Sekolah Rumah Sebagai Alternatif Mendidik Anak

[Parenting]: Masih kelanjutan dari ngobrol-ngobrol tentang dunia pendidikan nih ceritanya. Di tulisan pertamaku tentang tema ini (baca:  Terima Kasih Bapak dan Ibu Guru). Kali ini aku mau menulis tentang bentuk sekolah lain, dimana otomatis bapak dan ibu gurunya juga ikut mengalami perubahan. Yaitu sekolah rumah atau dikenal dengan nama bekennya "Home Schooling".

Yup. Sekolah rumah merupakan alternatif dalam mendidik anak.



Tulisan ini berawal dari pertanyaan/komentar ketika aku menshare tulisanku di akun facebookku. Begini pertanyaan yang dilontarkan tersebut:

dari FD: Lalu bagaimana dengan sekolah yang tidak mau menerima anak2berkebutuhan khusus? Ada di tempatku
sekolah TK tidak mau menerima anak yang lumpuh. Hanya lumpuh saja. Kadang kita merasa geregetan / tidak mau menghargai guru karena bersikap seperti itu

Semua sepakat kan ya, bahwa pekerjaan seorang bapak/ibu guru itu adalah pekerjaan yang berat. Dia harus mengajar sekian puluh orang, dibatasi waktunya, didesak oleh tuntutan kehidupan pribadinya sendiri, dibatasi oleh silabusnya dan target pengajaran, dan tuntutan materi pelajaran.

Guru itu manusia biasa. Kita tidak bisa menuntut semua guru harus sempurna. Karena biar bagaimana pun, masalah dan keterbatasan yang dia miliki itu tidak sama orang per orang. Dan demikian juga dengan kepribadian atau karakter dari sosok guru itu sendiri. Ada guru yang memang tegar dan mampu menjalankan multi tasking dan banyak tekanan; tapi ada guru yang tidak bisa menjalani kehidupan dengan multi tasking dan banyak tuntutan.

Jadi menurutku sih wajar jika ada guru yang menolak untuk menerima beban tambahan baru dalam menjalankan tugas-tugas yang menjadi kewajibannya. Karena, memang harus diakui bahwa ada anak-anak spesial yang mungkin bagi sebagian orang dianggap sebagai sebuah masalah kecil; tapi bagi orang lain dianggap sebagai masalah yang tidak kecil.

Di sekolah anakku yang sulung ketika dia masih Sekolah Dasar dahulu, pernah ada seorang anak yang mengalami serangan polio ketika masih kecil sehingga kedua kakinya lumpuh dan mengecil. Kebetulan, dia juga berasal dari keluarga menengah ke bawah. Jadi, memang tidak ada pilihan selain harus masuk sekolah negeri (karena sekolah swasta yang khusus diperuntukkan bagi anak penyandang cacat memang lebih mahal). Setiap harinya, selalu muncul masalah-masalah tak tertangani dari anak tersebut. Seperti ketika guru sedang mengajar di depan kelas, tiba-tiba anak ini ingin buang air besar atau buang air kecil. Atau ketika kelas sedang melakukan ujian. Hal-hal sepele ini mungkin tidak terpikir oleh mereka yang merasa tidak puas dengan keputusan sekolah menolak menerima murid spesial yang bisa berbaur dengan murid lainnya. Kebetulan, karena aku setiap hari antar jemput anak sekolah dan kadang ikut menunggui anakku, aku menyaksikan anak yang lumpuh tersebut harus pulang ke rumah setiap hari dengan rok yang bau pesing karena jarak kamar mandi yang cukup jauh dari kelas dan jongkok pula WC-nya. Orang tua anak ini belum tentu bisa menjaga anaknya setiap hari karena mereka biasanya harus bekerja mencari nafkah.

