Kisah Bunga di Tepi Jalan

[Parenting]: Beberapa bulan lalu, bersama dengan putriku yang bungsu, Hawna, aku memungut serumpun bunga liar. Yaitu tanaman yang dikenal dengan nama Tapak Dara. Tanaman ini, tumbuh di pinggir jalan begitu saja. Sepertinya sih tidak ada seorang pun yang menanamnya dengan sengaja di sana. Karena, tanaman ini tumbuh di sela-sela jalanan aspal yang merekah. Tunas tumbuh begitu saja dari rekahan aspal yang memperlihatkan tanah.




Tunas yang nekad.
Tanaman yang gigih.
Matahari yang menghangatkannya.
Hujan yang menyuburkannya.
Angin yang membesarkannya dengan belaian lembut penuh kasih sayang.
Tanaman ini pun, tumbuh subur dan merimbun. Bahkan meski tempatnya tumbuh adalah di tepi jalan. Dimana tidak ada seorang pun yang memperhatikan keberadaannya. Dan mungkin tidak ada seorang pun yang menyadari keindahan bunga-bunga yang dipamerkannya.

"Untuk apa bu kita mungut dia?"
"Mau ibu pindahin ke halaman depan rumah kita. Kan halaman kita masih sepi, belum ada tanaman bunga disana. Biar halaman rumah kita jadi cantik."

Alasan ini cukup membuat anakku bersemangat. Hati-hati dia mencabut serumpun tanaman bunga di pinggir jalan tersebut. Lalu kami pulang ke rumah dengan naik mikrolet.

Matahari bersinar terik dan jalanan macet seperti biasa. Membuat tanaman yang tercerabut yang ada di dalam genggaman putriku terlihat mulai pucat. Aku menyentuh kelopak bunga tapak dara yang semakin terlihat pucat karena kurang air dan kurang udara.
"Sabar ya... sebentar lagi kamu sampai di rumah baru."

Melihat hal ini, putriku ikut-ikutan memberi semangat pada rumpun tanaman Tapak Dara tersebut, di sepanjang perjalanan kami yang terasa lama. Setibanya di rumah, rumpun tanaman Tapak Dara benar-benar sudah layu dan seperti ingin mati.

Aku dan putriku cepat-cepat menggali lubang, membuat lubang itu lembab dengan air lalu perlahan mulai menanam tanaman yang kami pungut tersebut.

Lagi-lagi, putriku mengajak tanaman tersebut ngobrol.
"Nih, ini rumah baru kamu. Tumbuh yang subur ya. Jangan mati."

Lalu aku dan putriku sejak hari itu mulai rajin menyiramnya. Sambil berdoa agar tanaman ini tidak mati.

Hari pertama: layu.
Hari ke dua: tetap layu.
Hari ke tiga, empat dan lima: tetap layu.

Oh. Bertahanlah tanaman kecil.

"Hei.. ayooo.. semangat.. tumbuh dong. Jangan layu terus. Ayoo.... semangat." Aku dan putriku bergantian memberi semangat pada tanaman yang sedang berusaha ditumbuhkan tersebut. Kami memang mengajak tanaman tersebut ngobrol, disamping menyiramnya dengan rajin serta tidak lupa memberinya pupuk tanaman.

Lewat 2 pekan, tanaman ini mulai bisa tegap berdiri. Daun-daunnya mulai tidak lagi tergulung. Mekar memperlihatkan urat-urat daunnya. Memang tidak ada bunga, karena satu persatu bunganya telah rontok seiring dengan perjuangan tanaman ini untuk tumbuh.

Tidak mengapa. Tidak mengapa tidak berbunga. Kesuburan daun-daunnya sudah begitu menggembirakan. Siapa yang menyangka, rumpun yang kami pungut dari tepi jalan, membawanya dengan menggenggam tanpa media tanah atau air, bermacet-macet ria, berpanas-panasan, lalu sekarang bisa tumbuh subur. Itu sesuatu yang luar biasa bagiku dan putriku.

