Guru Paling Berkesan Bagiku

[Lifestyle] Ada banyak sekali guru yang pernah mengajariku sepanjang usia ini. Tiap-tiap guru tentu saja punya cerita tersendiri. Dan tiap-tiap guru meninggalkan kesan tersendiri buatku. Ada sebuah kenangan yang terukir ketika mengingat sosok tiap-tiap guru.

Beberapa waktu lalu, ada seseorang yang membuat sebuah pertanyaan yang sedikit menantang para pembaca status facebooknya. Pertanyaan yang lebih cenderung ke arah meledek sebenarnya. Meledek bahwa sosok guru adalah sosok yang paling tidak kita ingat ketika kita sudah menjadi "orang" saat ini.  Bunyi pertanyaannyaanny adalah:
"Hayoo, siapa yang masih ingat nama guru waktu kalian duduk di kelas 1 SD? Yang tunjuk tangan berarti masih normal."

Jujur saja, begitu membaca status ini aku langsung secara spontan berkata dalam hati, "Aku ingat. Bu Satimah namanya."



Jadi, Bu Satimah ini punya anak juga yang bersekolah di SD yang sama denganku. Tapi, anaknya ini sekelas dengan kakakku yang hanya berbeda 1 tingkat di atasku.

Ciri khas bu Satimah adalah, dia lucu, tidak suka marah, tidak galak. Jika mengajar dia selalu membawa penggaris besar dari kayu seperti yang biasa dipakai oleh para penjahit pakaian.

Seperti ini nih penggarisannya:




Lihat kan, model penggarisan yang mirip senapan di bagian atas itu? Nah... karena tubuh bu Satimah mungil seperti artis Yuni Shara, jadi penggaris dengan sudut 90* itu sering dijadikannya tongkat. Dia akan berkeliling kelas untuk membacakan buku pada murid-murid kelas satu.

Aku belum bisa membaca dan menulis. Tapi, aku selalu senang jika ada yang membacakan cerita. Di rumah, ayahku adalah seorang pendongeng yang baik. Dan di kelas satu, bu Satimah juga pembaca cerita yang baik. Aku akan menyimak cerita dengan serius dan ingat semua jalan ceritanya dengan baik biasanya. Itu sebabnya, meski aku tidak bisa membaca dan menulis tapi aku selalu bisa menjawab dengan cepat jika Bu Satimah mengadakan kuis siapa cepat dan tepat, dia dapat.

Biasanya, Bu Satimah akan menanyakan isi cerita yang sudah dia bacakan. Bisa jadi, itu sebabnya aku tetap dinaikkan ke kelas 2 meski sebenarnya aku belum bisa menulis dan membaca. Karena ya itu tadi, aku bisa menjawab dengan cepat dan tepat semua pertanyaan yang berhubungan dengan isi cerita yang Bu Satimah bacakan.

Lucunya, bu Satimah akan membidikkan penggarisannya pada anak yang tidak mampu menjawab pertanyaan padahal sudah ditunjuk agar menjawab. Gayanya seperti seorang pemburu yang akan membidik hewan buruannya. Jika jawaban yang diberikan salah, maka dari mulut Bu Satimah akan keluar bunyi berdesis seperti sebuah peluru yang baru saja dilepas... "ZZZTTT... DOOR. Kamu salah, jadi saya tembak." hehehehe. Tentu saja ini hanya gurauan saja, karena tembakannya adalah penggaris besar dari kayu itu. Tapi murid-murid jadi tidak terlalu tegang karenanya.

Di Kelas II (dua) SD, nama guruku adalah Bu Ju'imah. Orangnya gendut sekali. Begitu gemuk sehingga untuk keluar masuk dari pintu kelas dia harus memiringkan tubuhnya ketika melewati pintu kelas. Jalan bu Ju'imah sudah mulai tidak tegap dan lurus. Tapi agak sedikit tertatih dan tidak seimbang. Sekarang nih, ketika usiaku 46 tahun sekarang dan tubuhku gemuk aku baru tahu kenapa jalan bu Ju'imah tidak lurus dan tertatih-tatih. Karena pasti kedua kakinya tidak sanggup menyanggah tubuh gemuknya.

Ciri khas Bu Ju'imah adalah, ketika dia mengatakan kata "TITIK TITIK" jika sedang memberikan soal dikte.

