Sekolah Impian: Sekolah Dengan Mindset Positif

[Parenting] 3 Orang putriku, bersekolah di sekolah dasar  yang berbeda-beda. Bukan karena kami hidup berpindah-pindah hingga ketiga anak-anak kami juga ikut berpindah tempat tinggal. Sejak menikah hingga sekarang, rumahku tidak berubah, tetap sebuah daerah di wilayah Jakarta Selatan. Kami memang sudah memiliki rumah sendiri jadi belum berkeinginan untuk berpindah ke tempat lain. Jika pun kami harus pergi ke luar kota, maka selalu kembalinya ke rumah dan daerah ini kembali. Itu sebabnya pilihan sekolahnya pun tetap di daerah sekitar rumah.


Sebenarnya ada banyak sekali sekolah dasar di daerah lingkungan rumahku. Bahkan bisa dikatakan, lingkungan rumahku dikepung oleh beberapa sekolah dasar negeri. Tapi, ada beberapa pertimbangan yang membuat kami akhirnya memilihkan sekolah dasar yang berbeda-beda pada anak-anak kami. Pertimbangan yang lebih didasari oleh sebuah keinginan, bahwa kami ingin anak-anak bisa merasakan belajar di sebuah sekolah impian.

Apa itu sekolah impian? Apakah sebuah sekolah seperti Hogwart yang dimiliki oleh Harry Potter? Tentu saja bukan. Sekolah impian yang ada dalam pemikiranku dan suami adalah sekolah dimana lingkungannya mengajarkan pada anak-anak kami sebuah mindset yang positif. Dia tidak harus memiliki kelengkapan fasilitas, atau ditunjang dengan bangunan yang megah, atau dengan berbagai kemewahan yang hanya membuat biaya untuk bersekolah di sana menjadi amat tinggi.  Karena sekolah adalah tempat semua anak bisa mendapatkan ilmu dan pengalaman yang berguna untuk masa depan mereka kelak. Dan itu artinya satu, yaitu anak bisa bersekolah di mana saja. Atas dasar pemikiran inilah aku dan suami berpatokan bahwa anak tidak harus bersekolah di satu sekolah dasar yang sama. Kami juga tidak mengharuskan bangunan sekolahnya harus bagus (meski jika ternyata mendapat bangunan yang bagus pada akhirnya, itu adalah bonus).

Aku pernah merasakan mendidik anak-anakku home schooling selama 4 bulan ketika aku dan anak-anak terpaksa mengikuti suami tugas ke luar negeri. Semua materi pelajaran sekolah bisa aku berikan pada mereka. Aku buat jadwal pelajaran dan berusaha untuk disiplin dengan waktu belajarnya. Bahkan aku juga berusaha untuk menjelaskan praktek dari teori-teori yang mereka dapatkan dari buku pelajaran yang kami pelajari. Anak-anakku belajar dengan cepat sistem home schooling ini. Dengan cepat mereka mencerap pelajaran, lalu mengevaluasi hasil cerapannya dalam test yang aku berikan dan hasilnya memuaskan. Tapi; ada yang hilang dari sistem home schooling ini.  Yaitu, anak-anakku, tidak bisa belajar bagaimana rasanya ketika mereka harus menghadapi persaingan dengan orang lain, bagaimana mengembangkan rasa toleransi deengan orang lain, bagaimana mengembangkan empati, dan mereka pun menjadi tidak dapat mengikuti dan mengerti dinamika ketika bertemu dan bersosialisasi dengan orang lain. Inilah kekurangan dari home schooling yang aku rasakan. Semua hal-hal ini hanya bisa didapat di sebuah sekolah umum (atau khusus juga tidak mengapa, yang penting ada anak lain, orang tuanya, gurunya, pesuruh sekolahnya, tenaga administrasinya, lingkungan sekolahnya, kantinnya, kepala sekolahnya, kurikulumnya, bangunan sekolahnya, yang keseluruhannya membentuk sebuah masyarakat kecil. Karena sekolah adalah wujud dari masyarakat dalam versi mini).

