Liburanku: Kesempatan Kedua

[Lifestyle] Dimana-mana yang namanya kesempatan kedua itu seharusnya dimanfaatkan sebaik-baiknya. Pada cerita sebelumnya, aku menulis bahwa dalam koper-koper yang aku bawa untuk berlibur ke Sydney itu, terselip pakaian-pakaian yang jelek-jelek, handuk yang sudah lusuh, sendal yang sudah tipis, dan sebagainya yang sedianya memang ingin aku buang untuk diganti dengan yang baru. Semua benda ini masuk dalam tong sampah.


Tapi, bukan berarti semua benda jelek dan buruk itu saja isi koperku yang akan aku tinggalkan disana. Ada juga pakaian yang mulai kekecilan, atau kependekan, atau modelnya tidak lagi aku sukai (*susahnya punya tubuh besar tinggi seperti aku itu baju bekasnya jarang ada yang mauuuu... hahaha.. karena ongkos permak baju di penjahit ternyata harganya sama saja dengan harga membeli baju baru. Indonesia memang  agak keteteran dalam menghadapi serbuan pasar Global jadi barang-barang produk China dan Thailand masuk dengan deras ke Indonesia. Termasuk baju-baju mereka. Nah, produsen pakaian di Indonesia tidak bisa mengimbangi serbuan barang-barang dari dua negara ini karena memang harganya agak sedikit tidak masuk akal saking murahnya. Itu sebabnya orang lebih senang membeli pakaian jadi yang lebih murah daripada harus menjahit pakaian).

Nah.... semua pakaian yang tidak lagi bisa digunakan atau tidak mau lagi aku gunakan ini aku bawa ke Sydney dengan satu tujuan: untuk ditinggalkan disana.

Sydney, wilayah daerahnya terbagi dalam distrik-distrik (semacam kecamatan mungkin ya?). Setiap distrik memiliki kebijakan tersendiri dalam menangani barang-barang recycle dan rubbish yang dihasilkan oleh penduduknya. Perlu diingat, ternyata ada banyak orang-orang yang mengalami masalah seperti aku: bingung kemana harus menyalurkan barang bekas yang masih layak pakai mereka. Bukan apa-apa, karena memberi barang bekas pada orang lain itu termasuk hal yang amat sensitif.

Dulu, beberapa tahun yang lalu, aku sering mengumpulkan barang-barang bekas di rumahku yang masih layak pakai untuk aku kirim ke para tetangga sekitar. Awalnya, mereka berebutan memilih-milih barang-barang yang mereka inginkan tersebut. Tapi belakangan, karena jumlah pemilih makin banyak padahal di rumah aku tidak punya pembantu dan lebih sering bersama anak-anak saja yang masih kecil, aku jadi takut sendiri. Aku takut ada yang kalap di dalam pekarangan rumahku dan aku tidak bisa menanganinya. Akhirnya, barang-barang yang akan aku hibahkan tersebut aku kumpulkan lalu aku kirim ke satu orang saja mewakili mereka dan meminta orang-orang yang akan mengambilnya datang ke rumah orang tersebut. Untuk beberapa saat cara ini lumayan sukses. Hingga suatu hari, seorang dari para pemilih tersebut marah-marah dan berteriak "Ahh... barang-barang bekas gak berguna gini. Ini mah namanya numpang buang sampah saja."

Jujur saja, aku sedikit tersinggung waktu itu. Tapi... lalu berusaha untuk merenung.
"Jangan-jangan, aku sudah menganggap remeh tetanggaku dalam hal ini? Jangan-jangan, semua barang bekas itu memang kumpulan barang tidak berguna bagi mereka?"

