Liburanku: Mudik ke Sydney

Pada tulisan sebelumnya, aku menulis tentang berlibur di hari raya (bisa baca tulisannya di sini: Liburanku: Mau Kemana di Cuti Hari Raya?). Di tahun 2014 ini liburan hari raya plus liburanku terasa istimewa karena satu hal: ini sekaligus perjalanan napak tilas kembali ke tempat dimana aku pernah menghabiskan waktu beberapa saat disana: Sydney.

Lima bulan setelah menikah, suamiku berangkat ke Sydney dalam rangka meneruskan study Pasca Sarjananya. Dia berangkat sendiria karena aku sedang hamil waktu itu. Ada peraturan untuk mahasiswa penerima beasiswa bahwa jika mereka belum mencapai satu tahun berada di Sydney maka biaya melahirkan ditanggung sendiri. Wah. Biaya melahirkan di negeri sendiri saja mahal apalagi di negeri orang. Itulah sebabnya suamiku berangkat sendiri dan aku menyusul setelah melahirkan rencananya.

Tepat setelah bayiku berusia 3 bulan 2 minggu (karena perjalanan ke Sydney memakan waktu 7 jam di atas pesawat maka dokter memberi saran untuk membawa bayi jika sudah berusia 3 bulan lebih; dimana bayi sudah bisa berespon jika ada sesuatu yang tidak enak dengan badannya. Kalau masih bayi banget dan belum bisa apa-apa selain tidur-mimi asi-pup; jika terjadi sesuatu bayi cuma berespon diam terus tiba-tiba panas tinggi saja badannya. Repot kan? Nah.. jika sudah berusia di atas 3 bulan, jika terjadi sesuatu yang tidak pas dengan tubuhnya, bayi bisa menangis keras-keras sebagai penanda waspada) aku pun berangkat.

Aku berangkat bersama ibuku waktu itu. Dan asal tahu saja ya, waktu itu kebetulan ada seorang saudaraku yang bekerja di bagian cek in penumpang. Jadi... hehehehe... bawaanku yang sudah pasti over weight sama dia dilolosin semua. Dulu aku bawa box bayi dari plastik segala loh. Dan semua perlengkapan perang mengasuh bayi pertama dan semua lolos di kabin. Senangnya alhamdulillah.

Nah.. sekarang tentu saja keadaan berbeda. Ibuku sudah meninggal dunia dan saudaraku itu, lebih tepatnya saudara ipar, sudah bercerai dengan saudaraku jadi.... tidak bisa lagi nepotisme-nepotisme-an. Berarti.... semua bawaan harus benar-benar diperhitungkan masak-masak dong. Jangan sampai kelebihan berat di bagasi nanti. Malaysia Airlines, maskapai yang kami pilih untuk ke Sydney, membatasi batas maksimal hanya 30 kg untuk masing-masing orang.

Meski demikian tetap saja aku membawa 5 buah koper, dimana 3 adalah koper besar yang muat jika dimasukkan anak kuda di dalamnya dalam keadaan akrobat melihat ke empat kakinya dan menekuk kepalanya... serta 2 buah koper ukuran kabin. Serta 2 buah tas kain ukuran sedang yang bisa dilipat.
Waaa? Banyak sekali bawaannya?
Yup.
Karena memang sudah niat untuk membeli oleh-oleh dan buku-buku.

Suamiku adalah dosen. Jika ada kesempatan berkunjung ke luar negeri maka benda yang pasti dicarinya itu adalah: buku-buku literatur terkini yang bisa menunjang bahan pengajaran dia nanti. Buku-buku yang beredar di Indonesia sering tertinggal dari segi konten dan kekinian masalah yang disajikan. Jika pun ada maka bisa dipastikan dijual dengan harga yang amat mahal. Jadi, bisa membeli buku di luar negeri itu sesuatu yang luar biasa buat suamiku. Itu sebabnya koperku banyak.

Dua koper ukuran kabin, dimasukkan dalam dua koper ukuran bagasi tadi. Anak kudanya disuruh keluar dulu ya. hehehhe.
Lalu, dua buah tas kain yang bisa dilipat, dimasukkan dalam tas kabin.
Lalu.... bagaimana dengan baju-baju kami? Ya tentu saja diselipkan di tengah-tengah benda-benda tersebut.

