Mencegah lebih murah daripada mengobati

[Keluarga] Setiap hari, tugas utamaku adalah mengantar dan menjemput anak pergi dan pulang sekolah. Jalan kaki dan naik turun tangga penyeberangan untuk melewati jalan tol dalam kota sepertinya menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari. Meski melakukannya setiap pagi dan siang (yaitu ketika mengantar dan menjemput anak sekolah), setiap kali melewati tangga penyeberangan  tersebut, napasku selalu tersengal-sengal. Satu-satunya cara agar aktifitas bisa terus berjalan meski nafas tersengal-sengal adalah dengan cara mengatur keluar masuk udara dari mulut dan hidung sedemikian rupa. Tapi, tetap saja ini amat menggangguku. Lagipula, penasaran juga aku. "Ada apa sebenarnya? Kenapa aku selalu tersengal-sengal?"

Liburanku: Think Big?

Ada sebuah nasehat dari seorang teman padaku. Katanya: "Diet itu cuma memerlukan satu hal saja sebenarnya: disiplin. Dimana saja, kapan saja, tetap harus disiplin dengan menu diet yang sedang kita jalani. Maka, kesuksesan diet itu pun akan bekerja dengan baik."

Disiplin.
Cuma satu kata padahal.
Terdengar sederhana ya. Tapi sumpah deh: susaaaaaahh dikerjakannya.
Apalagi ketika musim liburan tiba.
Waduh.

Berbeda dengan porsi makanan ketika kita berlibur ke seluruh wilayah Indonesia. Porsi makanannya kan mini-mini tuh. Jadi sepertinya para pedagang makanan sepakat untuk memberikan sajian dimana porsi sajian tersebut akan membuat pembeli memesan porsi makanan tambahan lagi agar perutnya benar-benar terganjal. Orang-orang Indonesia memang terkenal menyukai aneka kuliner. Tempat-tempat membeli makanan dipenuhi oleh orang yang membeli sajian kuliner tidak mengenal waktu. Di luar waktu makan tempat makan kursi-kursinya dipenuhi oleh orang-orang. Tepat di waktu makan maka tidak jarang ada yang makan berdiri atau terpaksa harus berkeliling beberapa kali sebelum akhirnya bertemu dengan bangku kosong. Herannya, meski sudah kejadian berkali-kali tidak kebagian kursi atau harus antri makanan yang porsinya tidak banyak tapi harganya lumayan mahal, tetap saja tempat makanan diserbu oleh orang-orang. Itu artinya: kita semua, memang bangsa yang doyan jajan.

Tapi, jika dipikir-pikir lagi. Kenapa kita semua doyan jajan ya? Dan jika diamati lebih dalam kebiasaan jajan ini maka yang akan terlihat adalah, makanan yang dibeli itu sebenarnya cuma formalitas saja. Yang dicari oleh orang-orang kita adalah kesempatan untuk berkumpul lalu ngobrol sambil bersantai dan nyemil dikit-dikit.
Nah.
Nah.
Jika sudah begitu cocok ya berarti dengan strategi para pedagang yang menjual porsi makanan dalam jumlah yang sedikit.

Berbeda dengan kebiasaan orang Indonesia yang senang bersantai  dan berkumpul untuk menghabiskan waktu dengan teman atau saudara sambil nyemil dikit-dikit, maka di luar negeri sana sepertinya budaya "waktu adalah emas" alias waktu itu amat berharga benar-benar dimiliki kesadarannya oleh masyarakatnya. Akibatnya, jika bukan waktu makan resmi (makan siang, malam atau pagi) maka tempat makanan cenderung amat sepi. Yang mampir untuk makan itu mungkin adalah turis, atau anak sekolah yang bolos, atau ibu rumah tangga yang sedang jalan-jalan atau mereka yang belum bekerja atau pekerja lepasan.

Dan karena waktu juga dipandang amat berharga, maka sekalinya waktu makan tiba maka tempat-tempat makan benar-benar diserbu. Orang-orang antri makanan, dan jika tidak kebagian bangku maka mereka mendatangi taman-taman yang terbentang lalu makan di taman.

Karena waktu amat berharga juga, maka porsi makanan yang disajikan pun menjadi besar-besar. BESAR-PADAT-DENGAN TAKARAN MENU YANG SEIMBANG-DAN HARGA YANG PAS.

Jangan pernah berpikir untuk diet ketika sedang jadi turis di negeri orang. Karena, meski kita harus menghabiskan porsi makanan yang besar-besar sekalipun, tapi semua itu dalam sekejap akan berubah jadi energi karnea sebagai turis kita akan memakainya untuk berjalan kaki ke sana kemari, mendaki tangga, menuruni tangga, mengejar bis yang selalu datang tepat waktu (jadi kalau telat dapat bisa-bisa menunggu lagi lama), memburu kereta api yang memiliki pintu stasiun yang banyak sehingga untuk mencapainya kita harus berputar-putar sejenak naik turun tangga.

