Belajar Tetap Sholehah : Pakai Jilbabmu, Dik

[Parenting] [Teenage Parenting] Ada yang baru nih mulai sekarang tema besaran tulisanku di blog ini. Yaitu tema parenting khusus untuk para orang tua yang memiliki anak yang sudah lewat masa anak-anak. Jadi, parenting untuk orang tua yang memiliki anak usia remaja. Baik pra remaja, remaja, maupun pasca remaja (young adult atau dewasa muda). Semoga tulisanku bisa membawa manfaat.

Kali ini, aku mau membahas tentang bagaimana caranya agar anak remaja kita, dalam hal ini anak perempuan yang berusia remaja, bisa tetap berada di jalur "tetap menjadi sosok yang sholehah".

Waktu anak perempuan kita masih  kecil, kita sudah mengajarkan dia macam-macam ilmu agama kan? Kita sudah ajarkan dia mengaji, mengajarkan dia tentang aurat, mengajar dia tentang haram dan halal, dan juga larangan dan anjuran dalam beribadah. Sekarang, tiba saatnya anak perempuan yang dulu mungil imut dipakaikan jilbab nurut saja dan dibelikan pakaian panjang nggak protes, mulai mencari jati dirinya. Dia mulai bertanya ke diri sendiri "mau aku apa sih sebenarnya?". Nah, buah dari rasa kritis pada diri sendirinya ini, akan membuatnya melakukan sesuatu yang bisa jadi berbeda dengan apa yang dia lakukan ketika dia masih kecil dahulu. Bisa jadi, anak yang dulunya penurut dan patuh, tiba-tiba berubah menjadi sosok pemberontak.

credit photo: pinterest nik mahzo


Nah. Tulisanku berikut ini akan membahas tentang tema ini insya Allah.



Belajar Tetap Sholehah


Suatu siang yang terik, 2 tahun lalu.
Jarum jam sudah menuju angka 15.00. Aku resah. Gelisah. Tahu banget kali ini, aku pasti akan sangat terlambat sekali menjemput putriku di sekolahannya. Putriku ini, sudah selesai jam belajar sekolahnya sejak pukul 14.00. Sudah satu jam yang lalu.

Jika saja tadi tamu yang mampir ke rumahku tidak berbicara panjang lebar hingga membuatku lupa melirik jam di dinding.
Jika saja mikrolet yang aku tumpangi ini tidak datang terlambat.
Jika saja tidak ada telepon masuk menjelang aku menutup pintu untuk pergi.
Jika saja aku tidak menggubris telepon itu dan tetap pergi pura-pura tidak mendengar telepon yang menjerit-jerit memanggil minta diangkat.
Jika saja aku tahu bahwa ternyata orang yang meneleponku itu ternyata hanya tele marketer yang sulit sekali dihentikan gelontoran kata-kata dari mulutnya.
Ah.
Ada begitu banyak kata jika saja yang hadir di dalam kepalaku. Dan itu semua hadir untuk menutupi rasa bersalahku karena terlambat menjemput putriku.

Segera setelah mikrolet berhenti di depan sekolah, aku berlari menyeberang jalan raya. Masuk ke gerbang sekolah, berjalan cepat menuju ke tangga yang bisa membawaku ke lantai tiga. Lantai paling atas gedung sekolah tempat putriku berada.

Nafasku tersengal-sengal. Naik turun membuat sesak. Segera aku minum air mineral botolan yang memang selalu ada di tangan. Jantungku memang punya bakat jantung koroner kata dokterku. Jadi, detak jantungnya tidak beraturan. Ini yang membuatku tersengal-sengal setiap kali harus naik tangga.  Ditambah dengan derap langkah bergegas dan rasa cemas yang menggunung, rasa tersengal-sengal yang aku rasakan makin menjadi-jadi. Ada rasa panas di dadaku. Dan sesak yang rasanya seperti saluran nafasku dimampatkan dan siap untuk meledakkan tulang dadaku kapan saja.

Aku berhenti sejenak. Minum air putih mineral sedikit demi sedikit. Sambil mengatur olah nafas. Perlahan, rasa sesak dan panas di dalam dadaku mereda. Lalu kembali aku berjalan menuju ke kelas putriku. Perlahan. Hati-hati.

Pintu ruang kelas tertutup rapat. Begitu juga dengan semua tirai kain di jendela kelasnya. Aku celingukan. Lalu menemukan ada satu jendela yang kain tirainya belum sempat ditutup. Perlahan aku mengintip lewat kaca jendela itu untuk melihat suasana di dalam kelas putriku. Saat itulah aku terkejut.

Di dalam. ternyata putriku sedang bermain dengan sekitar 10 orang teman-temannya yang lain. Mereka bergerombol mengobrol seru. Duduk di lantai sambil selonjoran kaki dan.... putriku melepas jilbabnya.

Itu yang membuatku terkejut.
Benar-benar terkejut.