Pada penasaran kan, apakah nanti pas pulang tidak semakin berjubel jumlah bawaan kami tersebut? Karena yang namanya buku-buku itu beratnya gak cuma sekilo dua kilo pasti tapi pasti berkilo-kilo.

Nah... ini strategi berikutnya.

BAWALAH:
1. Sendal jepit yang sudah jelek untuk sendal jepit jika mau ke kamar mandi. 
2. Baju-baju jelek untuk tidur malam.
3. Sendal-sendal rumah yang sudah butut atau dikit lagi mau rusak untuk berjalan di dalam ruangan.
4. Jangan bawa odol yang masih utuh tapi bawa yang sudah mau habis saja.
5. Jangan bawa shampo yang masih utuh tapi bawa yang sudah mau habis saja.
6. Jangan lupa bawa lakban, gunting, jarum dan benang ya.

Buat apa sih mereka semua? Buat:
1. Ketika pulang nanti, semua yang jelek-jelek dan butut-butut bisa kita buang di negeri orang sana. Gak usah dibawa lagi ke Indonesia. Eh.. eh... jangan marah, yang dimaksud jelek-jelek itu bukan kamu kok... iya.. bukan kamuuuu.
2. Semua yang sudah mau habis itu tinggal dibuang juga di negeri orang.
3. Karena bisa dipastikan koper akan menggelembung penuh oleh barang yang berat (buku gitu loh) nah, lakban itu berguna untuk melilit koper agar tidak terbuka begitu saja alias jebol. Eh, pake tali tambang jemuran yang dari plastik juga sebenarnya lebih enak sih. Dan percaya padaku, mending beli di Indonesia saja barang-barang seperti ini. Lebih murah.
4. Benang dan jarum buat apa? Nah... karena semua koper sudah berisi benda-benda kelas berat (termasuk oleh-oleh yang gampang patah atau dikhawatirkan rusak), maka baju-baju mending taruh di tas kain yang bisa dilipat. Berat tas kain ini kan enteng tuh, besarnya juga bisa dimasukkan ke kabin. Kan setelah dikurangi dengan yang dibuang-buang tadi, maka yang tersisa sedikit barang yang dibawa kembali ke Indonesianya. Iya gak? Gak ada lagi sendal buat ke kamar mandi atau buat jalan2 antar ruangan; gak ada lagi toiletris, gak ada lagi baju tidur dan handuk (oh ya.. hahahha.. handuk pun bawa saja yang dah jelek atau yang kalian sudah bosan melihatnya... jadi ada alasan buat beli handuk baru jika sudah ada rejeki nanti).

Okeh. Sekarang mari kita kembali membicarakan kota Sydney.
Aku menghabiskan waktu selama dikit lagi 5 tahun di kota ini. Yaitu sejak tahun 1994 s.d 1999 akhir.
Ada banyak banget kenangan di kota ini. Ini adalah kota dimana aku menghabiskan masa-masa pacaran halalku dengan suami tidak lama setelah kami punya anak. hehehe... ya iya lah. Baru nikah 4 bulan terus ditinggal pergi itu rasanya tuh.... huff... nyess banget deh. Karena, dua bulan pertama nikah, kan masih sama-sama belum mengerti apa-apa yang tiba-tiba.... hamil aja... hahahha... dua bulan terakhir dah siap-siap mau ditinggal. Ugh.... ampyun deh. Kalau difilmin pasti judulnya "air mata pengantin baru" atau..."cengeng-cengeng penganti baru" (kenapa mirip judul sinetron ganteng-ganteng srigala?).

Di kota ini juga, aku yang selama sebelum menikah hidup selalu dilayani oleh pembantu rumah tangga, tiba-tiba harus mengerjakan segala sesuatunya seorang diri. Mana punya anak, mana gak ada saudara, mana gak ada tetangga yang bisa dititipi atau direpotkan, mana gak bisa masak, mau nelpon ke Indonesia mahal,  mana gak bisa bahasa inggris lagi. hahahahha... yang terakhir ini yang ngenes sodara-sodara.

