Irit Tidak Sama Dengan Pelit Beda Dengan Miskin

[Lifestyle: Perencanaan Keuangan]: Ceritanya, aku habis blogwalking ke blognya Mbak Rahmi Azizah  dengan blog Mak Irit-nya. Dia menulis tentang Tips Menawar Harga Barang.

Membaca tulisan Mak Irit, aku langsung teringat kisah-kisah ketika menawar barang yang dialami oleh orang-orang sekelilingku.



1. KAUS KAKI SEPULUH RIBU TIGA


Jika sedang berjalan-jalan ke mall atau di emperan mall, pernah nggak lihat penjual kaus kaki? Penjual kaus kaki tuh tersebar di  banyak tempat. Ada yang berbentuk gerai kaus kaki murah meriah di selasar Mall, atau kaus kaki premium di gerai kaus kaki.

Tidak jarang, para pedagang kaus kaki ini meletakkan tulisan Rp10.000 dapat 3.

Untuk mereka yang corak kaus kakinya memang suka dengan yang itu-itu saja, pilihan untuk membeli obral kaus kaki ini boleh-boleh saja. Atau untuk anak sekolah yang sering memakai kaus kaki dengan cara brutal (jadi main tarik saja seakan memakai celana pendek). Karena, berapapun harganya sama saja bagi mereka: cepet rusaknya.

Tapi bagi mereka yang memperhatikan model dan corak, mending jangan beli yang obralan ini deh (saranku). Karena tidak banyak memang model dan corak yang ditawarkan oleh kaus kaki obral ini.

Waktu aku sekolah dulu, karena sekolah mengharuskan memakai kaus kaki warna putih, maka suatu hari, uwakku melewati tukang obral kaus kaki ini. Waktu itu, karena aku sudah menemani uwakku berobat di rumah sakit (yang antrinya dari pagi hingga menjelang sore) maka ceritanya uwakku ingin memberiku hadiah kaus kaki. Jadi, mampirlah beliau di tukang kaus kaki obral.

"Berapa?"
"Itu sudah ada banderolnya. Sepuluh ribu tiga deh. Nggak mahalin."

Uwak lalu asyik memilih milih. Setelah mengumpulkan timbunan kaus kaki yang akan dibeli, uwakpun mulai menawar.

"Nih... saya beli 6. Sudah, sepuluh ribu enam saja ya."

Aku yang sedang jongkok di samping uwak langsung terperajat. What? Uwak menawar setengah dari harga yang sudah diobral?!?.... duh. Langsung saja aku berdiri dan berjalan agak menjauh.
hahahahahaha.

Seterusnya, proses tawar menawar berjalan amat alot (ya iya lah!). Hasilnya, tidak ada kesepakatan karena uwak bersikeras 10.000 harusnya dapat 6.

Eh... di atas ini foto salah satu kaus kakiku yang coraknya belang-belang. Ini cuma gambar saja sih, tidak ada hubungannya dengan cerita kaus kaki sepuluh ribu tiga ini. hehehe

2. Satu Juta 

Lain lagi saudaraku. Ketika aku tinggal di suatu tempat yang tidak bisa disebutkan namanya, saudaraku datang berkunjung. Sebagai tuan rumah, aku pun menawarkan jasa untuk menemaninya berbelanja. 

Kami mampir ke sebuah pasar yang menjual produk-produk import. Saudaraku dengan terampil memilih-milih dan bertanya pada penjualnya:

"Berapa?"
Lalu penjual itu menyebutkan sebuah harga yang jika di-kurs rupiahkan menjadi satu juta rupiah. 

Saudaraku langsung membuka dompetnya, mengambil uang dan... membayarnya tanpa adegan tawar menawar sedikitpun.
What??

Aku terkejut. Kenapa tidak menawar?
"Saya suka barangnya. Jadi ya langsung bayar saja deh daripada direbut orang." (padahal di sekeliling kami sepi dan... barang sejenis ada banyak di toko yang lain).
"Tapi nggak papah lagi nawar. Di depan juga ada pilihan warna dan model lain loh. Mending lihat-lihat dulu deh. Dan tetap, jangan lupa menawar sih."
"Ah, nggak apa-apa. Sekalian bagi-bagi rezeki."

Duh... aku menoleh ke arah pedagang tadi. Dia sedang tersenyum sendiri. Menurutku sih harganya kemahalan.

3. Nol Rupiah

Lain lagi kejadiannya ketika aku pergi dengan ibuku ketika aku masih SMP dulu. Ibu membawaku ke toko barang-barang kerajinan tangan dari kerang. Begitu masuk, ibu langsung memintaku untuk memilih barang yang aku suka. 

Wah. Siapa sih yang nggak suka shopping? Aku langsung menjelajah seluruh sudut toko dan mulai asyik memilih-milih barang. Mempertimbangkan barang satu dengan barang yang lain, dan akhirnya memutuskan apa yang ingin aku beli.

Setelah itu aku berikan barang itu pada ibuku. Ibu mengambilnya, mengamatinya dengan seksama, lalu meletakkan barang tersebut kembali ke tempatnya. Lalu menggamit tanganku untuk meninggalkan toko tersebut.

