Terima Kasih Bapak dan Ibu Guru

[Parenting]: Dalam beberapa hari ke depan, aku In Sya Allah akan menulis tentang dunia pendidikan di rubrik parenting blogku ini. Dan ini tulisanku yang pertama.

Kita, sering tidak menyadari bahwa ada banyak hal-hal sederhana di sekitar kita yang terlewati begitu saja karena jumlahnya yang memang tak terhingga; dampaknya yang tidak mencengangkan; efeknya yang tumbuh amat perlahan.



Seperti udara yang kita hirup setiap saat. Tidak pernah ada yang menyadari bahwa udara tersebut amat besar dampaknya bagi kehidupan kita. Dulu, ketika komplikasi anemia dan hypotensiku kambuh, aku mengalami kondisi tidak dapat menghirup udara sama sekali dari hidung atau mulutku. Perlahan tapi hitungan detiknya terasa cepat, aku mulai  merasakan rasanya tercekik. Dan dada terasa mengkerut perih. Gelagapan dan megap-megap tapi tetap tidak bisa mendapatkan udara untuk membantu pernapasan. Lalu aku pingsan sesaat. Kukira usiaku sampai disitu saja.  Sejak itu aku amat berterima kasih ketika pagi bangun tidur dan  mendapati diriku masih bisa menghirup udara dengan nyaman dan leluasa. Alhamdulillah.

Air. Ketika dia banyak dan bisa didapat dimana-mana, jarang yang ingat betapa berharganya air bagi kehidupan. Tidak jarang ketika hujan datang dan banjir melanda, keluhan dan makian muncul terhadap air yang berlimpah datangnya tersebut. Padahal, ketika musim kemarau tiba. Mendapatkan air itu susahnya bukan main.

Atau fisik yang sehat; badan yang tidak bungkuk, mata yang bisa melihat, dan sebagainya. Termasuk disini mobil yang dimiliki, rumah yang ditempati, pakaian yang dikenakan, sepatu yang dipakai, dan sebagainya.

Kita, baru menyadari betapa berharganya apa yang kita miliki, ketika kita nyaris atau bahkan sudah kehilangan mereka.

Dan dalam hal ini, pendidikan yang kita terima adalah termasuk sesuatu yang sering disepelekan dan terlewati begitu saja untuk dimaknai bahwa itu sesungguhnya sesuatu yang amat besar manfaatnya.

Beberapa hari yang lalu, seorang teman bercerita padaku. Bahwa untuk pertama kalinya, dia menulis sebuah sms (pesan singkat) di handphonenya dalam rangkaian kalimat yang amat panjang.

"Aku selama ini merasa bahwa aku adalah seorang perempuan yang kuat, tidak cengeng, tidak manja, dan bukan perempuan yang menye-menye. Rasanya bisa dihitung dengan jari, kapan aku menangis karena merasa tidak berdaya. Eh. Malah rasanya tidak pernah aku menangis karena merasa tidak berdaya. Paling aku nangis karena merasa sakit. Itu pun karena aku sudah tidak tahan dengan rasa sakitnya. Jadi dalam arti sakit banget gitu loh Mbak Ade. Tapi kemarin; untuk nulis sms ini, aku tuh nulisnya sampai lamaaa sekali. Bukan karena sibuk nyusun kata-kata yang bagus tapi karena aku nangis sepanjang menulis sms." Ketika berkata seperti ini, temanku ini menitikkan air matanya.

"Aku terharu dengan semua yang didapat oleh anakku dari hasil belajar dia dengan gurunya. Masya Allah, luar biasa sekali itu gurunya. Mbak Ade tahu sendiri kan, anakku itu autis. Aku dan suami sadar banget dengan kondisi anakku; itu sebabnya dia mau bersekolah saja itu sudah membuat kami bahagia. Dia bisa membaca, menulis dan berhitung saja itu sudah luar biasa buat kami. Tapi kemarin; ketika aku dan suami bermaksud untuk mengajarkan dia materi pelajaran menjelang UAS, kami berdua terkejut melihat perkembangan yang terjadi pada anak kami. Luar biasa pesatnya. Duh... aku sampai merinding ketika mengingat itu. Aku pingin nangis rasanya saking bahagianya. Masya Allah." Lalu temanku menunduk dan sibuk menenangkan dirinya yang kembali terlanda haru. Air matanya berlinangan dengan deras.