Tahun pertama dan tahun kedua, aku tinggal di sebuah rumah sederhana. Bayar sewanya murah karena ini rumah tua. Cuma satu kamar dengan ruang keluarga yang besar. Begitu masuk langsung ketemu dapur. Sebenarnya, ini bagian dari rumah seseorang, yang lalu dibaginya. Sepertiga rumah inilah yang lalu disewakan. Aku membesarkan putra sulungku di rumah ini.

ini dia rumahnya yang mungil di tengah itu: 599 anzac parade, maroubra

tempat sampah yang bergelimpangan di pinggir jalan itu karena sepertinya foto ini diambil oleh google ketika hari pengambilan sampah. Jadi, tiap-tiap rumah mendapat tempat sampah dari pemerintah dan setiap seminggu sekali isi tempat sampah itu akan diambil oleh sebuah truk pengangkut sampah. Nah, buat yang sampahnya banyak banget, silahkan beli tempat sampah tambahan sendiri deh tapi yang bentuknya kayak gitu. karena memang truk sampahnya otomatis jadi ujung tempat sampah bisa pas di tangan pengapit truk sampahnya


Dan ini adalah suasana jalan Anzac Parade yang ada di depan rumahku. Lebar, lega, tidak terlalu ramai meski dilalui oleh bis-bis besar. Orang-orang sini lebih suka jalan kaki dan menggunakan bis daripada menggunakan mobil pribadi. Itu sebabnya jalanan jarang yang macet.

Lalu, rumah yang aku tempati di tahun ke tiga dan seterusnya hingga aku kembali ke Indonesia adalah sebuah apartemen.
Kenapa tinggal di apartemen? Karena.... pingin nyobain aja kayak apa sih tinggal di apartemen itu. hehehehe. Jadi sengaja banget emang sejak awal tidak mencari rumah lagi ketika sewa rumah pertama selesai karena kami memang ingin merasakan tinggal di apartemen.

Oh ya... tadi kan aku bilang ya, gak enaknya tinggal di Sydney itu salah satunya karena tidak punya tetangga yang bisa dimintai tolong. Nah... sebenarnya, ini karena suamiku saja yang iseng memilih lingkungan yang seperti ini.

"Sebenarnya ada De, lingkungan dimana orang-orang Indonesia banyak berkumpul. Yaitu di daerah Rainbow street dan sekitar Kensington sana. Tapi.... kamu gak berminat untuk memacu diri agar bisa belajar bahasa inggris, cinta?" (note: kata cinta- disini adalah tambahan dariku... hehehehe.. boleh dong berimprovisasi sedikit dalam bercerita?)

"Kalau kita mau, kita bisa tinggal di lingkungan Rainbow Street loh De. Tapi... aku lebih suka kamu berkembang menyesuaikan diri dengan lingkungan baru daripada merasa aman di lingkungan yang bikin kemampuan kamu malah gak berkembang."

Yup. Itulah salah dua jawaban-jawaban suamiku ketika aku mengeluh betapa "sepi ya?"... "capek deh".. "duh repot".. "huhuhu aku kesepian"... pada suamiku. Dan itulah sebabnya lingkungan pilihan suamiku adalah lingkungan dimana orang-orang bule berjaya tinggal disana. Orang Asia-nya sedikit banget. sekalinya ada pasti yang sudah tidak ada jejak Asia-nya sama sekali. Sebagian lagi kebanyakan dari bangsa Fiji, Spanish, Italia dan negara-negara lain yang bahasanya aku gak ngerti jadi "kami berbahasa satu: bahasa inggris."

Nah... ini nih rumah keduaku dulu...

Ini apartemen kami. Kami tinggal di lantai paling atas, lantai 4. Ada sebuah jendela besar di kamar tidur kami yang menghadap ke langit luas sehingga setiap malam aku bisa memandang bintang dan bulan atau hamparan langit malam.

Sedangkan ini adalah jalanan yang harus aku lalui jika ingin pergi kemana saja. Sepiii banget jalanannya. Sekalinya ramai paling jika keluarga Italia yang tinggal di garasi warna putih itu sedang sahut-sahutan dengan sesama anggota keluarga mereka dengan bahasa Italia. Yang aku mengerti dari bahasa mereka cuma satu kata: Darling. hahahaha



Setibanya di Sydney kemarin, ini percakapanku dengan anak-anakku.