Teman-teman lainnya memang tidak ada satupun yang masih mempertahankan jilbabnya. Mereka semua melepas jilbab masing-masing. Wajah-wajah lelah yang penuh keringat. Lengket tapi ada senyum ceria yang terpatri di semua wajah itu. Tapi....

"Dik."

Aku segera menghambur ke depan pintu kelas, dan berteriak memanggil putriku. Putriku menoleh dan gugup segera meraih jilbab yang dia sampirkan di atas meja. Mengenakannya buru-buru lalu meraih tas sekolahnya. Setelah pamit dengan teman-temannya, putriku melesat ke arahku. Aku terdiam. Lalu berjalan menuju ke arah bajaj-bajaj yang mangkal di depan sekolah. Ingin pulang.

Sepanjang jalan, aku terdiam.
Tidak mau digandeng.
Tidak mau bicara.
Tidak mau bertanya kabar.
Tidak ada pemberian kecupan dan pelukan.

Putrku langsung merasa ada yang tidak beres. Biasanya, begitu kami bertemu aku langsung memeluk dan memberinya kecupan. Kami bergandengan tangan menuju ke kendaraan umum sambil berbicara bertanya kabar.

"Ibu.... kenapa?' Dalam bingung, putriku bertanya dan mencoba untuk meraih pergelangan tanganku. Tapi aku segera menepis usahanya.

"Ibu marah ya? Marah kenapa?" Aku masih diam sambil mengatupkan rahang hingga seluruh gigiku bisa kurasakan saling bertemu yang atas dan yang bawah secara ketat. Aku sembunyikan tanganku di belakang punggung. Lalu naik bajaj yang diikuti oleh putriku dengan wajah yang bingung.

Bajaj berjalan setelah aku memberi tahu alamat yang aku ingin tuju. Bajaj-bajaj di depan sekolah Putriku sudah hafal semua rute menuju ke rumahku. Mereka juga sudah hafal dengan wajah kami. Karenanya, aku tidak perlu mengawasi jalannya bajaj. Aku bisa berbicara dengan putriku. Tukang bajaj masih mencoba untuk bertanya kabar dan ngomong sendiri sok akrab. Tapi, aku cuekin. Aku malah bertanya dengan suara tegas pada putriku, seakan-akan tidak ada tukang bajaj di antara kami di dalam kendaraan bajaj itu.

"Dik, kenapa tadi kamu melepas jilbabmu?"

"Hah?" Putriku terperangah. Dia sepertinya mulai tahu apa penyebab marahku. "Aku.... tadi aku main. Gerah. Panas. Lagian seru aja. Keasyikan main. Jadi lebih enak lepas jilbab."

"Jangan nak. Kamu tuh sedang berada di luar rumah. Ada anak cowoknya juga kan tadi? Dia bukan mahram kamu loh."

"Ah, itu cuma Rangga kok." (kita pakai nama Rangga saja ya, jangan nama sebenarnya).

"Terus kenapa kalau Rangga? Memangnya dia perempuan? Dia tetap laki-laki kan? Tetap anak cowok kan?"

"Ya ampun ibu. Rangga tuh mainnya sama anak-anak cewek terus. Jadi udah akrab banget ama semua anak cewek di kelas."

"Tapi dia anak cowok kan? Dia mau main sama anak cewek terus kek, dia mau melambai kek, tapi dia tetap anak cowok. Di Islam, yang namanya anak cowok itu tetap bukan mahram loh. Jadi nggak boleh melihat aurat kita. Eh... ini kamu malah main di kelas, lepas jilbab dan duduk selonjoran, lari-larian, kipas-kipas kegerahan. Apa-apaan sih?"

"Tapi teman-temanku semuanya juga pada lepas jilbab kok. Malah ada temanku yang sudah salin baju karena dia mau les. Jadi pakai baju bebas dan sama sekali nggak pakai jilbab. Ibu tahu kan si Cinta? Dia kan pakai jilbabnya kalau sekolah saja." (sekali lagi, Cinta ini bukan nama sebenarnya).

"Terserah dengan Cinta. Cinta bukan anak ibu. Anak ibu itu kamu. Cinta anak orang lain. Anak orang lain mau lepas jilbab kek, mau jingkrak-jingkrak di tengah jalan pakai daster kek, mau lari-larian pakai bikini kek, terserah mereka. Ibu nggak mikirin. Yang ibu pikirin itu kamu, karena kamu anak ibu. Ibu sayang banget sama kamu, dik. Sayang banget." Ketika mengucapkan kata terakhir ini, tanpa sadar aku menitikkan air mata. Kian lama, air mataku kian deras mengalir dan itu membuat suaraku mulai tercekat hilang timbul.