Ya. Sekolah adalah wujud dari masyarakat dalam versi mini.
Bangunan sekolah, dia mewakili wilayah tempat masyarakat itu tinggal. Dia adalah teritori yang sah dimana sekolah akan melindungi semua warga sekolah dari pihak-pihak yang ada di luar bangunan sekolah.
Kurikulum sekolah mewakili tata peraturan sekaligus perundang-undangan yang mengatur  semua masyarakat (kita bisa berkehendak apa saja, tapi jika tata peraturan berkata A, mau tidak mau, kita harus ikuti jika tidak mau terkena sanksi).
Kantin sekolah mewakili dinamika kehidupan pasar dalam masyarakat.
Lingkungan sekolah mewakili lingkungan yang hidup dan bergejolak dan berdenyut di sekeliling masyarakat.
Petugas adiministrasi mewakili sistem birokrasi yang mengatur administrasi dalam masyarakat.
Pesuruh sekolah mewakili keberadaan orang-orang yang menjaga kebersihan dan kelengkapan perlengkapan yang dibutuhkan dalam masyarakat (dan ini penting; coba saja ingat demo para tukang sampah di wilayah Bandung beberapa tahuun silam yang membuat Bandung menjadi kota lautan sampah karena tidak ada satupun petugas kebersihan yang mau membersihkan sampah; padahal sampah setiap hari dihasilkan oleh semua orang).
Guru, orang tua murid, anak didik mewakili sosok dari masyarakat itu sendiri.

Nah, jika sebuah sekolah adalah wujud dari sebuah masyarakat versi mini, maka yang kita cari berikutnya tentu saja mencari sebuah sekolah dimana sebuah mindset positif dikembangkan disana. Mindset itu semacam cara berpikir dan bertindak dalam menghadapi sesuatu. Hal ini, sayangnya ternyata masih tetap menjadi impian semua orang karena sekolah ideal seperti itu sulit didapat. Mengapa? Karena, mindset positif itu dihasilkan justru oleh manusia-manusia yang ada di dalam lingkungan sekolah tersebut. Jadi bukan dibentuk oleh bangunan fisik sekolah, atau dihasilkan oleh kurikulum yang berlaku. Guru, kepala sekolah, setiap murid yang belajar di sekolah tersebut, petugas yang bekerja di sana, pegawai kantin, penjual jajanan, semua ikut berkontribusi membentuk mindset pada seorang anak didik. Inilah yang membuat aku memasukkan ketiga anakku untuk bersekolah di 3 sekolah dasar yang berbeda. Apalagi alasannya jika bukan karena aku belum mendapatkan sekolah impian yang aku inginkan. Meski demikian, aku dan anak-anak mendapat banyak pelajaran hidup yang berharga dari bersekolah di sekolah yang (belum) menjadi sekolah impian kami. Pelajaran hidup yang berharga inilah yang menjadi dasar pertimbangan kami seterusnya untuk mencari SMP dan SMA serta Perguruan Tinggi kelak.

Apakah sekolah dengan mindset positif yang kami maksud tersebut? Ya, sekolah impian versiku yaitu:

1. Sekolah yang amat minim bullying.
Rasa-rasanya, nyaris sulit untuk mengatakan sekolah bisa murni terbebas dari bullying. Karena, selama masih bercokol rasa iri, dengki, tidak puas, dan posesif, maka perilaku bullying akan muncul dan menimpa seseorang. Tapi, perilaku ini bisa diatasi dengan mengembangkan sebuah perilaku ikhlas dan keterbukaan.

2. Sekolah dimana ada rasa kasih sayang yang dikembangkan antara senior dan junior, serta guru dan murid.
Aku pernah menghadapi kasus berhadapan dengan guru yang materialistis. Prestasi anak bisa disesuaikan dengan materi yang diberikan oleh orang tua si anak pada dirinya. Ini tentu saja amat tidak sehat; karena secara tidak langsung guru tersebut sedang memberikan contoh betapa perilaku Korupsi, Nepotisme dan Kolusi bisa membuat kemakmuran pada seseorang; dan bahwa jabatan yang kita kuasai bisa memberikan pada kita kekuasaan tanpa batas. Untuk kasus seperti ini, tentu saja hal ini tidak bisa dibiarkan. Guru harus dihukum, bahkan meski dia adalah seorang penyandang gelar pahlawan tanpa tanda jasa sekalipun. Dan jangan pernah merasa takut meski kita berbeda dengan apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang.