Seperti ini nih porsi makanannya:

Ini salah satu makan siangku selama berlibur di Sydney. Kentang goreng yang dikudap dengan ikan bakar dan salad sayuran. Ikannya besar sekali, diambil dari ikan utuh yang difillet. Dan kentangnya juga banyak, dan saladnya... waaah. JIka di Indonesia porsi salad seperti ini bukan disajikan sebagai bonus biasanya tapi harus dipesan terpisah karena porsinya yang BIG.

Ini CHIPS alias kentang goreng khas Australia. Porsinya banyak banget, lebih tinggi bahkan dari botol aqua 600 ml. Dan di atas Chips itu adalah Kebab Turki yang balutannya juga lebih besar dari botol aqua 600 ml. 
Di Sydney, dan bagian-bagian kota lain di Australia sekarang sudah lebih enak kurasa dibanding jaman aku tinggal disana dahulu beberapa tahun yang lalu. Sekarang, sudah banyak restoran halalnya. Hanya saja, kebanyakan adalah restoran: Indonesia, Turki, Thailand dan China. Jangan ragu untuk memesan dan jangan sok-sok-an diet deh saranku mah. Karena susah menemukan sembarangan restoran halal disana. Jadi, begitu ketemu makan yang benar tidak  perlu basa basi. Belum tentu 100 meter kemudian kita bakalan ketemu restoran halal lagi.

Liburanku: Kesempatan Kedua

[Lifestyle] Dimana-mana yang namanya kesempatan kedua itu seharusnya dimanfaatkan sebaik-baiknya. Pada cerita sebelumnya, aku menulis bahwa dalam koper-koper yang aku bawa untuk berlibur ke Sydney itu, terselip pakaian-pakaian yang jelek-jelek, handuk yang sudah lusuh, sendal yang sudah tipis, dan sebagainya yang sedianya memang ingin aku buang untuk diganti dengan yang baru. Semua benda ini masuk dalam tong sampah.

Liburanku: Bandara Kingsford Smith

Berbeda dengan bumi sebelah utara yang sedang merasakan musim panas alias Summer, maka negara tempatku menghabiskan liburan kali ini sedang mengalami musim dingin. Artinya, salah satu hal yang harus dipersiapkan dalam keberangkatan kali ini adalah baju-baju hangat.

Kebetulan, aku termasuk seorang yang punya riwayat alergi dengan dingin.
Dulu, selama 4 tahun lebih tinggal di Sydney, setiap winter datang, jika keluar dari rumah aku pasti mengenakan thermal pant dan juga thermal shirt. Yaitu, baju dalaman yang terbuat dari wool tipis dan halus. Meski helai bahannya terlihat amat tipis (layaknya sebuah stocking atau baju singlet atau celana legging tipis transparant) tapi karena terbuat dari pure wool maka dia bisa memberi kehangatan yang amat pas. Itu sebabnya kita tidak perlu lagi mengenakan pakaian berlapis-lapis guna mengusir rasa dingin yang menusuk.
50
Khusus untukku, dulu sih karena tinggal di Sydney bukan sebagai turis jadi kan tetap tuh harus melakukan pekerjaan rumah tangga yang berhubungan dengan air dan basah-basahan, maka bisa dipastikan ujung jari-jari kesepuluh jemariku akan membengkak, terkelupas lalu mengeluarkan darah. Aku alergi dingin derajat 3 memang kata hasil uji test alergi yang pernah aku lakukan dulu. Jadi, jika terkena hawa dingin dalam kurun waktu yang lama pasti deh kulitku akan merah-merah, lalu jika tidak segera ditangani akan bengkak dan tidak lama kemudian permukaan kulitnya akan merekah lalu pecah dan akhirnya berdarah. Itu sebabnya dahulu, aku selalu membalut kesepuluh jemari tanganku dengan plester yang diganti setiap hari selama musim dingin berjalan.

Nah... syukurlah ketika liburan kemarin, cuacanya cerah sekali. Suhu ketika kami datang hanya 23 derajat celcius. Alhamdulillah. Matahari bersinar terik tapi sepoi-sepoi angin terasa dingin.

Oh ya.... karena perhitungan Kurs Dollar Australia beberapa tahun belakangan ini mengalami peningkatan terus hingga bisa menyamai Dollar Amerika (bahkan kadang lebih bagus daripada Dollar Amerika) maka kami amat hati-hati dalam membelanjakan uang untuk keperluan membeli barang-barang keperluan musim dingin.

Patokannya adalah:
A$ 1 = Rp11.000
A$100 = Rp1.100.000

Jadi, kalau ada baju musim dingin yang dijual di Mall-Mall Jakarta yang harganya sampai jutaan alias di atas Rp1.100.000... itu berarti mahal. Karena, disana (Sydney) kita masih bisa nyari baju musim dingin dengan harga A$50 (tentu saja bukan nyari di butik bermerek ya... hehehehe).