Akhirnya, aku merubah strateginya. Karena, kegiatan mengumpulkan barang bekas di rumahku memang secara berkala sering aku lakukan. Anak-anak tumbuh kembang dengan cepat dan itu membuat banyajk sepatu dan pakaian mereka yang baru sekejap dipakai sudah tidak muat. Ada buku-buku pelajaran yang sudah tidak lagi digunakan karena sudah berganti kelas. Juga ada benda-benda rumah tangga yang jarang aku pakai karena sudah berganti model. Jika semua itu dipertahankan, rumahku yang mungil bisa penuh dan sesak. Jadi, perubahan strategi menyalurkan benda-benda tak terpakai itu adalah dengan cara mengirimnya ke lembaga sosial yang menerima barang bekas. Dulu, sempat menyalurkannya ke sebuah yayasan, tapi belakangan aku diberitahu bahwa yayasan itu milik Syiah, maka aku pun beralih menyalurkan barang-barang bekas itu ke BARBEQU DOMPET DHUAFA alias barang bekas ber-Qualitas milik Dompet Dhuafa. Barang-barang ini kelak akan dijual lagi oleh DOmpet Dhuafa dan hasil dari penjualannya akan disalurkan untuk berbagai kegiatan memberdayakan masyarakat dhuafa yang mereka kelola.

Dannnnn.... melihat mobil bak terbuka mampir mengangkut barang-barang bekas tersebut, suara-suara sumbang kembali terdengar dari para tetanggaku.
"Bu Ade sombong banget ya sekarang. Lupa deh ama kita-kita. Padahal kita juga butuh barang-barang yang sudah tidak dibutuhkan oleh Bu Ade itu."

WAAAAAAAAAA.... serba salah.

Okeh. Kembali ke soal membuang barang bekas di Sydney. Aku punya cerita tersendiri ke anak-anakku ketika aku memberitahu mereka dimana kelak barang-barang bekas itu akan dikumpulkan dan kelak akan disalurkan.

"Dulu nak... ayahmu kan di sini hanya seorang Student yang hidup dari beasiswa. Ibu dan ayah tuh sadar banget bahwa tinggal di Sydney itu hanya beberapa saat saja. Tidak mau selamanya. Paling banter juga beberapa tahun. Jadi, daripada kami menyisihkan uang untuk memperindah rumah dan melengkapinya dengan benda-benda yang dibeli di toko dalam keadaan baru; kami lebih memilih untuk mengunjungi toko barang bekas yang tersebar nyaris ada di seluruh distrik."

"Emang masih bagus bu barang-barang bekas tersebut?"
"Kalau beli di toko barang bekas mah masih bagus. Karena, sebelum dipajang di toko mereka, beberapa sudah  diperbaiki sekedarnya dulu, dan yang pasti sudah dibersihkan juga sih."

Lalu... kamipun membawa anak-anak untuk napak tilas mengunjungi toko barang bekas yang dulu menjadi langganan keluargaku.
Nah... ini dia barang-barang yang dipajang di toko barang bekas. Ada buku Harry Potter "Order to Phonix" yang dijual dengan harga 50 cent disana (jika dikurs jadi: Rp5.500). Dan lemari kayu yang masih mulus itu, dijual dengan harga A$30 (jika dikurs jadi Rp330.000).

"Kamu tahu nak.. dulu, piring, gelas, sendok, panci, kasur, lemari, dan nyaris sebagian besar barang-barang yang ada di rumah sewa kita selama kita tinggal di Sydney adalah barang bekas. Belinya lebih hemat, kelebihan uangnya bisa ditabung. Dulu pas jamannya reformasi baru saja dimulai. Jadi, yang namanya dollar Australia itu, sama seperti dollar Amerika, melambung tinggi sekali. Dari yang harganya Rp3000 tiba-tiba berubah jadi Rp 6000.. lalu perlahan terus naik nilainya. Nah... kami menabung. Lebih baik uangnya ditabung kan daripada membeli barang baru?"