JANGAN PERNAH MENJADI PIHAK YANG MELAKUKAN PEMBIARAN TERHADAP SEBUAH KETIDAK BENARAN.

Tapi, hal sebaliknya pun pernah aku temui. Dimana guru dengan penuh dedikasi tanpa pamrih, memberikan seluruh ilmu yang dia miliki pada murid-muridnya. Bahkan terkadang dia merogoh dari koceknya sendiri. Dan antara senior dan junior pun hidup bersisian saling sayang menyayangi. Junior yang tidak mampu dibantu oleh seniornya. Dan senior yang punya kekurangan tertentu dibantu oleh junior yang punya kelebihan. Lingkungan seperti ini sungguh nikmat sekali rasanya.Anak jadi belajar bahwa demikianlah sikap yang benar dalam bermasyarakat.

3. Sekolah dimana semangat kompetisi membuat semua orang sepakat untuk mengembangkan sebuah kerjasama positif.
Loh? Bagaimana bisa? Kan sedang berkompetisi, kenapa kerjasama?
Demikianlah apa yang aku pernah dapatkan ketika dulu sekali bersekolah di SMA 8 Jakarta. Semua orang sepakat untuk berkompetisi meraih hasil yang terbaik. SMA-ku ini berhasil membuat sebuah sugesti bahwa hasil terbaik bisa diraih oleh individu yang saling bekerja sama dalam sebuah team, bukan oleh mereka yang hidup menyendiri. Itu sebabnya aku bebas bertanya pada teman yang menguasai sebuah materi dengan santai. Dan ketika aku sudah mengerti materi tersebut, aku siap mengajarkan orang lain lagi agar tidak ada yang tertinggal di belakang. Hasilnya, kami semua bisa menguasai, dan hal ini menuntut ada kenaikan level untuk bisa menguasai materi di tingkat yang lebih lanjut. Demikian seterusnya hingga akhirnya tanpa terasa apa yang kami pelajari ternyata sudah melebihi kurikulum yang seharusnya diberikan di level kami.

ini bangunan SMA 8 jakarta sekarang (2014)

ini bangunan SMA 8 jakarta Tempo dulu (1995)

4. Sekolah dimana Ekskul yang diseelenggarakan di dalamnya adalah ekskul yang memberi pengalaman tambahan pada anak didiknya.
Terkadang, karena keharusan untuk menyelenggarakan sebuah ekstra kurikuler di sekolah, maka sekolah menyelenggarakan ekstra kurikuler sekedarnya saja. Sekedar memenuhi formalitas kelengkapan. Seperti ekskul Pramuka misalnya, yang sering di sekolah lebih terlihat seragamnya saja yang dipakai tapi kebermanfaatan dari Pramuka itu sendiri nihil.
Atau ekskul olahraga di sekolah yang pernah aku temui malah mengajarkan anak tehnik untuk berlaku tidak sportif. Padahal seharusnya olahraga mengajarkan sikap sportif. Dimulai dari kebijakan guru yang memberi nilai bagus pada anak yang ikut ekskul olahraga misalnya. Tentu saja ini tidak sehat sama sekali.
Sudah seharusnyalah sebuah ekstra kurikuler itu memberi tambahan pengalaman pada anak didik yang mengikutinya. Seperti aku yang aktif di kegiatan Pramuka ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar dahulu. Dari kegiatan Pramuka ini, aku belajar tentang aneka permainan yang melatih hal-hal yang tidak ada di buku pelajaran. Seperti belajar mencari jejak; belajar mendirikan tenda, belajar mandiri, dan sebagainya.

