Assalamu'alaikum Ibu (2)

[Keluarga] Assalamu'alaikum Ibu 
(ni salamku yang kedua yang aku berikan padamu lewat tulisan)
Ibu... bagaimana kabarmu saat ini? Apakah engkau menerima salam yang aku titipkan dalam doa-doaku setiap malam?


Doa yang aku selipkan untukmu dan ayah sekaligus. Doa yang aku haturkan dengan suara yang samar-samar, bahkan setengah berbisik karena aku tidak ingin ada orang lain yang mendengarnya; dengan harapan seluruh muatan doa itu akan terserap langsung menuju ke 'Arsy Allah, utuh dan penuh; tanpa ada yang menirunya, tanpa ada yang membocorkannya. Aku ingin doaku adalah persembahan spesialku untukmu ibu. Dan dalam setiap doaku, ada bulir rindu yang terselip di dalamnya. Apakah ibu bisa mengetahui hal itu? Perihal rinduku itu. Rindu yang spesial.

Ya. Bukan cuma doaku yang selalu spesial untukmu. Rinduku padamu juga spesial. Rindu ini hanya milikmu saja.

Ibu, untuk perkara rindu pun, aku memang tidak mau berbagi.
Entahlah bu, apa yang terjadi pada diriku saat ini aku juga tidak mengerti. Jika saja rindu di hatiku harus ditempatkan, aku tahu akan banyak sekali wadah yang harus digunakan untuk menampungnya. Itupun tiap-tiap wadah akan meluber isinya. Rindu yang aku miliki saat ini benar-benar sudah membludak. Tapi... rindu yang aku miliki ini memiliki wujud yang aneh.
Aneh sekali bu.
Aneh.
Karena aku merasa amat rindu padamu. Rindu yang teramat sangat. Tapi... sekaligus aku lupa... lupa bagaimana rupa wajahmu. Aku juga lupa dengan bayangan sebesar apa tubuhmu. Dan semua lupa yang aku miliki saat ini membuatku semakin rindu padamu. Dan ketika rindu itu terasa kian menggerus kalbuku, aku pun mulai merasakan derita karena lupa pada sosokmu.
Itu sebabnya aku sering menangis ketika aku menyampaikan doaku pada setiap doa seusai Tahadjutku. Aku merasa amat tersiksa, Bu. Aku ingin mengingatmu tapi aku lupa bagaimana rupa wajahmu.

Aku ingin mengenangmu, tapi aku lupa bagaimana bentuk tubuhmu.
Aku ingin memutar kembali semua kenangan kita tapi aku lupa corak warna suaramu.
Oh ibu... kenapa setiap kali waktu yang datang menghampiriku selalu menggerus ingatanku padamu?

Akhirnya... yang aku alami sekarang adalah.. rindu pada bayanganmu yang aku tidak bisa menggambarkannya seperti apa itu sebenarnya? Dan rindu seperti ini amat menyakitkan hatiku bu. Apakah karena sudah berbilang 10 tahun engkau meninggalkan aku, meninggalkan dunia ini?
Sekarang. Yang aku bisa kenang hanyalah kisah-kisah kenangan kebersamaan kita saja. Ada banyak sekali kisah-kisah yang menggelikan, mengharukan, hangat, bikin gerah, sekaligus bikin gemas. Itu saja yang bisa aku kenang tentang dirimu.

Ibu....
Terima kasih ya karena engkau masih tetap hadir dalam mimpi-mimpiku meski kehadiranmu selalu dalam kondisi diam membisu dan ketika keadaanmu masih muda dahulu. Aku tahu, sosokmu yang hadir dalam mimpiku adalah sosok yang aku temui ketika aku masih kecil dahulu. Sebelum tubuhmu terhinggap berbagai penyakit. Yaitu saat ketika kau memiliki penampilan terbaikmu.  
Ibu. Ade kangen.... pake banget.

-------------------
Catatan nggak penting buat orang lain tapi penting buatku: Ibu pernah datang terakhir kalinya dalam hidupku ketika aku berulang tahun pada 26 September 2003 (ibu meninggal 18 april 2003) ketika aku benar-benar merasa rindu padanya. Dia berbaring tepat di sebelahku. Tanpa kata. Berbaring diam telentang. Dan aku juga telentang. Kami berdua telentang. Menatap langit-langit kamarku. Bingung mau ngomong apa meski dada ini sudah serasa ingin meledak karena menahan rindu. Mau memeluk dia tapi sadar itu Cuma bayangan jadi aku takut jika aku ngotot memeluknya dia akan segera menguap pergi dan menghilang. Dan ketika aku tahu harus ngomong apa, aku pun berbalik menghadapnya. Lalu perlahan berkata:

"Bu, ...." Ibu tersenyum menatapku.