Karena pernah melihat sendiri hal-hal seperti ini, maka aku tidak bisa menyalahkan guru atau sekolah yang mengeluarkan keputusan untuk menolak menerima anak dengan kebutuhan khusus. Meski tetap saja prihatin dengan keputusan tersebut.
Dan aku amat tinggi memberi apresiasi pada sekolah dan guru yang mampu menangani anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah mereka dan membuat anak-anak ini tumbuh menjadi pribadi yang penuh percaya diri dan mampu membaur dengan lingkungannya tanpa ada perbedaan.

Itu sebabnya, mendapatkan seorang guru yang "cocok dan enak" itu benar-benar sebuah rezeki tersendiri bagi siapa saja.
Termasuk disini adalah:

Mendapatkan sekolah yang "cocok dan enak" itu juga benar-benar sebuah rezeki tersendiri bagi siapa saja.  
Aku sendiri, selama guru itu tidak melanggar prinsip-prinsip yang aku pegang dalam pendidikan anak-anakku, aku amat mentolerir semua perilaku dan cara seorang guru mengajar anakku. Tapi, aku dan orang lain tentu berbeda dalam memandang apa itu prinsip dan garis keinginan yang ingin dijalankan dalam mendidik anak-anak kita. Pada beberapa orang, ada yang pada akhirnya memutuskan untuk mendirikan Sekolah Rumah saja sebagai alternatif dalam mendidik anak-anak mereka.  Inilah bentuk-bentuk dari Home Schooling.

Beberapa temanku, mendirikan sekolah rumah tersebut. Terlepas dari berbagai macam latar belakang mengapa mereka memutuskan untuk mendirikan Home Schooling alias Sekolah Rumah. Salah satu dari Home Schooling yang didirikan oleh temanku adalah Home Schooling atau Sekolah Rumah Saladeen Camp -nya Mak Irul. Nama Facebooknya; Siti Hairul Dayah.

Beberapa hal yang menarik dari apa yang dilakukan oleh Mak Irul dalam Home Schooling ini adalah:


1. Dia memiliki silabus bahan pengajaran untuk ke 6 orang anaknya yang berbeda usia. Ini luar biasa sekali nggak sih? Artinya, tidak ada tumpang tindih pelajaran antara anak satu dengan anak yang lain (anaknya bukan 1 atau 2 loh... tapi 6).

ini contoh silabus bahan pengajaran bagi anaknya yang berusia 6 tahun. Detil sekali

2. Dia juga serius dalam mengembangkan minat dan bakat tiap-tiap anaknya.
Jadi, ada anaknya yang gemar olah raga. Maka dia dukung kegemaran anaknya hingga mampu berprestasi di ajang yang lebih luas dan bersanding dengan anak-anak yang berasal dari sekolah biasa.

3. Dia juga serius dalam memberi fasilitas yang dibutuhkan anak-anaknya. Seperti ketika anaknya butuh surat pengantar dari instansi sekolah untuk mengikuti sebuah pertandingan, Mak Irul membuat surat pengantar tersebut dan surat pengantar itu bukan surat pengantar tidak resmi. Surat pengantar itu adalah surat pengantar resmi (baca: Surat Rekomendasi Anak-anak).

4. Dan terakhir, Mak Irul juga serius dalam mensejajarkan Home Schoolingnya agar bisa sejajar dan sederajat dengan sekolah biasa. Jadi, dia mengikut sertakan anak-anaknya untuk memiliki ijazah (ada juga anaknya yang akhirnya memutuskan untuk tidak memiliki ijazah), mengikut sertakan anak-anaknya dalam kegiatan ekstra kurikuler yang berguna sebagai pemberi tambahan ketrampilan hidup bagi anak-anaknya. Dan Mak Irul dan suaminya kompak untuk merencanakan biaya-biaya yang dibutuhkan oleh Home Schooling mereka (baca: Berapa Biaya Home Schooling). Artinya, mereka mendirikan home schooling bukan karena latar belakang tidak mampu secara ekonomi/waktu/energi/latar belakang pendidikan bagi anak-anaknya. Tapi karena keinginan untuk memberikan pendidikan alternatif selain sekolah formal bagi anak-anak mereka.