"Karena ibu sayang banget sama kamu, ibu mau kamu dapat yang terbaik, nak.  Bukan cuma posisi terbaik di dunia, tapi juga di akhirat nanti. Ibu pingin kamu bisa dapat surga. Dan surga itu cuma bisa diraih ama orang yang bertakwa. Salah satunya, kamu tetap istiqamah dengan jilbabmu, apapun yang terjadi."

Aku sedih sekali ketika mengucapkan kalimat ini.
Ya Allah. Sedih sekali.
Entah mengapa rasa sedih itu tiba-tiba hadir. Kelebat anakku berlari-lari dengan rambut berkibar-kibar dan seluruh lehernya terlihat di kelas tadi hadir di depan mata. Kemana jilbabmu tadi nak? Mengapa mudah sekali kau melepas jilbabmu, nak? Kelebat rasa itulah yang membuatku sedih.

"Dik, jika karena teman-teman, kamu dengan mudah melepas apa yang sudah ibu ajarkan, lalu bagaimana ibu bisa mempercayai melepas kamu ke tengah masyarakat nanti? Kalau kamu bisa dengan mudah meninggalkan apa yang diperintah Allah hanya karena ingin bersenang-senang dengan orang lain, gimana ibu bakalan ninggalin kamu nanti kalau ibu meninggal duluan? Aduh... ibu sedih banget. Ibu sayang banget sama kamu, sayang. Sayang banget. Dan ibu ingin kamu bisa tetap bahagia di dunia dan di akhirat."

Segera aku raih pundak putriku dan membawanya ke dadaku. Memeluknya erat-erat sambil terus menangis. Aku tidak peduli dengan tukang bajaj yang terdengar ikut menangis dan menghapus air matanya diam-diam. Terlihat di cermin spion.

Putrku ikut menangis tanpa suara. Aku ciumi pipinya. Matanya. Keningnya.
"Jangan lagi ya sayang, melepas jilbabmu dengan mudah apapun yang terjadi. Dan jangan pernah ngelakuin apa yang dilarang Allah, apapun kondisi yang kamu hadapi."

Putriku mengangguk dalam diam. Kembali aku peluk dia erat-erat.
"Duh, kesayangan ibu. Jangan pernah bikin ibu sedih kayak tadi, ya sayang. Jangan pernah ngelupain Allah ya sayang."

Bajaj terus melaju.
Berkelok-kelok hingga sampai di depan rumah.

Turun dari bajaj, kami kembali berjalan akrab masuk ke dalam rumah. Tidak ada pengulangan adegan ungkapan rasa kecewa, atau pengulangan nasehat.

Kehidupan kembali berjalan normal kembali setelah selama di dalam bajaj waktu terasa berhenti sejenak.

"Eh... sepatunya taruh yang benar di dalam rak."
Tetap saja ada perintah sebagaimana perintah ibu-ibu ke anaknya yang ingin berlaku sembarangan.

"Jangan lupa minum air putih. Dah berapa gelas minum air putih hari ini?"
Tetap saja ada perintah untuk mengingatkan anak yang sering lupa hal-hal sepele yang sebenarnya penting untuk dilakukan oleh dirinya. Remaja, baik itu pra remaja, remaja, atau pasca remaja, tetap anak-anak yang harus diingatkan, ditegur, dan diperbaiki.

Tapi khusus untuk pelajaran agar mereka tetap istiqamah dalam menjalankan ibadah agama dan ketaqwaan pada Allah, diberikan sesuai dengan porsinya, pada waktu yang tepat, tempat yang tepat, tidak berlebihan juga tidak kurang, dan diberikan dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang.






9 komentar

  1. Jadi ikutan mau nangis mba...
    Anak kedua saya juga perempuan, kls 2 SD. masih suka pakai buka jilbabnya

    BalasHapus
  2. terharu mbak sama kisahnya..moga anak-anak kita istiqamah dalam ketaatan ya mbak...

    BalasHapus
  3. Adem.. bacanya mba..ikutan nangis..,

    Senang baca begini ditengah hiruk pikuk heboh jilbab..

    BalasHapus
  4. Aku merinding bacanya mbak, merasa turut diingatkan :')

    BalasHapus
  5. Mba aku sedih bacanya ya Alloh pembelajaran buatku juga ini, anakku juga ku biasaiin berjilbab ga hanya ke TK-nya saja tapi kalau kami keluar meski kadang dia masih lepas karena kegerahan semoga aku pun bisa terus menanamkannya dan terus mengingatkannya sampe nanti. makasi udah sharing mba noted banget :)

    BalasHapus
  6. di kantor dan nangis karena baca ini..:D

    BalasHapus
  7. Kita kalo lagi marah sama anak kecil, sama ya mbak. Suka di diemin ��

    BalasHapus
  8. pelajafan jg bwtku nih, makasih sharenya

    BalasHapus
  9. Anak aku perempuan 22nya mba. Masih kecil.. aku bacanya ikut deg2an... Mdh2an nggak kjadian lagi yaa

    BalasHapus