Kumpul Keluarga Sebagai Pengikat Rasa Kasih Sayang

[Parenting]  keluargaku keluarga besar. Besar sekali.
Ayahku, 11 bersaudara yang hidup 9 orang, berasal dari satu orang ibu dan satu orang bapak. Ibuku 8 bersaudara, dari 3 orang ibu satu orang bapak. Jadi, jika saja semuanya diberi kesempatan untuk berkumpul anak-cucu-menantu-cicit, jumlahnya sudah seperti kenduri akbar. Banyak sekali. Karena keluarga besarku penganut paham banyak anak itu punya rezekinya masing-masing. Itu sebabnya rata-rata anaknya pada banyak-banyak.

Karena jumlahnya banyak tidak heran jika mereka tersebar di beberapa propinsi di Indonesia. Ada yang tinggal di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Sumatra Selatan, Jambi atau Lampung. Tapi, yang terbanyak sih konsentrasi di 2 propinsi yaitu di Jakarta dan Sumatra Selatan.

Jika dipilah-pilah lagi, maka yang berkumpul di Jakarta kebanyakan adalah keluarga dari garis keturunan ibuku. Sedangkan yang tinggal di Sumatra Selatan sana berasal dari garis keturunan ayah.

Ibuku, lahirnya sebenarnya di Sumatra Selatan. Hanya saja, ketika dia berusia 3 tahun, oleh orang tuanya dibawa ke Bandung. Jadilah untuk seterusnya dia besar hingga menikah di Bandung. Tidak heran jika ibu dan saudara-saudaranya pandai berbahasa Sunda. Jika ibu dan saudara-saudaranya sedang berkumpul, tidak jarang mereka menggunakan bahasa Sunda.

Tapi, bukan berarti ibu dan saudara-saudaranya tidak bisa berbahasa Sumatra Selatan. Mungkin, karena kesadaran bahwa mereka adalah perantau dan sekali perantau tetap perantau, maka ibu dan saudara-saudaranya dibiasakan untuk mengerti dan menggunakan bahasa Sekayu sebagai bahasa daerah kedua di antara mereka. Itu sebabnya keluarga ibuku menguasai 2 bahasa daerah, yaitu bahasa Sunda dan bahasa Sekayu.

Sedangkan keluarga ayahku, tentu saja mereka memang berasal dari Sumatra Selatan.

Di Sumatra Selatan sana, urusan bahasa memang terbagi-bagi dalam beberapa dialek. Ada dialek Palembang, Sekayu, Pagar Alam, Komering, dll. Umumnya, perbedaan di antara dialek-dialek tersebut hanya pada penggunaan huruf vokal saja.

Misalnya:
Kemane (= kemana). Digunakan huruf "E" seperti jika kita mengucapkan kata Ekor. Ini bahasa Sumatra Selatan dengan dialek Sekayu.
Kemano (= kemana). Digunakan huruf "O". Ini bahasa Sumatra Selatan dialek Palembang.
Kemane (= Kemana). Digunakan hurud "E" seperti jika kita mengucapkan nama binatang Elang. Ini bahasa Sumatra Selatan dengan dialek Pagar Alam.

Lain keluargaku, lain lagi keluarga suamiku. Suamiku adalah anak bungsu dari 10 bersaudara. Dia adalah keluarga hasil pernikahan Jawa dan Bogor.

Seharusnya, jika saja bahasa daerah tetap digunakan di dalam keluargaku, anak-anakku bisa menguasai 3 bahasa sekaligus. Yaitu bahasa Sekayu, Sunda dan Jawa. Sayangnya, anak-anakku, kebetulan adalah anak-anak yang besar di Kota Jakarta. Jadi, tidak heran jika bahasa yang kami gunakan di rumah dalam keseharian adalah bahasa Indonesia.

Anak-anakku tidak terbiasa menggunakan bahasa daerah seperti bahasa Jawa, Sekayu, atau Sunda. Itu sebabnya, jika sedang ada acara kumpul bersama keluarga, bagiku itu adalah sarana untuk memperkenalkan anak pada budaya yang melekat dalam keluarga besarnya.

Jika sedang berkumpul bersama dengan keluarga besar suamiku, anak-anakku perlahan berkenalan dengan budaya dan etika yang berlangsung di tengah keluarga Jawa umumnya.
Tapi, jika sedang berkumpul bersama dengan keluarga besarku, anak-anakku perlahan berkenalan dengan budaya dan etika yang berlangsung di tengah keluarga Sumatra pada umumnya.

Perbedaan? Banyak.
Yang satu kalem, lemah lembut, yang lain ramai, cekakakan.
Yang satu jika berbicara dengan perumpamaan dan tidak langsung menyentuh bahasan, yang lain selalu blak-blakan dan to the poin.