"Setiap kali kenaikan kelas, dan melihat guru menaikkan anakku, aku sudah bersyukur loh. Aku tidak pernah menuntut macam-macam dari anakku. Bertahun-tahun dia tidak memiliki banyak teman di kelas dan lingkungan rumahnya, aku terima. Bertahun-tahun dia menggemari kesendiriannya, aku juga terima. Hanya aku tahu dan bisa merasakan bahwa dia kesepian. Dalam hatinya dia pasti butuh orang lain untuk bisa jadi temannya. Itu sebabnya dia sering ngamuk sendiri karena aku tahu dia ingin main juga tapi dia tidak tahu bagaimana cara memulainya. Dia juga suka ngamuk karena dia ingin melakukan hal yang sama dilakukan oleh orang lain tapi dia tidak tahu bagaimana agar kita mengerti dan mau melakukan hal yang sama tersebut." Lalu temanku kembali menghapus air matanya.

"Nah.. kemarin, menjelang UAS, aku dan papanya duduk dekat dia. Dia sedang menulis. Iseng, aku bertanya, sedang apa. Lalu dia jawab menulis ini. Lalu memperlihatkan padaku tulisannya. Papanya ikut ngintip, terus baca apa yang dia tulis. Kebetulan yang dia tulis itu adalah soal matematika dan jawabannya. Papanya nanya, ini dari mana hasilnya kok bisa dapat segini? Iseng saja. Biasanya sih anakku itu diam saja. Eh... kemarin tiba-tiba dia menghentikan kegiatan menulisnya dan menjelaskan ke papanya. Ini pah, kalau kita ngerjain soal seperti ini, harus dikerjain yang ini dulu. Cara nyarinya gini.... Aku langsung bengong, Mbak Ade lihat reaksi dia. Jadi aku langsung ikutan mereka. Papanya nanya yang lain dan anakku sanggup menjelaskan pada papanya. Terus, aku tanya kalau ada temanmu yang bertanya kayak papa di kelas, bisa nggak dia menjelaskan seperti menjelaskan ke papanya. Lalu dia cerita bahwa di kelas dia sudah punya teman. Disebutin nama-namanya. Terus aku tanya lagi, main apa saja. Lalu dia cerita main apa saja di kelas. Duh.. mbak. Wajahnya anakku itu bahagia banget ketika bercerita itu. Aku nggak kuat. Jadi, diam-diam aku tinggalin dia sama papanya ngobrol berdua dan aku melipir ke kamar mandi. Aku nangis. Aku terharu dengan semua kemajuan anakku."

Lalu temanku itu memperlihatkan isi sms yang dia tulis. SMS nya cukup panjang meski ditulis dengan kalimat yang ringkas-ringkas.  Tentang luapan perasaan terima kasihnya pada sang guru.

"Aku benar-benar mengapresiasi apa yang dilakukan oleh guru anakku. Mereka luar biasa sekali membimbing dan memunculkan kemampuan anakku yang selama ini mungkin akan terkubur begitu saja. Anakku bukan hanya bisa menggunakan alat tulis saja  tapi sekarang bisa memanfaatkan alat tulis untuk memunculkan kemampuannya yang terpendam dan mengatasi kekurangan dirinya. Itu yang aku amat apresisasi. Duh.... aku amat berterima kasih sekali kepada bapak dan ibu guru dia dalam hal ini."