Itu sebabnya sebelum berangkat, aku sudah melihat-lihat tempat-tempat yang menjual perlengkapan musim dingin yang lagi mengadakan diskon atau di warehouse-warehouse sekitar Jakarta. Alhamdulillahnya ketemu sih. Sudah harganya murah, dibayarnya dengan menggunakan Voucher MAP lagi. Yaitu ketika aku memenangkan voucher MAP di lomba museum nasional. Alhamdulillah, berkah ngeblog.

Setelah meletakkan koper-koper, cepat-cepat kami bersiap-siap untuk jalan-jalan.
Yup.
Waktu terus berjalan; kalau mau tidur dan santai ya gak usah liburan. Di rumah aja.
Itu prinsipku dan anak-anak. Makanya jangan heran jika di dalam bis atau kereta api aku dan anak-anak sering tertidur. hehhee.... itu strategi untuk mengumpulkan tenaga soalnya agar bisa puassss jalan-jalannya.

Oh ya. Mungkin ada yang mau tahu, habis banyak gak sih aku liburan ke Sydney ini? Nah.... total harganya sih relatif ya. Tapi, jika dibandingkann dengan jika kalian ikut paket-paket tour maka biaya yang kami keluarkan itu jauh lebih murah.

Keuntungan ikut Paket Tour:
1. Bisa mendatangi banyak tempat.
2. Bisa dikerjakan dalam waktu yang singkat.

Kerugian ikut Paket Tour:
1. Emang sih bisa datang ke banyak tempat tapi itu semua dilakukan dengan waktu yang sebentar-sebentar banget.
2. Semua Paket Tour itu mengejar target lokasi yang harus dicapai, Akibatnya, semua dikerjakan buru-buru.
Contoh:
"Ya. Kita akan mampir di Mc'Donald untuk makan siang. Kalian semua hanya diberikan waktu 30 menit untuk pergi ke Toilet yang ada di dalam gerai Mc'Donald, antri memesan makanan dan menghabiskan makanan kalian."

Jadi... jangan harap bisa ngobrol dan bercanda sambil makan.

Karena itulah aku sekeluarga tidak ikut Paket Tour dalam liburan kali ini.
Susah  gak tuh gak pake Paket Tour secara itu di negara orang?
Gampang. Karena, yang kita datangi itu adalah negara yang tidak bisa dibilang negara terbelakang. Jadi, yang namanya GPS, Google MAP, rute dan jadwal keberangkatan bis dan kereta api, transaksi online, tiket online bisa dipelajari dan dilakukan sejak kalian belum berangkat ke negara tersebut.

Suamiku sudah memesan hotel, dan tiket untuk pergi ke tempat-tempat yang ingin dituju sejak dari Jakarta. Suamiku juga sudah mendownload MAP jalan-jalan di Sydney dan tempat-tempat yang akan dikunjunginya. How to get there and how to be there sudah dipersiapkan dengan matang. Itu sebabnya sebelum berangkat suamiku sudah menyebarkan Itilineary pada semua anak-anaknya di group whats app keluarga yang kami miliki. Sekaligus meminta agar semua anggota keluarga mendownload aplikasi LINE selain WHATS APP karena ternyata di Sydney banyak pihak-pihak yang ingin dihubungi menggunakan aplikasi LINE.

Jadi... bisa dikatakan pemanasan membicarakan bagaimana kota Sydney, apa yang ada di sana dan apa yang rencananya akan kami kerjakan disana sudah berlangsung jauh sebelum keberangkatan kami untuk berlibur (semakin dibicarakan otomatis jadi semakin giat menabungnya karena terkompori oleh rasa penasaran).

Tapi, meski sudah lihat video tentang Sydney dan suasana yang ada di sana, lihat foto-fotonya yang tersebar di internet... begitu tiba di sana.... waaaah. Beda dengan yang ada di foto. Suasana melihat langsung itu jauh lebih menyenangkan.

Begitu kita keluar dari bagian imigrasi, maka siap-siap bertemu dengan anjing pelacak yang akan mengendus-endus koper dan tas kita. Jika kalian takut dengan anjing, katakan pada petugasnya ya. Karena anjing akan semakin curiga jika kita gelisah atau ketakutan hingga menjerit-jerit.
"Ada apa nih orang lebay banget? Jangan-jangan bawa sesuatu yang berbahaya?"
Begitu kurang lebih dalam hati si anjing. hehehhe

Australia memang menerapkan peraturan yang amat ketat untuk para turis dan pendatang yang mendatangi negara mereka. Sistem kesehatan yang berkembang dengan amat baik di Australia menyebabkan negara sudah menyatakan diri bebas dari beberapa jenis penyakit. Nah, untuk mempertahankan prestasi ini, maka mereka pun menerapkan aturan yang ketat apa saja yang boleh masuk ke negara mereka.