Tapi seiring dengan bertambahnya waktu, dimana generasi tua semakin sedikit jumlahnya dan generasi muda semakin mendominasi pertemuan, maka perbedaan akibat budaya itu semakin menipis. Yang ada adalah keakraban. Dan inilah esensi dari acara kumpul keluarga.

Kumpul keluarga yang terjadi karena sebuah silaturahmi itu, akan menjadi pengikat rasa kasih sayang antar anggota keluarga. Mendekatkan yang jauh, dan mengakrabkan yang dekat.

Itu sebabnya di keluarga besarku, kami membuat jadwal arisan keluarga. Tujuannya tentu saja untuk menghadirkan silaturahmi. Uang arisan yang didapat sih tidak besar. Tapi silaturahmi itu yang tujuan utamanya. Ngobrol secara langsung itu jauh berbeda rasa dan dampaknya jika dibandingkan dengan ngobrol lewat media sosial, termasuk lewat group whats app sekalipun.

Total, aku punya 3 acara arisan keluarga. Yaitu arisan keluarga kandung suamiku, arisan keluarga keluarga besar dari keturunan ibuku, dan terakhir arisan keluarga kandungku. Yang terakhir ini dibentuknya baru 6 bulan terakhir ini sih. Alasannya sederhana saja. Aku dan saudara-saudara kandungku tidak lagi punya orang tua. Jadi, harus berusaha agar kami sebagai saudara kandung tidak terpisah karena perbedaan pendapat  dan bisa terus kompak mesra. Jalan keluarnya disatukan dalam pertemuan arisan keluarga.

Anak-anak belajar banyak dari silaturahmi keluarga besar  ini. Tentang toleransi, tepo seliro, tenggang rasa, empati, simpati, etika, dan sebagainya. Termasuk mengenal budaya dan mencoba untuk memahaminya dan menerimanya dengan lapang dada meski berbeda dengan apa yang mereka pahami dan yakini selama ini jika sedang berada di dalam keluarga inti.

Jadi... ajak deh anak-anak untuk memahami makna pertemuan dengan keluarga besar. Dengan begitu anak insya Allah akan tumbuh menjadi sosok manusia yang lebih toleransi, pengertian dan berusaha untuk tenggang rasa pada orang lain. 
ini acara buka bersama rutin tiap setahun sekali  saudara kandungku. Tradisi buka puasa bersama sekeluarga besar di rumah makan ini asalnya dibiasakan oleh kedua orang tuaku. Setelah mereka berdua tiada, kami meneruskan tradisi ini hingga sekarang. Tapi, karena kesibukan dan usia tua, akhirnya kami membentuk arisan keluarga agar bisa ada pertemuan rutin saban selang beberapa bulan sekali. 

ini arisan keluarga besar dari garis keturunan ibuku. Arisan kali ini diadakan di rumah yang dahulu selalu dijadikan tempat untuk berkumpul ketika lebaran Idul FItri hari pertama. Yaitu rumah kakak tertua ibuku.

ini arisan keluarga saudara kandung suamiku. Arisannya di bekas rumah masa kecil mereka yang sudah dibeli orang lain lalu dijadikan rumah makan sekarang. Jadi, kami berkumpul lagi di rumah  masa kecil suamiku sebagai tamu rumah makan tersebut. 


7 komentar

  1. Ajang kumpul silaturahmi seperti ini memang harus kita ajarkan sama anak anak ya mba. Semoga anak anak kita kelak tetap bisa terus menjalin silaturahmi dengan keluarga besar. Amin

    BalasHapus
  2. Sama mba Ade, aku juga dari keluarga besar. Kalo berkumpul..masyaAllah rame dan seru. Kami tinggal berjauhan karena hampir semuanya merantau dari Jawa Barat sampai Lombok. Silaturrahim semakin menambah rasa cinta dan kasih sayang ya mbak ;)

    BalasHapus
  3. Waaah keluarga besar ya, Mbak. Sama sih keluarga saya juga gitu hehe

    BalasHapus
  4. KAlau ada arisan keluarga, aku kok nggak pernah foto-foto ya.

    BalasHapus
  5. Acara kumpul keluarga semacam ini memang penting banget ya, Mbak, jangan sampai sesama cucu, misalnya, ada yang tidak saling kenal.

    BalasHapus
  6. Berkumpul bersama keluarga sangat penting untuk menjaga keakraban. Seru banget ya mbak. Ulasannya sangat menarik. Senang sekali dapat berkunjung ke laman web yang satu ini. Ayo kita upgrade ilmu internet marketing, SEO dan berbagai macam optimasi sosial media pelejit omset. Langsung saja kunjungi laman web kami ya. Ada kelas online nya juga lho. Terimakasih ^_^

    BalasHapus