Selamat Tinggal Sepatu Kesayangan

[Parenting] Suatu hari, dua tahun yang lalu. Ketika aku dan anak-anakku sedang duduk ngeriung ngobrol di atas tempat tidur, tanpa sengaja aku memperhatikan kaki putri bungsuku. Dan betapa kagetnya hatiku ketika mendapatkan jempol kaki putriku ini yang berwarna tidak lazim seperti jempol sehat pada umumnya.

Ada sebuah bercak biru ke-unguan di sana. Besarnya nyaris memenuhi separuh kuku jempol kakinya. Seperti warna lebam alias luka benturan hingga menyebabkan pendarahan di dalam permukaan kulit. Biasanya, lebam ini muncul diakibatkan karena pembuluh darah yang pecah akibat trauma tertentu.
Perlahan, tanganku terulur menyentuh jempol kaki putriku.

"Dik.... ini kenapa?"

Putriku terkejut. Entah terkejut karena ujung kakinya kusentuh atau karena pertanyaanku yang terlontar untuknya. Atau.... terkejut karena hal lain? Sakit misalnya?
Ah.
Jangan-jangan reaksi terkejutnya karena rasa sakit akibat disentuh? Gegas aku melontarkan pertanyaan berikutnya padanya. Kali ini, bahkan pergelangan kaki putriku aku pegang agar kakinya tetap menghadap ke arahku. Aku ingin memperhatikan lebam biru ke-ungu-an di jempolnya tersebut.

"Sakit dik?" telunjukku menekan lebam biru di kukunya tersebut. Putriku meringis.
"Sakit nak?" Putriku mengangguk, ragu.

Urusan mengaku jika sakit itu sepertinya merupakan kendala dalam komunikasiku dengan anak remajaku. Bukan apa-apa, tapi anak-anakku yang sudah memasuki usia remaja, sering ragu untuk mengakui permasalahan sebenarnya mereka. Tidak seperti ketika mereka masih kecil dahulu.

catatan parenting untuk anak remaja versi ade anita: Berbeda dengan anak-anak yang lebih menyukai menyampaikan keluhan sebagai cara mereka mendapatkan perhatian dari orang tuanya, maka anak remaja umumnya malah cenderung untuk menyembunyikan keluhan mereka. Pada fase peralihan dari anak menuju remaja, anak remaja umumnya ingin menarik batas yang tegas bahwa mereka bukan lagi anak-anak. Dan ciri-ciri anak-anak dalam persepsi anak remaja adalah menyampaikan keluhan jika mendapatkan kesulitan pada orang tua, serta mengutarakan rasa sakit. Dalam persepsi anak remaja, menahan rasa sakit dan berusaha melewatinya dalam ketegaran adalah bukti bahwa mereka bukan anak kecil lagi.

Telunjukku kembali menekan lebam biru itu. Kali ini beberapa kali tekanan untuk memastikan ekspresi wajah putriku.

"Sakit bu jika ditekan seperti itu." Putriku segera menarik kakinya menjauh dariku.
"Aku juga bingung, sakit apa nggak. Tapi kalau ditekan-tekan terus ya sakit."

Aku dan suamiku terdiam. Diam-diam, aku meraih gadgetku dan mulai membuka google search engine alias mesin pencari google.

Kumasukkan kata petunjuk "lebam biru di kuku jari." Enaknya hidup di jaman sekarang adalah, kita bisa mencari tahu informasi karena sumber informasi beredar luas di internet. Tinggal masukkan clue tertentu lalu muncullah informasi yang dibutuhkan. Masalahnya adalah, kita tidak tahu informasi mana yang benar-benar tepat untuk kondisi yang kita alami. Jika informasinya benar, maka penanganannya insya Allah akan tepat. Tapi jika informasinya tidak benar, kan bisa makin parah kondisi yang sedang ditangani?

Hasil pencarianku di mesin pencari google, rata-rata artikel yang muncul memberitahu bahwa lebam di kuku jari itu akibat tertimpa benda berat.

"Kamu pernah kejatuhan sesuatu nggak dik?"
Putriku langsung mencoba mengingat-ingat. Matanya ke atas berputar dan bibir bawahnya digigit, pertanda dia sedang berpikir keras. hehehe. Tidak lama, dia terlihat menggelengkan kepalanya.

Aku kembali menatap gadgetku, dan menelusuri keterangan ragam informasi di sana. Jika tidak pernah tertimpa benda berat berarti....

Kuku berwarna biru dan membulat di sekitar ujung jari, disebut jari tabuh atau clubbing fingers. Kondisi ini dapat terjadi akibat rendahnya kadar oksigen dalam darah yang biasanya terkait dengan gangguan kardiovaskular, gangguan hati, paru, dan penyakit peradangan usus. (http://www.alodokter.com/komunitas/topic/warna-kuku)

OMG.
Jantungku langsung terasa melorot ke bawah. Dredeg banget. Kuberikan gadgetku pada suami agar dia membaca hasil pencarianku. Suamiku membacanya sekilas lalu mengenyahkan gadget itu dari hadapannya dengan segera. Sebuah rasa tidak nyaman hadir di wajahnya.