Obat-obatan terlarang itu sudah jelas deh. Hal-hal lain yang harus melalui karantina itu adalah:
semua benda yang dibuat dari kulit hewan (termasuk dompet kulit, tas kulit atau benda kerajinan dari kulit); juga semua benda yang terbuat dari pepohonan (termasuk taplak meja akar wangi, rempah-rempat yang merupakan ingredient obat herbal, tanaman hias, hiasan rumah dan perhiasan yang kita kenakan seperti gelang bahar misalnya). Nah... jika ada benda-benda itu dalam barang bawaan kalian, maka benda-benda ini sebaiknya dideclare-kan di imigrasi. Jika mereka curiga benda-benda itu tidak hiegienis maka akan masuk karantina dulu selama satu bulan.

Oh ya, Australia tidak  menyukai semua jenis masakan yang tidak dikemas dengan rapat dan bersegel rapi untuk masuk ke negaranya. Dulu, temanku ada yang membawa donat dari J.Co. Jadi, ceritanya dari Jakarta dia kan berangkat malam. Lapar dong jadi belilah dia donat J.Co di bandara Soekarno Hatta. Tapi, karna ternyata di atas pesawat diberi makanan dua kali (karena perjalanan memakan waktu 7 jam) maka donat yang dikantunginya di dalam tas tidak termakan.
Begitu dia sampai di imigrasi dan bau donat itu terendus oleh anjing pelacak, maka donat J.Co itu dibuang oleh petugas imigrasi dan.... teman saya itu didenda A$100.... lumayan banget kan tuh. Sudah gak bisa dimakan makanannya, didenda pula dengan denda yang mahal.
Jadi.... habiskan makanan kalian di pesawat atau tinggalkan di pesawat atau buang ke tempat sampah segera setelah kalian keluar dari pesawat terbang.

 Tapi , kalau makanan dalam kemasan yang rapi dan bersegel boleh kok masuk. Seperti indomie, terasi ABC (yang sudah dibungkus rapat dalam sachet, bukan yang dalam kemasan daun dan berbau), bumbu instan indofood, susu formula untuk bayi, itu boleh kok dibawa masuk asal jangan lupa: DECLARE MEREKA.


Nah.... setelah keluar dari  bandara Kingford Smith maka kita akan mulai merasakan hawa udaranya kota Sydney yang sesungguhnya. Horeeeee.

Ini dia suasana di luar bandara KIngford Smith. Rapi, teratur dan budaya antrinya bekerja dengan amat sangat baik. Enak sekali menunggu atau mencari taksi begitu kita keluar dari bandara ini.

Ini foto yang aku ambil dari dalam taksi. Taksi disini jalannya santai dan tidak slanang slonong seperti yang pernah aku rasakan di Indonesia-Singapura atau Malaysia. Dan peraturan memakai SEAT BELT itu sudah menjadi kewajiban yang bersifat Fardhu Ain alias harus dikerjakan. Dendanya lumayan tinggi jika tidak mengenakan sabuk pengaman.

Next: bersambung ya oleh-oleh cerita liburanku. Jangan bosan.





Liburanku: Mudik ke Sydney

Pada tulisan sebelumnya, aku menulis tentang berlibur di hari raya (bisa baca tulisannya di sini: Liburanku: Mau Kemana di Cuti Hari Raya?). Di tahun 2014 ini liburan hari raya plus liburanku terasa istimewa karena satu hal: ini sekaligus perjalanan napak tilas kembali ke tempat dimana aku pernah menghabiskan waktu beberapa saat disana: Sydney.

Lima bulan setelah menikah, suamiku berangkat ke Sydney dalam rangka meneruskan study Pasca Sarjananya. Dia berangkat sendiria karena aku sedang hamil waktu itu. Ada peraturan untuk mahasiswa penerima beasiswa bahwa jika mereka belum mencapai satu tahun berada di Sydney maka biaya melahirkan ditanggung sendiri. Wah. Biaya melahirkan di negeri sendiri saja mahal apalagi di negeri orang. Itulah sebabnya suamiku berangkat sendiri dan aku menyusul setelah melahirkan rencananya.

Tepat setelah bayiku berusia 3 bulan 2 minggu (karena perjalanan ke Sydney memakan waktu 7 jam di atas pesawat maka dokter memberi saran untuk membawa bayi jika sudah berusia 3 bulan lebih; dimana bayi sudah bisa berespon jika ada sesuatu yang tidak enak dengan badannya. Kalau masih bayi banget dan belum bisa apa-apa selain tidur-mimi asi-pup; jika terjadi sesuatu bayi cuma berespon diam terus tiba-tiba panas tinggi saja badannya. Repot kan? Nah.. jika sudah berusia di atas 3 bulan, jika terjadi sesuatu yang tidak pas dengan tubuhnya, bayi bisa menangis keras-keras sebagai penanda waspada) aku pun berangkat.