Aku jadi ikut terharu mendengar curhat temanku ini.
Mungkin, bagi sebagian orang sekolah adalah institusi yang sederhana yang harus dilewati dan akan ditinggalkan.
Mungkin ada beberapa orang yang menyepelekan profesi bapak dan ibu guru.
Mungkin ada yang merasa bahwa pendidikan di bangku sekolah adalah cara lain untuk mengisi waktu ketimbang bengong.
Tapi,
Mendengar cerita temanku aku jadi merasa bahwa institusi sederhana bernama sekolah itu, bukanlah sebuah lembaga numpang lewat dalam kehidupan kita. Ada banyak sekali hal-hal yang berarti yang didapat dari sekolah.  Dan pendidikan yang kita dapatkan ketika kita bersekolah, adalah dasar dari semua kemajuan dan perkembangan yang kita nikmati dan miliki saat ini.

Dari tidak bisa membaca lalu bisa membaca.
Dari tidak bisa menulis lalu bisa menulis.
Dari tidak bisa berhitung lalu bisa berhitung.
Dan  bukan hanya itu saja. Jangan berhenti mengingat apa yang diberikan oleh sekolah dari 3 hal di atas saja.

Ada hal-hal lainnya lagi. Seperti belajar untuk memperoleh teman, berkomunikasi dengan teman, mengembangkan sifat toleransi, menghargai perbedaan, serta mengatasi kekurangan dan kelebihan yang dimiliki oleh diri sendiri ketika berada di tengah orang banyak.

Hal-hal inilah yang menjadi bonus dari 3 kegiatan utama bersekolah.
Jadi, jangan senang dulu jika anak terpilih menjadi anak yang paling pintar di kelas. Rangking 1. Karena, jika anak tidak mampu mengembangkan kemampuan dia dalam menjalin relasi dengan teman sebaya, dan juga menjalin relasi dengan orang yang lebih tua atau lebih muda usianya. bisa jadi dalam hal ini anak masih mengalami gangguan dalam perkembangan emosinya.

Dan perkembangan emosi pada anak ini, mempengaruhi perkembangan jiwa dan karakter anak di masa-masa selanjutnya.
Dalam hal ini, tugas bapak dan ibu guru di sekolahlah yang seharusnya melihat tiap-tiap anak sebagai individu yang berbeda satu sama lain.
Disitulah aku amat sangat mengapresiasi bapak dan ibu guru yang mampu memunculkan kemampuan masing-masing individu murid-muridnya.

Itu bukan pekerjaan yang gampang loh. Bertemu dalam beberapa jam sekaligus 15 - 40 anak. Diberi beban tugas mengajar mereka semua tapi sekaligus memperhatikan satu demi satu anak, apa yang masing-masing miliki untuk bisa dikembangkan.

Guru anak temanku itu, buatku pribadi, luar biasa keberhasilannya dalam hal ini. Dia bisa melihat, lalu mengelompokkan mana anak yang pandai, lamban, perlu perhatian khusus, bisa diberi kepercayaan untuk berkembang sendiri, dan mana yang bisa ditingkatkan lagi kemampuannya. Lalu dia mengelompokkan anak-anak tersebut. Masing-masing kelompok diberlakukan perlakuan khusus. Hasilnya: anak yang semula dianggap "segitu juga udah lumayan" ternyata bisa dimunculkan menjadi "anak luar biasa".

Itu sebabnya, sebagai seorang ibu, aku juga memiliki rasa haru dan terima kasih yang sama pada bapak dan ibu guru.



Catatan untuk diriku sendiri: jangan lupa ajarkan anak untuk mengucapkan terima kasih pada guru. Dan ajarkan anak untuk menghormati dan menghargai bapak dan ibu guru. 


Tulisan berikutnya, aku ingin membahas tentang bagaimana memaksimalkan pendidikan bagi anak.