What???
Nggak jadi beli? Terus... terus... ngapain coba aku disuruh milih yang aku suka kalau cuma ditaruh lagi barangnya? Dalam kondisi bingung, ibu akhirnya mengajakku masuk ke pasar tradisional yang menjual bahan dasar produk yang sudah aku pilih tadi.

"Nih, De. Daripada kita boros beli barang yang mahal itu. Paling beli satu, sebulan juga bosan. Tadi kan kamu sudah lihat barangnya. Nah, ini bahan buat bikin barang itu. Ayo, mending kita beli bahan mentahnya, terus kamu bikin sendiri saja di rumah. Bikin beberapa, terus jual. Ayo."

Huhuhuhu.... akhirya, terpaksa aku setengah hati memilih aneka biji kerang berbagai ukuran, lem, peniti, jepitan. Di rumah, aku dan ibu mulai meronce sendiri aksesoris tersebut. Minggu depannya, aku bawa aksesoris buatanku itu ke sekolah dan mulai menawarkannya pada teman-teman. Eh... laku.
hahahahaha.
Akhirnya, aku bisa punya aksesoris dengan nol rupiah dan malah dapat untung.

Kesimpulannya:

Jadi, kalian pilih mana? Mau memiliki barang dengan cara menawar dengan harga semurah mungkin, atau membelinya dengan harga tertinggi atau membuat sendiri?

Irit itu tidak sama dengan Pelit loh. Irit itu adalah, berusaha mengeluarkan biaya seminim mungkin untuk mendapatkan barang yang berkualitas. Jadi, terjadi perencanaan keuangan dengan tujuan agar dengan biaya serendah mungkin bisa didapat barang dengan kualitas setinggi mungkin.

Sedangkan Pelit adalah, berusaha mengeluarkan biaya seminim mungkin, perencanaan keuangan yang ketat, dan tidak peduli pada kualitas barang yang akan didapat.

Irit bisa menyebabkan penghematan. Ada pemangkasan biaya, perencanaan keuangan, pengaturan ulang keuangan, evaluasi kegunaan dan pada akhirnya menghasilkan pengeluaran biaya yang rendah. Tapi kualitas yang didapat tidak mengalami penurunan yang frontal.

Sedangkan Pelit, terjadi pemangkasan biaya memang, juga penghematan, perencanaan keuangan, pengaturan ulang keuangan, evaluasi kegiatan hingga menghasilkan pengeluaran biaya yang rendah. Tapi, di saat yang bersamaan terjadi penurunan kualitas barang atau jasa yang digunakan. Kadang, penurunan tersebut amat frontal. Mencolok. Istilah sekarang: lebay.

Segala sesuatu yang lebay biasanya tidak bagus sih.

Lalu, apakah irit dan pelit itu dekat dengan kemiskinan? Belum tentu. 
Mereka yang melakukan pengiritan alias penghematan, bila dilakukan dengan perencanaan yang seksama, maka penghematan ini justru bisa membawa mereka pada kesejahteraan.

Sebaliknya, mereka yang berperilaku pelit, meski dilakukan selama bertahun-tahun, belum tentu akan membawa mereka pada kesejahteraan loh. Yang terjadi adalah: si miskin yang tinggal di dalam istana. Jadi, meski mereka tinggal di dalam istana tapi tetap saja mereka tetap merasa tidak punya apa-apa dan tidak bisa menikmati macam-macam.

Kasihan kan?

9 komentar

  1. meskipun suka sama barangnya,setidaknya rumus tawar menawar itu perlu kalo buat saya hahaha....

    BalasHapus
  2. kalau untuk urusan bargaining saya kadang alot, ya udah mengikut arus deh bunda Ade, apalagi saya tipe yang pengin praktis. Kalau bisa dapat barang jadi, kualitas okay dengan harga ekonomis :)

    BalasHapus
  3. Kalau untuk kaos kaki sepuluh ribu tiga, aku nggak akan nawar lagi. Beli aja :D

    BalasHapus
  4. masih suka males nawar... Soalnya kadang suka nyesel abis nawar. Jadi penjual bilang 10rb. Aku tawar 5rb eh, langsung dikasih... Jadi curiga, jangan2 sebenarnya 3rb aja dapet... (hhahahah...)

    BalasHapus
  5. Ah iya bener, ada loh orang yang uangnya banyak tapi pelit, merasa kurang terus, uang 500 rupiah aja ilang dicari, dan perhitungan banget deh dengan uang. Jadi nggak bisa nikmati ya seperti si miskin dalam istana.

    BalasHapus
  6. Kalau kaos kaki buat sekolah anak2ku sih yg penting stock banyak, jadi aku sering beli grosiran atau paketan isi banyak gitu. Warnanya cuma putih dg telapak hitam.

    BalasHapus
  7. Waah mba Ade maap baru mampir kemari. Aku suka nawar meski hanya iseng udah tahu barang itu ngga bisa ditawar, kaya udah otomatis aja gt keluar dr mulut hahaha.

    BalasHapus