Aku berangkat bersama ibuku waktu itu. Dan asal tahu saja ya, waktu itu kebetulan ada seorang saudaraku yang bekerja di bagian cek in penumpang. Jadi... hehehehe... bawaanku yang sudah pasti over weight sama dia dilolosin semua. Dulu aku bawa box bayi dari plastik segala loh. Dan semua perlengkapan perang mengasuh bayi pertama dan semua lolos di kabin. Senangnya alhamdulillah.

Nah.. sekarang tentu saja keadaan berbeda. Ibuku sudah meninggal dunia dan saudaraku itu, lebih tepatnya saudara ipar, sudah bercerai dengan saudaraku jadi.... tidak bisa lagi nepotisme-nepotisme-an. Berarti.... semua bawaan harus benar-benar diperhitungkan masak-masak dong. Jangan sampai kelebihan berat di bagasi nanti. Malaysia Airlines, maskapai yang kami pilih untuk ke Sydney, membatasi batas maksimal hanya 30 kg untuk masing-masing orang.

Meski demikian tetap saja aku membawa 5 buah koper, dimana 3 adalah koper besar yang muat jika dimasukkan anak kuda di dalamnya dalam keadaan akrobat melihat ke empat kakinya dan menekuk kepalanya... serta 2 buah koper ukuran kabin. Serta 2 buah tas kain ukuran sedang yang bisa dilipat.
Waaa? Banyak sekali bawaannya?
Yup.
Karena memang sudah niat untuk membeli oleh-oleh dan buku-buku.

Suamiku adalah dosen. Jika ada kesempatan berkunjung ke luar negeri maka benda yang pasti dicarinya itu adalah: buku-buku literatur terkini yang bisa menunjang bahan pengajaran dia nanti. Buku-buku yang beredar di Indonesia sering tertinggal dari segi konten dan kekinian masalah yang disajikan. Jika pun ada maka bisa dipastikan dijual dengan harga yang amat mahal. Jadi, bisa membeli buku di luar negeri itu sesuatu yang luar biasa buat suamiku. Itu sebabnya koperku banyak.

Dua koper ukuran kabin, dimasukkan dalam dua koper ukuran bagasi tadi. Anak kudanya disuruh keluar dulu ya. hehehhe.
Lalu, dua buah tas kain yang bisa dilipat, dimasukkan dalam tas kabin.
Lalu.... bagaimana dengan baju-baju kami? Ya tentu saja diselipkan di tengah-tengah benda-benda tersebut.

Pada penasaran kan, apakah nanti pas pulang tidak semakin berjubel jumlah bawaan kami tersebut? Karena yang namanya buku-buku itu beratnya gak cuma sekilo dua kilo pasti tapi pasti berkilo-kilo.

Nah... ini strategi berikutnya.

BAWALAH:
1. Sendal jepit yang sudah jelek untuk sendal jepit jika mau ke kamar mandi. 
2. Baju-baju jelek untuk tidur malam.
3. Sendal-sendal rumah yang sudah butut atau dikit lagi mau rusak untuk berjalan di dalam ruangan.
4. Jangan bawa odol yang masih utuh tapi bawa yang sudah mau habis saja.
5. Jangan bawa shampo yang masih utuh tapi bawa yang sudah mau habis saja.
6. Jangan lupa bawa lakban, gunting, jarum dan benang ya.

Buat apa sih mereka semua? Buat:
1. Ketika pulang nanti, semua yang jelek-jelek dan butut-butut bisa kita buang di negeri orang sana. Gak usah dibawa lagi ke Indonesia. Eh.. eh... jangan marah, yang dimaksud jelek-jelek itu bukan kamu kok... iya.. bukan kamuuuu.
2. Semua yang sudah mau habis itu tinggal dibuang juga di negeri orang.
3. Karena bisa dipastikan koper akan menggelembung penuh oleh barang yang berat (buku gitu loh) nah, lakban itu berguna untuk melilit koper agar tidak terbuka begitu saja alias jebol. Eh, pake tali tambang jemuran yang dari plastik juga sebenarnya lebih enak sih. Dan percaya padaku, mending beli di Indonesia saja barang-barang seperti ini. Lebih murah.
4. Benang dan jarum buat apa? Nah... karena semua koper sudah berisi benda-benda kelas berat (termasuk oleh-oleh yang gampang patah atau dikhawatirkan rusak), maka baju-baju mending taruh di tas kain yang bisa dilipat. Berat tas kain ini kan enteng tuh, besarnya juga bisa dimasukkan ke kabin. Kan setelah dikurangi dengan yang dibuang-buang tadi, maka yang tersisa sedikit barang yang dibawa kembali ke Indonesianya. Iya gak? Gak ada lagi sendal buat ke kamar mandi atau buat jalan2 antar ruangan; gak ada lagi toiletris, gak ada lagi baju tidur dan handuk (oh ya.. hahahha.. handuk pun bawa saja yang dah jelek atau yang kalian sudah bosan melihatnya... jadi ada alasan buat beli handuk baru jika sudah ada rejeki nanti).