Semua hal-hal ini. membuatku merenung tentang makna: Ibu adalah madrasah bagi anak-anaknya.
Mungkin... ini hanya mungkin ya.
Jika semua perempuan diberi kesempatan untuk full time menjadi ibu tanpa harus memikirkan hal lain yang mengharuskan dia untuk keluar dari rumahnya dan ikut membantu mencari nafkah; mungkin semua perempuan memang punya kemampuan untuk menjadi guru yang amat baik bagi anak-anaknya.

Terus... kenapa aku memilih untuk menyekolahkan anakku di sekolah formal bukannya di home schooling? Kita bahas di tulisan berikutnya saja ya.
Tetap mengikuti ya.

13 komentar

  1. Saya memang salut dengan Mbak Irul
    Kapan-kapan harus ke Jogja melihat aksinya yang nyata...

    BalasHapus
  2. Mendapat seorang guru yang "cocok dan enak" itu benar-benar sebuah rezeki tersendiri bagi siapa saja. bener kok mbak, dulu pas aku sekolah juga banyak siswa yg terkenal bandel tapi ketika dy menemukan guru yang cocok dengan metode pembelajaran yang pas sama mereka terbukti mereka menurut mau mengerjakan tugas2 yang dikasih...

    BalasHapus
  3. waw, ada silabusnya juga ya, mba ade. aku baru tahu loh. kirain hanya disesuaikan aja dengan keinginan si anak. misal lagi pengin belajar matematika, nanti dimulai. hehe. salut sama mak irul, anaknya home shooling semua.

    BalasHapus
  4. Menjadi guru itu ngga susah, tapi menyenangkan. Itulah kenapa, saya bertahan jadi guru meskipun berulang-ulang dapat tawaran kerja di balai psikologi dg gaji yg lebih besar.

    Enaknya, pas lagi bete banget, atau lg stuck, ketemu sama murid-murid. Lihat tingkah mereka aja, kadang udah bisa bikin ketawa. Apalagi pas disapa atau pas guyon bareng.

    BalasHapus
  5. Aku pingin juga full time sebagai ibu. :( Mungkin bisa home scholling.

    BalasHapus
  6. Kalau buatku, menjadi guru itu susaaaaah... Ibu yg mau jd full guru utk anaknya, harus sekolah guru biar tau cara2 ngajarinnya gimana. Sementara kita kan sekolahnya macam2, bukan sekolah guru. Kalau guru di sekolah, mereka punya pendidikan guru, misalnya UNJ. Full time mom belum tentu bisa jd guru utk anak2nya, apalagi ditambah dgn pekerjaan rumah tangga bejibun. Makanya berharap Mak Irul sendiri yg nulis gimana mengatur supaya kerjaan sbg guru anak2 & urusan rumah tangganya beres. Kecuali kalo ada rewang (pembantu rumah tangga) di rumahnya. Ibu memang madrasah, tp ya gak mesti semuanya ibu yg ngajarin. Orang2 salaf juga belajar dari para ulama.

    BalasHapus
  7. Btw, template blognya kok balik lagi ke bawaan blogger, mbak?

    BalasHapus
  8. baca tulis, mengaji aku yang mengajarkan sendriri sebelum sekolah. Aku belum mampu kalau HS

    BalasHapus
  9. subhanallah, kereeen, saluut, saya aja masih harus banyak stok sabar dan ilmu utk ngajarin anak di rumah :)

    BalasHapus
  10. Mahal ga mba biayanya HS :) kalau saya selain belajar di bimba anak saya juga tiap hari selalu usahain ngajarin sendiri, mulai dari membaca & ngaji

    BalasHapus
  11. Sampe sekarang aku masih belum bisa berani untuk HS. Akunya yg masih cemen. >___<

    BalasHapus
  12. Silabusnya HS nya keren banget, ini juga bisa dilakukan oleh ibu dengan balita yang belum usia sekolah, kalau mau mencoba ya Mbak Ade

    BalasHapus