"Sudah, De. Lebih jelas kamu ke dokter gih."

Akhirnya, beberapa hari kemudian, aku pun segera mengunjungi dokter anak berdua dengan putri bungsuku ini. Setelah tiba di hadapan dokter, aku segera menyampaikan keluhanku pada dokter.

"Ini dok, anak saya. Ada lebam biru di kukunya. Tapi, anak saya tidak pernah merasa pernah tertimpa benda berat selama ini."

Dokter meminta putriku berbaring di atas tempat tidur pasien. Lalu mengambil kaca pembesar dan mulai memperhatikan lebam biru di kuku jari anakku. Lama dan seksama.
Dan aku berdebar.
Tidak lama kemudian, dokter menatap anakku dan bertanya, "Sepatumu sudah kekecilan belum, nak?"

Loh? Apa hubungannya dengan sepatu? Aku menatap wajah putriku dan perlahan kulihat putriku ragu menjawab.

"Nggak apa-apa, nak. Jawab saja, apakah sepatumu sudah kekecilan?"

Setelah ragu yang cukup lama, kepala putriku tampak mengangguk. Suaranya yang lirih dan sedih terdengar perlahan,
"Iya sih, sudah kekecilan. Tapi aku suka sepatuku itu. Itu seperti sepatu Princess."


Gegas aku mendaratkan kecupan di pipi putri bungsuku ini.
Alhamdulillah, lebam biru di kuku jarinya karena sepatu yang kekecilan. Bukan karena hal yang lain.
Ya Allah rasanya lega sekali hatiku ini.

"Eh, nak. Sepatu kekecilan itu tidak boleh terus dipakai. Karena, nanti aliran darahnya jadi tidak lancar di kakimu. Ini masih untung hanya lebam biru di kuku saja. Ada orang yang terus menerus diikat kakinya malah jadi kesulitan berjalan loh. Kamu mau kakimu jadi sulit berjalan karena mempertahankan sepatu yang sudah kekecilan?"

Putriku menampakkan wajah ingin menangisnya.
"Tapi sepatu model Princess yang kupakai sekarang adalah nomor terbesar."

Dokter tersenyum.
"Berarti kamu sudah bukan anak-anak lagi, sayang. Nanti minta belikan mama sepatu ukuran orang dewasa atau remaja ya."

Putriku tetap menampakkan wajah sedihnya.
"Sepatu orang gede nggak ada yang modelnya seperti sepatu Princess."

Allahu Akbar. Aku antara ingin tertawa mendengarnya juga sekaligus haru karena lega.

Hal yang mengharu-biru dalam perpisahan dengan masa kanak-kanak adalah, kehilangan imajinasi dan kesenangan berimajinasi, yang selama ini tertuang dalam aneka macam mainan dan perlengkapan yang bisa mendukung imajinasi tersebut. Dan bagi seorang remaja putri yang baru saja memasuki usia pra remaja, perubahan ukuran pakaian dan sepatu mereka adalah sesuatu yang menyedihkan. Mereka dipaksa untuk menerima kondisi bahwa ukuran pakaian dan sepatu mereka, mulai sekarang tidak lagi sama seperti ukuran yang diperuntukkan untuk anak-anak. Seberapa besarpun usaha untuk mempertahankan pendapat bahwa mereka masih ingin menjadi anak-anak, tapi lingkungan memaksa mereka untuk menerima keadaan bahwa mereka bukan anak-anak.

"Nanti kita cari sepatu ya Dik. Terserah kamu mau model sepatu apa." Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku membisikkan kalimat ini. Tapi putriku tetap berwajah sendu. Perpisahan dengan sepatu kesayangannya yang sebentar lagi harus dia lakukan masih merupakan sebuah persoalan yang amat berat.

5 komentar

  1. jadi inget zamanku dulu begitu, bener mba aku merasa masih anak2 ga merasa aku ini beranjak remaja. ceritanya pernah aku pake baju favoritku yang sudah mengecil mulai ngepas dg badan shg bentuk badan terjiplak alm ibu bilang sdh tak pantas berbaju itu bahkan aku tidak hanya sedih seperti adik loh aku nangis seharian mba 😂. akhirnya alm ibu pergi ke toko mencarikan baju dg model yg sama namun ukuran yg besar awalnya menolak akhirnya dipake juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah..masalahnya sepatu model princess gak dibuat yang ukuran orang dewasa

      Hapus
  2. Kasihan yaa. Kalau udah suka emang gitu Mbak, anakku juga kalau barang kesukaanya rusak atau hilang malah uring-uringan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, dia rela menahan sakit demi mempertahankan sepatu kesayangannya

      Hapus
  3. Alhamdulillah, ternyata karena sepatu kekecilan ya. Aku ikutan cemas tadinya :D
    Mungkin ganti sepatunya akan terasa berat di awal ya Mba Ade.. semoga cepat move on deh. Yang penting sehat kakinya :)

    BalasHapus