Okeh. Sekarang mari kita kembali membicarakan kota Sydney.
Aku menghabiskan waktu selama dikit lagi 5 tahun di kota ini. Yaitu sejak tahun 1994 s.d 1999 akhir.
Ada banyak banget kenangan di kota ini. Ini adalah kota dimana aku menghabiskan masa-masa pacaran halalku dengan suami tidak lama setelah kami punya anak. hehehe... ya iya lah. Baru nikah 4 bulan terus ditinggal pergi itu rasanya tuh.... huff... nyess banget deh. Karena, dua bulan pertama nikah, kan masih sama-sama belum mengerti apa-apa yang tiba-tiba.... hamil aja... hahahha... dua bulan terakhir dah siap-siap mau ditinggal. Ugh.... ampyun deh. Kalau difilmin pasti judulnya "air mata pengantin baru" atau..."cengeng-cengeng penganti baru" (kenapa mirip judul sinetron ganteng-ganteng srigala?).

Di kota ini juga, aku yang selama sebelum menikah hidup selalu dilayani oleh pembantu rumah tangga, tiba-tiba harus mengerjakan segala sesuatunya seorang diri. Mana punya anak, mana gak ada saudara, mana gak ada tetangga yang bisa dititipi atau direpotkan, mana gak bisa masak, mau nelpon ke Indonesia mahal,  mana gak bisa bahasa inggris lagi. hahahahha... yang terakhir ini yang ngenes sodara-sodara.

Tahun pertama dan tahun kedua, aku tinggal di sebuah rumah sederhana. Bayar sewanya murah karena ini rumah tua. Cuma satu kamar dengan ruang keluarga yang besar. Begitu masuk langsung ketemu dapur. Sebenarnya, ini bagian dari rumah seseorang, yang lalu dibaginya. Sepertiga rumah inilah yang lalu disewakan. Aku membesarkan putra sulungku di rumah ini.

ini dia rumahnya yang mungil di tengah itu: 599 anzac parade, maroubra

tempat sampah yang bergelimpangan di pinggir jalan itu karena sepertinya foto ini diambil oleh google ketika hari pengambilan sampah. Jadi, tiap-tiap rumah mendapat tempat sampah dari pemerintah dan setiap seminggu sekali isi tempat sampah itu akan diambil oleh sebuah truk pengangkut sampah. Nah, buat yang sampahnya banyak banget, silahkan beli tempat sampah tambahan sendiri deh tapi yang bentuknya kayak gitu. karena memang truk sampahnya otomatis jadi ujung tempat sampah bisa pas di tangan pengapit truk sampahnya


Dan ini adalah suasana jalan Anzac Parade yang ada di depan rumahku. Lebar, lega, tidak terlalu ramai meski dilalui oleh bis-bis besar. Orang-orang sini lebih suka jalan kaki dan menggunakan bis daripada menggunakan mobil pribadi. Itu sebabnya jalanan jarang yang macet.

Lalu, rumah yang aku tempati di tahun ke tiga dan seterusnya hingga aku kembali ke Indonesia adalah sebuah apartemen.
Kenapa tinggal di apartemen? Karena.... pingin nyobain aja kayak apa sih tinggal di apartemen itu. hehehehe. Jadi sengaja banget emang sejak awal tidak mencari rumah lagi ketika sewa rumah pertama selesai karena kami memang ingin merasakan tinggal di apartemen.

Oh ya... tadi kan aku bilang ya, gak enaknya tinggal di Sydney itu salah satunya karena tidak punya tetangga yang bisa dimintai tolong. Nah... sebenarnya, ini karena suamiku saja yang iseng memilih lingkungan yang seperti ini.

"Sebenarnya ada De, lingkungan dimana orang-orang Indonesia banyak berkumpul. Yaitu di daerah Rainbow street dan sekitar Kensington sana. Tapi.... kamu gak berminat untuk memacu diri agar bisa belajar bahasa inggris, cinta?" (note: kata cinta- disini adalah tambahan dariku... hehehehe.. boleh dong berimprovisasi sedikit dalam bercerita?)

"Kalau kita mau, kita bisa tinggal di lingkungan Rainbow Street loh De. Tapi... aku lebih suka kamu berkembang menyesuaikan diri dengan lingkungan baru daripada merasa aman di lingkungan yang bikin kemampuan kamu malah gak berkembang."

Yup. Itulah salah dua jawaban-jawaban suamiku ketika aku mengeluh betapa "sepi ya?"... "capek deh".. "duh repot".. "huhuhu aku kesepian"... pada suamiku. Dan itulah sebabnya lingkungan pilihan suamiku adalah lingkungan dimana orang-orang bule berjaya tinggal disana. Orang Asia-nya sedikit banget. sekalinya ada pasti yang sudah tidak ada jejak Asia-nya sama sekali. Sebagian lagi kebanyakan dari bangsa Fiji, Spanish, Italia dan negara-negara lain yang bahasanya aku gak ngerti jadi "kami berbahasa satu: bahasa inggris."