18 komentar

  1. Bener banget mak Ade, Kita baru menyadari betapa berharganya apa yang kita miliki, ketika kita nyaris atau bahkan sudah tiada. Aku, hampir 10 bulan ditinggal bapak. Rasanya masih gak percaya. Andai saja dulu bakal tahu kehilangan itu rasanya seperti ini, tiap hari pasti akh gunakan untuk jadi anak yang baik. :'(

    Setuju... guru memang berandil besar di dalam menciptakan karakter anak-anak kita. Dan juga memaksimalkan kemampuannya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mak... aku juga dah ditinggal ayah ibu jadi selalu terasa betapa mereka berharga dulu ketika masih hidup

      Hapus
  2. mbak Ade aku pernah ikut kelas inspirasi di sekolah yang menerima murid autis dan guru2nya luar biasa . sabar dan anak-anak di sana bisa berbaur dengan yg normal dan yg normal gak pernah mengejek, saling bisa berempati. Aku terharu banget, betapa guru2 di sana hebat bisa membuat anaka utis hebat, anak yg normal mau berempati dg mereka yg autis. Luar biasa mbak, aku sampai merinding. Aku buat tulisannya di kompasiana. kasih dalam perbedaan

    BalasHapus
    Balasan
    1. aku baca deh kayaknya yang itu. Cuma mungkin belum punya akun kompasiana jadi cuma berkunjung dan silent reader aja

      Hapus
  3. Keterikatan emosionalku dengan seorang guru adalah di SMP Mbak, bukan di SD malah. Sewaktu SMP aku merantau, jadi figur ibu dan bapak guru, benar-benar saya contoh. Masih terasa hingga saat ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. aku waktu SD. Pas SMP dan SMA lebih ke teman

      Hapus
  4. Aku pernah dalam posisi menjadi guru maupun orangtua. Dan saat aku dalam posisi sebagai guru, aku menjadi tahu bagaimana perasaan mereka saat itu. Seorang guru akan cukup bahagia kalau anak muridnya menjadi lebih baik. Itu saja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. benar...sy sbagai dosen juga merasa senang skali kalau ada murid kita yg sukses melebihi kita :)

      Hapus
    2. iya, suami dan ayahku juga seorang dosen. Dan mereka juga punya pendapat yang sama

      Hapus
  5. sepakat mbak..keberhasilan kita tdk pernah lpas dr guru, karenanya kita harus berterimakasih dan memuliakan mereka..biar ilmu kita berkah dunia akhirat...salam hangat dan salam kenal...izin follow blognya yang bagus skali ini... :)

    BalasHapus
  6. samaaaa mba Ade, saya jg merasakan betapa besar jasa guru2 buat anak2.. saya suka dinasihatin sama anak kalo lagi ngeluh atau marah dari apa yg ia dapat di sekolah/ les ngaji. contoh kecil saat kemarin. zaidan itu udah 8 taun masih aja harus ditemeni ke kamar mandi, saya ga masuk nunggu depan pintu aja karena dia penakut. trus kmrn itu sy ngeluh, kapan sih zaidan beraninya kan umi mau ngerjain pekerjaan lain. trus dia bilang gini, kata ustad guru ngajinya ga boleh bilan ah uh kalo dimintai tolong...saya jd nyengir malu deh

    BalasHapus
  7. aku sering bikin guru bete. malah ada yang pernah sampai memboikot ga mau ngajar. aku agak gagal jadi ketua kelas. maafin sayaaaa...pak

    BalasHapus
  8. aku masih inget nama-nama guruku dulu loh, ada yang masih aku temui juga

    BalasHapus
  9. Speechless... Mudah2an menjadi anak jariyah buat mereka ya mba..

    BalasHapus
  10. Aku sekarang udah kuliah, dan masih saja ingat ama guru-guru SD ku dulu :D
    apalagi guru yang paling bawel, iuhh.... paling ingat banget gue mba :') ngangenin juga sihhh....

    BalasHapus
  11. Kita, baru menyadari betapa berharganya apa yang kita miliki, ketika kita nyaris atau bahkan sudah kehilangan mereka... yuks jagaa!

    BalasHapus