5. Sekolah dimana sekolah itu bisa memaksimalkan kebermanfaatan semua yang mereka miliki saat itu.
Ini juga sering terjadi. Dimana sebuah sekolah meminta sumbangan dari orang tua murid dengan alasan untuk melengkapi fasilitas yang tersedia di sekolah. Tapi, ketika fasilitas itu sudah terselenggara ternyata sekolah gagal untuk memaksimalkan kebermanfaatannya. Seperti misalnya memperindah Mushalla sekolah. Tapi, tidak ada upaya untuk menggerakkan anak didik agar rajin shalat dan memanfaatkan mushalla untuk menimba ilmu agama.
Atau melengkapi perpustakaan tapi akhirnya buku-buku tersebut hanya menjadi wadah untuk debuh  berkumpul saja.
Atau laboratorium yang lengkap tapi tidak dimanfaatkan untuk melakukan percobaan. Datang ke laboratorium cuma untuk membawa buku teks dan memperlakukan laboratorium hanya sebagai kelas yang berpindah saja. Ah... buat apa coba?

Nah, sebaliknya, aku pernah melihat guru  yang dengan cerdas bisa memaksimalkan kebermanfaatan (justru) keterbatasan yang dimiliki oleh sekolah. Buatku usaha ini luar biasa sekali. Karena anak jadi belajar, bahwa untuk mendapatkan hasil yang maksimal tidak harus dicapai dengan fasilitas yang amat lengkap.

6.  Sekolah dimana lingkungan anak-anaknya bertindak sesuai dengan usianya serta bertindak tidak keluar dari kewajaran.
Hmm, ada beberapa sekolah yang aku hindari untuk anak-anakku pilih ketika mereka ingin melanjutkan sekolah. Alasannya sepele:
- Murid-muridnya banyak yang terlibat perkelahian dengan sekolah lain
- Murid-muridnya banyak yang sering terlihat nongkrong di luar sekolah (bolos)
- Murid-murid perempuannya, banyak yang bertindak bagaikan cewek murahan di mall-mall
- Murid-muridnya banyak yang sudah fasih dalam hal berpacaran.

Memang sih, itu urusan orang lain selama kita bisa menjaga diri kita sendiri maka insya Allah hal-hal negatif tersebut tidak bisa terkena pada kita. Tapi.... biar bagaimana pun, masa anak-anak adalah masa belajar mengenal lingkungan. Lingkungan sekolah yang buruk, cepat atau lambat, sekuat apapun anak kita bertahan, akan tetap mencemari mindset anak kita. Memenuhi kurikulum pendidikan saja sudah lumayan berat, jika harus ditambah dengan beban menghadapi lingkungan sekolah yang buruk; duh... nggak deh.

Nah... keenam hal-hal di atas (tentu sebenarnya masih banyak lagi tapi tidak mungkin ditulis semuanya disini) jika digabung akan membentuk sebuah sekolah impian versiku: yaitu sekolah yang bisa mengembangkan sebuah mindset positif. 
Dengan sekolah impian seperti ini, aku dan anakku sepakat: kami bahkan menjadi begitu senang bisa bersekolah disana. Waktu sekolah yang lama, kegiatan yang seabreg, pelajaran yang sulit, nilai yang diberikan guru amat pelit, gedung sekolahnya kebanjiran, tidak lengkap perpustakannya, pokoknya... banyak rasa deh.... dan akhirnya semua tidak menjadi penting lagi. Karena semua bisa dinikmati, karena sekolah itu adalah sesuatu yang menyenangkan.

Tapi lebih dari itu, satu hal yang harus diingat adalah: ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya. Artinya, sekolah kehidupan pertama semua anak didapat dari ibunya. Jadi, sudah sebaiknyalah semua ibu memperhatikan kualitas dirinya agar bisa menjadi sekolah impian bagi anak-anaknya.

----------------
Tulisan ini diikut sertakan dalam Give Away Sekolah Impian



6 komentar

  1. Coba yang di Jalan KH Ahmad Dahlan (Jakarta Selatan, antara Majestik dan Radio Dalam), Bu. Lab School, kalau tak salah istilahnya begitu. :)

    BalasHapus
  2. Baru tahu kalau Mak Ade pernah menerapkan home schooling. . . :)

    BalasHapus
  3. ternyata caranya mudah untuk dipahami, makasih ya..!!!

    BalasHapus
  4. makasih atas informasihnya, good luck!!!

    BalasHapus