Nah... ini nih rumah keduaku dulu...

Ini apartemen kami. Kami tinggal di lantai paling atas, lantai 4. Ada sebuah jendela besar di kamar tidur kami yang menghadap ke langit luas sehingga setiap malam aku bisa memandang bintang dan bulan atau hamparan langit malam.

Sedangkan ini adalah jalanan yang harus aku lalui jika ingin pergi kemana saja. Sepiii banget jalanannya. Sekalinya ramai paling jika keluarga Italia yang tinggal di garasi warna putih itu sedang sahut-sahutan dengan sesama anggota keluarga mereka dengan bahasa Italia. Yang aku mengerti dari bahasa mereka cuma satu kata: Darling. hahahaha



Setibanya di Sydney kemarin, ini percakapanku dengan anak-anakku.

"Oh.. berarti ibu di Sydney belajar bahasa Inggris dong dulu pas baru punya aku?" (anak sulungku nih yang ngomong)
"Iya... kan ada program untuk pasangan student yang tidak bisa berbahasa inggris."
"Lama bu?"
"Lumayan. Kalau lagi kursus, kamu ibu bawa ke tempat kursus terus ibu taruh aja di lantainya. Kan lantainya berkarpet tuh kelasnya. Kasih mainan, kamu anteng main sendiri di kaki ibu." (anak sulungku tersenyum)
"Terus... sekarang.. masih ingat bu semua bahasa inggris yang pernah ibu pelajari dulu?"
"Hehehehe... nggak. Cuma inget I love YOu aja."
"Dasar.... aku dah nebak sih."
"Ehhh... jangan salah, ibu setelah melahirkan Arna juga ikut kursus lagi. Yaitu kursus untuk para migran yang tidak bisa berbahasa Inggris yang diselenggarakan oleh Pemerintah." (suamiku menambahkan keterangan yang berakibat fatal... yaitu:...)
"Okeh. Berarti ibu dua kali kan ikut kursus bahasa Inggris. Sekarang ibu bisa gak bahasa inggris?"
"heheheh.... ibu orangnya istiqamah nak. Sekali tidak bisa, tetap tidak bisa." (sambil mesem-mesem membela diri)
"Ngaco. Itu bukan istiqamah namanya... bilang gak bisa aja pake ngeles..." (hahahahahha... jawaban anak sulungku emang suka ngeselin emang. Enaknya dijitak sih.. sayang anak sendiri; kalau nangis kita juga yang repot kan? Kalau anak orang kan bisa ditinggal lari setelah dijitak... hahahahaha).

Eh.. bersambung lagi ya ceritanya. Mau jemput anak bungsuku pulang sekolah dulu deh.



Liburanku: Mau Kemana di Cuti Hari Raya?

Hai..hai... sudah lama tidak ngeblog. Tepatnya... sejak pekan balik kampung dimulai menjelang hari Raya Idul Fitri kemarin.
Kalian semua pada kembali ke kampung halamankah? Seru dong ya.
Hmm.... aku, karena lahir dan besar lalu berkeluarga dan menetap di Jakarta, maka bisa dibilang tidak punya kampung halaman. Karena, kampung halamanku ya kota Jakarta ini.

Itu sebabnya setiap kali liburan alias cuti bersama dalam rangka hari raya Idul Fitri, aku sekeluarga cuma bisa tersenyum saja melihat kesibukan teman-teman yang bersiap-siap akan berangkat Balik Kampung alias mudik. Sejak orang tuaku meninggal, praktis bisa dikatakan kebiasaan untuk mengunjungi sanak saudara di hari raya pun berakhir.

Di tahun pertama ayah meninggal dunia, yaitu tahun 2010, aku dan saudara-saudaraku masih berupaya meneruskan tradisi berkumpul bersama keluarga besar di hari pertama sesaat setelah Shalat Idul Fitri dan ziarah ke makam orang tuaku selesai dilakukan. Saling bersalaman, maaf memaafkan, lalu makan ketupat dan opor-rendang-sambal goreng hati dan kuih muih khas hari raya.

Tapi ketika jarum jam semakin mendekati pukul 11 siang, kakak dan adikku mulai gelisah. Mereka masih lengkap mertuanya jadi mereka juga ingin berkunjung ke rumah mertua masing-masing. Jadi, terpaksa sebelum pukul 11 siang, kami sudah harus berpencar. Yang masih punya mertua segera beterbanngan ke rumah mertuanya masing-masing.