Lalu lewat 2 bulan, gerombolan bunga mulai bermunculan di sana sini.
Aih. Cantik sekali. Masya Allah.




"Bu... nanti jika ada tanaman liar lagi, kita pungut dan pelihara lagi yuk." Putriku makin bersemangat.

Pada putriku, aku bercerita bahwa kehidupan itu sesungguhnya milik Allah. Kekayaan, keindahan, kemewahan, kesehatan, kepandaian, ketenaran, seluruhnya dimiliki oleh seseorang karena pemberian dari Allah. Pada mereka yang mau berusaha dan berniat di dalam hatinya, Allah akan mewujudkan niatnya tersebut. Pada mereka yang terpilih, Allah akan mengirimkan bantuan untuk menutupi semua keburukan, atau membantu menonjolkan kebaikannya di mata orang lain. Itu sebabnya kita harus memperbaiki niat kita dalam melakukan segala sesuatunya.

Jangan berhenti di niat saja. Tapi juga usaha. Karena kesempatan itu bisa diraih melalui sebuah usaha. Seperti halnya tanaman yang kami pungut di pinggir jalan. Ada kemauan untuk tumbuh, ada usaha untuk menumbuhkan dan ada takdir yang memberikan kesempatan untuk itu. 3 hal yang berkolaborasi dan saling bekerja sama.

"Tapi itu nungkin karena pas kita pungut tanamannya memang bagus sih bu. Coba kalau kita pungut dari tempat yang jelek dan tanaman itu sudah mau mati. Mungkin dia bakalan mati juga."

Aku tidak berkata apa-apa. Tapi, keesokannya harinya aku sengaja berjalan menuju tempat pembuangan sampah liar yang ada di tepi rel kereta api. Beberapa waktu sebelumnya, rasanya aku melihat rumpun tanaman Tapak Dara tumbuh di sana. Dan benar juga. Disana rumpun Tapak Dara tampak begitu mengenaskan.


Meski demikian, aku nekad. Tetap memungut satu buah rumpun tanaman Tapak Dara tersebut dan membawanya pulang. Lalu kembali aku menanamnya di halaman depan rumahku. Menyiramnya. mengajak ngobrol sekedar untuk memberi semangat agar dia tumbuh dengan baik dan tidak mati, hingga akhirnya... tanaman itu tumbuh subur di halaman depan rumahku.
Alhamdulillah.

Lalu ketika aku kembali ke tempat pembuangan sampah, rumpun tanaman Tapak Dara yang lain sudah musnah hangus terbakar terik matahari musim kemarau.

Berarti, rumpun yang aku pungut itu adalah keluarga terakhir yang bertahan. Terbit rasa banggaku karena sudah berhasil menyelamatkan rumpun keluarga tanaman Tapak Dara yang tumbuh liar. Hingga suatu hari, tanpa sengaja aku bertemu dengan tanaman liar lain yang tumbuh di dinding sebuah parit yang kering kerontang.


Ah.
Bagaimana mungkin aku bisa lupa, bahwa kekuasaan Allah masih menggenggam seluruh kehidupan di atas permukaan bumi ini.
Coba lihat bunga tanaman tersebut. Dia tumbuh subur meski tidak ada yang memeliharanya. Lalu, atas dasar apa aku berani mengklaim bahwa karena jasaku maka tanaman yang aku pungut tumbuh subur di halaman depan rumahku?
Duh. Sombongnya.
Astaghfirullah.

Dari sini, aku lalu teringat sesuatu. Bahwa keberhasilan anak-anakku yang dipuji orang lain itu, bukan karena seluruh jasa bimbingan dan asuhan yang telah aku berikan selama ini. Tapi terjadi karena kasih sayang Allah pada keluarga kami. Rasanya, terlalu sombong jika kami meng-klaim bahwa kami sudah berhasil menjadi orang tua yang baik.

Tidak. Sekali-kali tidak.
Yang terjadi adalah, kami, sedang diberi kesempatan oleh Allah untuk menjadi orang tua. Lengkap dengan segala tantangan dan ujian yang menyertai peran dan tugas sebagai orang tua. Dan anak-anak adalah amanah untuk melengkapi tugas dan peranan tersebut.