"Oh.. berarti ibu di Sydney belajar bahasa Inggris dong dulu pas baru punya aku?" (anak sulungku nih yang ngomong)
"Iya... kan ada program untuk pasangan student yang tidak bisa berbahasa inggris."
"Lama bu?"
"Lumayan. Kalau lagi kursus, kamu ibu bawa ke tempat kursus terus ibu taruh aja di lantainya. Kan lantainya berkarpet tuh kelasnya. Kasih mainan, kamu anteng main sendiri di kaki ibu." (anak sulungku tersenyum)
"Terus... sekarang.. masih ingat bu semua bahasa inggris yang pernah ibu pelajari dulu?"
"Hehehehe... nggak. Cuma inget I love YOu aja."
"Dasar.... aku dah nebak sih."
"Ehhh... jangan salah, ibu setelah melahirkan Arna juga ikut kursus lagi. Yaitu kursus untuk para migran yang tidak bisa berbahasa Inggris yang diselenggarakan oleh Pemerintah." (suamiku menambahkan keterangan yang berakibat fatal... yaitu:...)
"Okeh. Berarti ibu dua kali kan ikut kursus bahasa Inggris. Sekarang ibu bisa gak bahasa inggris?"
"heheheh.... ibu orangnya istiqamah nak. Sekali tidak bisa, tetap tidak bisa." (sambil mesem-mesem membela diri)
"Ngaco. Itu bukan istiqamah namanya... bilang gak bisa aja pake ngeles..." (hahahahahha... jawaban anak sulungku emang suka ngeselin emang. Enaknya dijitak sih.. sayang anak sendiri; kalau nangis kita juga yang repot kan? Kalau anak orang kan bisa ditinggal lari setelah dijitak... hahahahaha).

Eh.. bersambung lagi ya ceritanya. Mau jemput anak bungsuku pulang sekolah dulu deh.



11 komentar

  1. Aih seru banget Mak :D
    Aussie adalah salah satu negara yang dari kecil pengen banget aku kunjungin :3
    Mudah-mudahan kesampean deh :D
    Syukur-syukur diajak ama Mak Ade :D *kabooorrrr

    BalasHapus
  2. Muahahaha keep istiqamah Mbak Ade :)

    BalasHapus
  3. Wkwkwkwkkw... Mbak adee, kita senasib ternyataa. Aku juga ditinggal pergi sama suamiku setelah dua bulan menikah. Waktu itu belum bisa ikut karena sedang tugas di puskesmas pedalaman. Dan ga tahunya pas ditinggal, aku hamil. Sayangnya, karena sedih ga ada suami eh belum rezeki, aku keguguran. Terus tahun ini ketika semuanya sudah dipersiapkan untuk ikut suami ke jerman, aku hamil lagi, dan empat bulan hamil, suami balik lagi kesana dan meninggalkanku yang ngga boleh pergi. Jerman 21 jam perjalanan plus hamil muda dan plus riwayat keguguran membuatku ga mau mengambil resiko. Dan seperti yang udah aku ceritain dulu ke mbak ade. Alhamdulillah aku dapat beasiswa ke swedia, ga jauh dari jerman memang, tapi ketika berangkat nanti, aku baru melahirkan, duh, ini yang membuatku galau skrg,. Tapi masih ada beberapa bulan lagi untuk berpikir dan mendaftar, dan sekarang aku manfaatkan untuk les english dengan perut besar, yaa siapa tau anakku entar mirip bule, hehehe... Parahnya eh syukurnya suamiku tahun depan insyaallah selesai s3nya, jadi makin bingung nih. Waduh, asyik bingung2 aja

    BalasHapus
  4. Ibu bisa aja brcandanya yaaa. :D
    Yang jelek2 itu menangis ketika masuk ke sampah. Soal, pingin balik ke Indo lagi. :D

    Ada oleh2 dari sana gak, Bu? :P

    BalasHapus
  5. yang jelek-jelek dibuang di sana hihihi

    BalasHapus
  6. Wah, boleh juga tuh idenya bawa barang belel. hag..hag... yang udah nggak kepakai ditinggal :D

    BalasHapus