Contoh:
"Bhineka Tunggal Ika itu artinya adalah... TITEK TITEK..." Huruf E dibaca seperti ketika melafalkan kata "ember", dengan suara yang sedikit medok jawa.

Nah, anaknya bu Ju'imah ini adalah sahabatku ketika aku duduk di kelas 3 dan 4 SD nantinya. Cuma 2 tahun bersahabatnya? Kenapa? Ada ceritanya. Lain kali aku cerita ya.

Kelas 3, aku lupa siapa nama guruku. Tapi yang pasti laki-laki. Guru laki-laki ini kagum sekali dengan tulisan tangan kakakku yang duduk di sekolah yang sama denganku tapi ada satu tingkat di atasku. Menurut pak guru ini, tulisan tangan kakakku seperti tulisan tangan seorang sekretaris. Rapi, kecil, jelas, dan huruf sambung yang mirip huruf cetak. Cantik deh tulisannya.

Sayangnya, sambil memuji kakakku, dia lalu akan mencela tulisan tanganku yang jelek-jelek seperti ceker ayam. Aku baru bisa menulis di kelas 3 SD memang, itu sebabnya tulisan tanganku buruk sekali. Keburukan tulisan tanganku ini yang sering dia banding-bandingkan dengan tulisan cantik kakakku.

"Duh, ini tulisan. Beda banget ya dengan tulisan kakakmu. Tulisan kakakmu tuh seperti tulisan seorang sekretaris loh. Ayo, coba kamu belajar sama kakakmu gimana caranya agar bisa menulis secantik itu."

Begh.. menyebalkan. Pantas saja aku lupa nama guru kelas 3 SD ini (Ih, Apaan sih? Lupa mah lupa aja.. hehehhe).

Guru kelas 4 SD, namanya Bu Nur. Rumahnya jauh di Depok, sehingga dia harus naik kereta api setiap pagi. Tahun 1970an akhir, stasiun kereta api Duren Tiga masih sederhana sekali. Belum sekeren dan mentereng seperti sekarang. Di kiri kanan rel, ada berjajar pemukiman liar. Stasiunnya sendiri, tampak terjepit di tengah pemukiman liar tersebut.

Eh.. Tapi jangan membayangkan pemukiman liar seperti rumah dari kardus dan triplek rombeng. Pemukiman liar ini sudah bercokol bertahun-tahun, sehingga rumah-rumahnya sudah ditembok permanen semua rata-rata.

pas gugling ketemu foto sekelompok anak yang sedang menunggu kereta listrik di stasiun duren kalibata.
credit foto: https://viyatabakti.wordpress.com/gallary/curug-cilember-1988/
Nah, ciri khas bu Nur ini adalah, dialek jawanya halus sekali. Berbeda dengan bu Ju'imah yang dialek Jawanya tampak lebih menggebu-gebu dan suaranya keras menggelegar. Bu Nur, suaranya tegas tapi tidak meledak-ledak. Jika sedang marah dia tidak pernah mencak-mencak atau berteriak. Tapi cukup diam, tapi menatap murid yang bersalah dengan tatapan amat dingin  dan tajam menusuk. Brrr.... lebih menakutkan daripada orang yang marah tapi berteriak-teriak. Itu sebabnya murid-murid di kelas lebih tenang dan terkendali.

Bu Nur, tidak bisa mengucapkan huruf E yang terdapat di kata "ember". Semua huruf E akan dia baca seperti huruf E di kata sebel atau benci. Padahal, namaku kan Ade Anita. Jadilah kata Ade dibaca dengan huruf E yang berbeda.

Hmm. Mau protes ya gimana ya? Nanti aku dipandang dengan tatapan mata dingin dan tajam menusuknya lagi. hehehe.

Kelas 5, Guruku Pak Tohang. Orang Batak, yang galak tapi baik. Hah? Apa tuh galak tapi baik? Hehehe. Iya, dia terkesan galak karena dialek bataknya yang tidak bisa hilang. Jadi, jika berbicara seperti sedang membentak gitu. Padahal orangnya baik sekali.