"Bu... ini sih masih layak pakai banget namanya."
"Iya... cuma memang jika membeli disini harus kita cuci sendiri lagi. Karena, yang nyuci barang-barang bekas ini kan orang-orang non muslim, dan bisa jadi juga pemakai sebelumnya juga orang non muslim, jadi kita gak tahu apa yang terjadi dengan barang-barang ini sebelumnya. Jadi, kita emang harus kerja ekstra keras untuk mencucinya agar bukan hanya bersih tapi juga bebas dari najis. Islam kan tidak hanya mengenal halal, tapi huga thoyibbah. Tidak hanya bersih, tapi juga bebas dari najis. Yaa... tapi gak papah sih, capek sedikit tapi kan bersenang-senang kemudian."

"Oh...satu lagi nak.... sebenarnya, setiap sebulan sekali distrik council itu punya program recycling day."
"Apa lagi tuh?"
"Itu adalah hari pembuangan barang-barangbekas yang tidak diinginkan lagi oleh setiap rumah. Nah... itulah. Ibu sama ayah suka jalan kaki menelusuri jalan dari pagi untuk melihat-lihat apa saja barang-barang yang dibuang oleh tiap-tiap rumah barangkali saja masih ada barang yang bisa digunakan."
"Hah? Maksudnya?"
"Nih... orang Australi itu, adalah amat mencintai barang-barang yang up to date. Jadi, jika sudah ada barang baru maka mereka tidak segan untuk membuang barang lama mereka agar rumah tidak penuh. Jadi, pemerintah memberi kesempatan pada semua warganya jika memang ingin membuang barang-barang yang tidak diinginkan lagi ada harinya. Dulu, ibu punya kalendernya dan kami gantung di kulkas."

bentuknya seperti ini nih

ini barang-barang yang dilarang untuk dibuang di recycling day dan barang-barang yang boleh dibuang.
"Ibu ketemu apa saja pas hari recycling itu?"
"Banyak nak. Ibu memungut meja pojok yang masih bagus untuk tempat tv, juga kursi makan yang bentuknya masih bagus hanya saja catnya sudah terkelupas. Di Sydney, ongkos tukang buat ngecat atau memperbaiki rumah atau furniture itu mahal-mahal. Sama seperti gaji untuk pembantu rumah tangga yang juga mahal. Jadi, daripada harus nyuruh orang memperbaiki kayaknya orang sini lebih baik beli baru dan barang lama dibuang gitu aja."
"Maksudnya dibuang gitu aja tuh gimana sih?"
"Maksudnya... jadi kalau kita mau membuang barang gak kepake lagi, taruh aja di halaman depan rumah di hari yang sudah diberitahukan tanggalnya tersebut oleh pemerintah. Nanti mulai jam 12 datang deh truk-truk pemungut barang-barang tersebut dan mengangkut semua barang itu. Nah... kalau kita mau ngambil barang itu, berarti ya harus pagi-pagi. Ada kursi, sofa, televisi, mesin cuci, kulkas, tempat tidur, lemari, vacum cleaner, baju, sepatu, tas, pokoknya apa saja deh. Nah... strateginya kalau mau dapat barang buangan yang masih agak bagus, cobalah untuk keliling di daerah orang-orang kaya. Karena orang-orang kaya barang-barang buangannya jauh lebih bagus dan kadang dibuang karena mereka sudah bosan bukan karena rusak. Nah itu tadi... ibu ama ayah dapat seperangkat kursi dan meja makan itu."
"Gimana tahunya itu daerah orang kaya atau bukan?"
"Gampang. Lihat saja, itu daerah perumahan sendiri dengan halaman sendiri atau daerah apartemen. Kalau apartemen berarti bukan orang kaya. Gampang kan? hahahhaa. Rumah sendiri, punya halaman, punya mobil. halamannya luas; dah.. itu sudah clue yang cukup jelas. Jalan-jalanlah di daerah seperti itu untuk di pagi hari ketika recycling day berlangsung. Teman ayah malah ketemu televisi 29 inch yang masih bagus yang dibuang hanya karena layarnya tidak sedatar televisi jaman sekarang."

Nah.... kesempatan kedua itu, kadang membawa kebahagiaan kan buat orang lain? Setuju gak?

bersambung lagi ya nanti di cerita yang lain dari oleh-oleh liburan kemarin.

5 komentar