Apakah kesempatan untuk meraih pahala ibadah sebagai orang tua yang baik bisa kami raih? Itu yang harus terus diusahakan.
Apakah kesempatan untuk meraih pahala ibadah sebagai orang tua yang mampu memelihara amanah yang diberikan? Itu pula yang harus terus diupayakan.
Dan terakhir, apakah kesempatan untuk menjadi orang tua yang baik hanya dimiliki oleh mereka yang punya anak-anak kandung saja? Hmm... mungkin pengalaman memungut tanaman yang kami lakukan bisa mejawabnya. Ini adalah masalah: "Apakah kita bersedia melihat kesempatan dan mau menerima amanah dari Allah.".

Apapun itu, jangan sombong. Dan jangan cepat berbangga hati (*nasehat untuk diri sendiri ini). Karena. bunga yang tumbuh di tepi jalan itu telah memberi pelajaran berharga; bahwa kehidupan dan segala macam warna yang menyertai kehidupan itu sendiri,   berada di dalam genggaman kekuasaan Allah.
Subhanallah.

19 komentar

  1. Menebar kebaikan bukan hanya baik bagi orang lain tetapi juga baik bagi diri kita.
    Salam hangat dari Jombang

    BalasHapus
  2. Bunga di tepi jalan alangkah indahnya
    jadi ingat lagunya SE7 :D

    BalasHapus
  3. dari sekuntum bunga saja bisa jadi pembelajaran ya mbak, makasih ya sharingnya

    BalasHapus
  4. Salut sama ketelatenan bunda ade dan puterinya yang piawai merawat bunga-bunga yang awalnya terbuang begitu saja :)

    BalasHapus
  5. Setuju banget mba. Jadi banyak belajar dari cerita ini neh. Terima kasih sharingnya mba.

    BalasHapus
  6. Mendidik anak tak harus identik dengan akademik.. mengajarkan peka terhadap lingkungan dengan belajar menanam, merupakan salah satu cara mendidik anak yang menurut saya wajib diterapkan. Oh ya itu bunga apa ya mbak? waktu kecil saya sering menemuinya. sekarang sudah tidak

    BalasHapus
  7. Jadi ingat lagu "bunga di tepi jalan", siapa yang menanamnya tak seorang pun mengira. :)
    Kalau bunga itu bisa bicara, mungkin mereka akan berterima kasih pd Mak Ade dan kk Hawna. ;)

    BalasHapus
  8. waaahh terus nanem ya mbak... semoga makin hijau dan hijau mbak... kita perlu banyak penghijauan mbak..... saya dukung mbak ade anita dah... hehe.. semoga Allah terus ijinkan kita berwarna hingga bebrunga indah mbak aamiin...

    BalasHapus
  9. jadi inget lagunya S07, tapak dara bunga yang sering tak petik Mbak, sepanjang jalan bermain degan putik sarinya. Hm...jadi berwarna warni halaman depannya ya Mbak, ciptaan Allah sungguh indah dan mengajarkan kepada si kecil menjadi sebuah bonding yang kuat y,

    BalasHapus
  10. Ternyata dari sebatang pohon pun kita bisa belajar dan memberi pelajaran buat anak-anak kita ya, mbak. Terus berbagi inspirasi ya..mb Ade

    BalasHapus
  11. ini yg posting niat banget ,foto bunga di tepi jalan wkkwkwk :3

    BalasHapus
  12. Jadi banyak bunganya ya, Buuuu. Ungu pink baguuus. Disiram terus ya Hawnaaa. Biar tumbuh makin banyak.

    BalasHapus
  13. Seperti halnya, jgn memandang remeh pada org lain ya, bu. Aku suka banget sama tulisan ini.
    Mengajak ngobrol tanaman jg jd semacam terapi untuk diri sendiri.

    BalasHapus
  14. Karena biasanya, apa yg ada di pikiran anda belom tentu terjadi pada org yg anda kira

    BalasHapus