Ada satu nasehat beliau yang aku ingat (tolong baca seperti dialeknya Naga Bonar ya):
"Ade. Jika kau tidak bisa mengingat, maka cobalah kau  gantung karet gelang di telinga kau itu."
"Hah? Buat apa pak? Nanti semua orang bingung lagi lihat saya gantung karet gelang di telinga."
"Justru itu. Memang itulah tujuan kita menggantung karet gelang di telinga ka-u. Agar orang-orang bertanya. Nantik, jika orang-orang bertanya ada apa dengan telinga kau; kau jawablah. Aku sedang mengingat-ingat perkalian. Lalu kau sebutlah perkalian yang sedang kau hafalkan. Sepuluh kali orang bertanya karena bingung, sepuluh kali pulalah kau jawab pertanyaan mereka dan ucapkan perkalian yang sedang kau hafalkan. Pasti kau hafal."

Dan tebak dong. Aku mengikuti saran Pak Tohang ini. hahahaha. Itu benaran aku gantung karet gelang di telingaku. Jadi semua orang pada bertanya keheranan dan dengan wajah tak berdosa dan innocent aku langsung membacakan perkalian yang sedang aku hafalkan. hahahahha.

Nasehat lain beliau yang aku ingat waktu aku kelas 5 itu adalah:

"Hei, De. Sebenarnya, kau bisa menguji apakah kau sudah paham apa belum pelajaran yang kau pelajari. Yaitu, dengan mengetes dirimu sendiri ketika bangun tidur. Otak manusia itu kosong ketika dia bangun tidur. Tapi bukan model kosong melompong kayak macan ompong begitu. Tapi masih ada lah satu dua yang nyangkut, sisa-sisa yang kau pelajari sebelumnnya. Nah... jika kau benar sudah paham, maka kau bisa menjawab pertanyaan yang orang ajukan pada kau ketika kau baru bangun tidur. Jadi.. cobalah kau uji diri kau sendiri ketika baru bangun tidur. Itu baru namanya kau berhasil belajarnya."

Inilah asal muasal aku membuat soal-soal pertanyaan yang harus aku isi dengan jawaban setiap kali aku baru bangun dari tidurku. Bahkan meski aku diopname di rumah sakit pun, yang namanya buku pelajaran, buku tulis dan alat tulis, termasuk benda yang aku bawa untuk menginap di rumah sakit.

Iya iya... waktu SD dulu aku memang sakit-sakitan. Bolak balik masuk rumah sakit untuk diopname. Asmaku parah.

Nah. Pas naik kelas 6, ternyata guru kelas 6 sebelumnya dipindahkan ke sekolah lain dan menjadi kepala sekolah di sekolah lain itu. Akibatnya, Pak Tohang yang semula mengajar di kelas 5, kini mengajar di kelas 6. Wah asyik. Aku suka sekali diajar oleh Pak Tohang.

Ada dua  nasehat Pak Tohang yang aku ingat dengan baik.
"Sesungguhnya, di dunia ini tidak ada orang bodoh. Tidak ada. Yang ada adalah orang yang pemalas. Jadi... semua orang itu cerdas. Hanya saja, ada yang malas menggunakan kecerdasannya, dan ada yang rajin sehingga kecerdasannya semakin menonjol." 
"Ade, kamu harus jadi orang yang baik dan beriman. Kenapa? Karena kamu cerdas. Mereka yang bodoh, jika mereka memilih untuk menjadi orang jahat maka kejahatan yang dilakukannya akan menghasilkan dampak seperti petasan. Semua orang kaget, tapi, tidak mematikan siapapun. Tapi mereka yang cerdas, jika mereka memilih untuk menjadi orang jahat maka kejahatannya akan seperti bom atom. Dasyat dan mematikan segalanya. Jadi... tetap pilihlah untuk menjadi orang baik dan beriman karena kamu orang yang cerdas."

 Itulah guru-guruku ketika masih SD dulu. Kalian.. masih ingat nggak guru-guru ketika SD dulu?




2 komentar

  1. dulu kalau gak salah namanya masih stasiun kalibata ya mbak, soalnya waktu kuliah aku suka naik kerata juga

    BalasHapus
  2. Aku juga masih ingat gurur2ku masa SD. Salah satunya ada seorang yang berbeda kesanku dibanding dengan yang lain. Aku jadi berpikir, apa kabarnya ya sekarang?

    BalasHapus