)

Seperti ketika Ali bin Abi Thalib ditanya,”Wahai Amirul
Mu’minin, apakah engkau menyembah yang engkau lihat atau tidak/”. Jawabnya,”Aku menyembah yang aku lihat, bukan dengan penglihatan mata, tetapi penglihatan qolb.”. Imam Al-Ghazali pun menjelaskan bahwa bashirah, mukasyafah, musyahadah dan mu’ayanah merupakan nama-nama sinonim. Perbedaannya pada tahap kesempurnaan kejelasan. Ini berarti, sebuah persaksian (musyahadah) menuntut adanya 3 sinonim
itu.

Kemudian Al-Iman yang diawali dengan beriman kepada Allah. Sebagaimana ibadah, iman pun tidak mungkin diletakkan tanpa dasar pengenalan. Mungkinkah kita mempercayai suatu urusan kepada seseorang yang tidak kita kenal? Karena itu Imam Al-Ghazali pernah membegi derajat keimanan dalam tahap-tahap berikut:
1. Iman Awami (iman orang awam, secara awam)
2. Iman Mutakalimin (iman orang berakal, dengan akal)
3. Iman ‘Arifin (iman orang ‘arif, dengan ma’rifat)
Dan terakhir Al-Ihsan. Kata-kata “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihatNya, sekiranya engkau tidak melihatNya, maka ketahuilah bahwa Dia senantiasa memperhatikanmu” adalah sebuah kristalisasi dari aapek penghambaan yang didasarkan kepada ke-’arifan.

Demikian, akhir dari tulisan Pengantar Ma’rifatullah.
Best regards,
war-net (mailto:war-net@telkom.net)

—- diambil dari Milis Daarut Tauhid.
dikutip dan diedit oleh Ade Anita

Tidak ada komentar