Dan aku?
Nah... itu dia.
Aku sudah tidak punya mertua lagi. Suamiku sudah yatim piatu bahkan sejak beliau masih kecil (ibunya meninggal dunia ketika suamiku berusia 1,5 tahun, sedangkan ayahnya meninggal dunia ketika suamiku duduk di tahun pertama perkuliahan). Suamiku diasuh oleh kakak-kakaknya sejak kecil dan ketika dia sudah berkeluarga, kakak-kakaknya sudah sepakat untuk mengadakan halal bihalal keluarga besar di hari kedua lebaran. Jadi... hari pertama memang diperuntukkan untuk mengunjungi keluarga atau mertua yang masih lengkap.

Jadi aku sendiri?
hehehe... tidak ada siapa-siapa lagi yang harus dikunjungi. Pun tidak punya siapapun untuk dikunjungi. Tetanggaku juga banyak yang balik kampung.

Akhirnya.... tahun pertama setelah kematian ayah, pukul dua belas siang aku sudah jalan-jalan di Mall.

Tahun kedua setelah ayah meninggal, kakak semakin "rempong" ingin berangkat ke rumah mertuanya karena merasa tahun sebelumnya dia termasuk keluarga yang paling telat datang di rumah mertuanya. Begitu juga adikku yang punya mertua. Akibatnya, pukul 10 siang, kami sudah diminta untuk meninggalkan rumah kakak karena kakak ingin pergi ke rumah mertuanya dan kami pun kembali pulang ke rumah.

Bengong.

Dan.... "ayo kita jalan-jalan ke Mall."

hahahhaha.... nggak enak banget deh lebaran jalan ke Mall itu. Bukan apa-apa. Tapi, Mall-nya sih katanya buka jam 12 siang, tapi, kadang suka mulur pintunya dibuka. Jadi, aku sekeluarga seringnya sih duduk-duduk dulu di depan bangku tunggu yang ada di Mall.
(sebenarnya selain Mall ada juga tempat hiburan lain yang bisa dikunjungi seperti Taman Mini Indonesia Indah, Ragunan atau Ancol. Tapi, muacettttt-nya puaruaaahhh. Malesi banget.

Kenapa gak jalan-jalan ke tempat lain?
Jawab: Emang ada yang buka lebaran-lebaran ini? Sudah taksinya luamua buanget nunggu ya, berebut pula, dan di tempat-tempat makan pinggir jalan itu, yang rasanya ayep dan gak enak itu, harganya dipasang tinggi-tinggi sekali. Ugh. Bikin sebal.

Kenapa gak di rumah aja nonton tivi?
Hellloooowww.... malas ah. Bikin sedih ajah deh lebaran cuma di rumah aja dan nonton acara-acara siaran ulangan.

Akhirnya, tahun ketiga setelah ayah meninggal dunia, yaitu sejak tahun 2011... suamiku mulai berinisiatif yang berbeda.

"Ayo, kita liburan ke luar negeri saja yuk cuti lebaran ini?"

Wah. Ide yang manis.

Mengapa memilih ke luar negeri?

1. Ternyata eh ternyata, setelah dipersandingkan dengan tiket tujuan kota-kota yang ada di seluruh Indonesia, tiket ke luar negeri itu lebih murah sodara-sodara. Tiket tujuan kota-kota yang ada di Indonesia menjelang hari raya naiknya seperti roket. Berlipat-lipat ganda dan ehem... berebutan untuk mendapatkannya.
Jadi... mending beli tiket ke luar negeri.

2. Ternyata lagi nih. Di luar negeri, meski hari raya sedang berlangsung, harga-harga makanan, oleh-oleh, penginapan dan alat transportasi tidak mengalami perubahan. Jadi, yang namanya Curry Puff (ini sebutan untuk pastel di negara Malaysia) tetap saja 1 ringgit; tidak berubah jadi 2 ringgit meski sedang hari raya.

3. Karena suasananya suasana liburan, maka tentu saja kegembiraannya bisa didapat. Berbeda dengan suasana lebaran tapi tidak bisa merayakan lebaran di negeri sendiri seperti yang aku alami setelah dua tahun kematian ayahku.
Sedih.
Sepi.
Kangen.
Tapi tidak ada yang bisa ditemui dan disapa karena masing-masing sibuk dengan keluarga masing-masing (resiko sudah berkeluarga semua ya sodara-sodara).

Dan trata taraaaaa....
di tahun ketiga setelah ayah meninggal dunia, yaitu tahun 2011, aku mulai menjalankan sebuah tradisi baru: berlibur. Kami memulainya ke Malaysia.
di tahun 2012, ke Singapura.
tahun 2013, ke Malaysia lagi.
Dan tahun ini, alhamdulillah ke Sydney, Australia.

Nah... tulisanku berikutnya adalah oleh-olehku selama liburan terakhirku ini.


Ini foto dari celengan keramik kakek-nenek yang sedang duduk bahagia di atas kursi goyang. Celengan ini adalah hadiahku untuk suamiku menjelang kami ingin menikah dulu.