Sehari sebelum ibu meninggal dahulu, beliau memang baru pulang dari kunjungan ke Palembang. Ibu memberikan kacang goreng cemilan selama di pesawat padaku. Dan aku menolaknya ketika itu.

 "Ibu nih, emangnya ade anak kecil apa dikasi kacang goreng segala."

"Sudah, simpan saja jika memang kamu gak mau. Siapa tahu ada gunanya." Aku masih bersungut-sungut kesal. Aku memang anak yang paling benci jika ibu memberiku sesuatu karena aku selalu merasa aku bisa melakukan segalanya tanpa bantuan beliau lagi karena aku memang sudah besar, sudah menikah dan sudah mandiri. Aku benci jika ibu memperlakukanku seakan-akan aku masih anak-anak yang masih harus dibantu sepenuhnya. Bahkan, meski kenyataannya kondisiku kadang amat butuh bantuan sekalipun, aku tetap seorang perempuan yang paling benci jika harus menghaturkan permohonan pertolongan pada orang lain (tapi jika kondisi benar-benar terdesak ya apa boleh buat, meski dalam hati bencinya setengah mati). Di sisi lain, ibuku adalah perempuan yang gemar membantu orang dan aku adalah perempuan yang nyaman dengan kesendirian dan kemandirianku. Kami dua paradoks yang serasi bukan? Itu sebabnya, kami sering berselisih paham karena aku selalu menolak semua pemberiannya sedangkan ibu selalu mencoba untuk memberikan segalanya untukku. Aku selalu berusaha menunjukkan pada ibu bahwa aku adalah seorang dewasa yang 'independent' sedangkan ibu selalu memperlakukan aku sebagai seorang anak yang selamanya adalah "anak yang memerlukan bantuan dari ibunya" baginya.

Lalu, besoknya ibu meninggal dunia dan sebungkus kacang goreng itu ada dalam tasku hingga lama sekali. Hingga suatu hari, aku naik taksi bersama dua anakku dan ketika membayar taksi aku salah memberikan uang. Aku membayar argo Rp15.000 dengan uang Rp105.000. Salah lihat uang, kukira sepuluh ribu padahal seratus ribu dan itu uang terakhir di dompetku dan taksinya sudah keburu kabur cepat-cepat.  Sekejap saja duitku habis. Jadilah dari tempat pengajian aku berjalan kaki ke rumah bersama dengan dua bocahku yang masih kecil-kecil. Di tengah jalan, dua bocahku ini merasa lapar dan aku tidak punya uang. Lalu ketika aku merogoh tasku, aku menemukan sebungkus kacang goreng terakhir pemberian ibuku. Aku berikan pada dua bocahku. Mereka makan dengan lahap dan itu membawa keceriaan tersendiri hingga mereka bisa sampai di rumah dengan berjalan kaki yang jauhhh sekali. Dan aku menangis terharu diam-diam. 
Ibu benar.  
Ternyata ibuku benar. Suatu hari kacang pemberian ibu memang berguna karena ternyata, se-independent' atau se-mandiri'nya diriku, aku tetap tidak bisa berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. 
Duh. Dalam hati aku menangis karena merasa bersalah, kenapa aku begitu sombong ya dahulu? Padahal, jika aku mengatakan terima kasih untuk bantuannya pasti ibu akan merasa senang karena keinginannya untuk membantu tersalurkan dan itu sama sekali tidak merugikan diriku. Duh. Kenapa dulu mahal sekali mengucapkan terima kasih? 

Akhirnya... aku tahu apa yang harus aku katakan ketika ibu tiba-tiba hadir di sisi pembaringanku, di hari ulang tahunku 26 september 2003 itu.
Cepat aku membalikkan badan dan mulutku bersiap untuk mengucapkan terima kasih ketika.... bayangan ibu menghilang perlahan hingga benar-benar menghilang. Sisa senyumannya benar-benar hanya terlihat sejenak sekali. Jadi... pada tanggal 26 september 2003, di ulang tahunku di siang hari kala itu, aku hanya bisa menangis... hanya karena merasa gagal mengucapkan "Bu, terima kasih untuk segalanya selama ini."

Dan sejak itu... bayangan ibu tidak pernah hadir lagi dalam hidupku.
Hingga akhirnya aku merasa.. "kenapa semakin lama aku semakin lupa wajah terakhir beliau? Bentuk tubuh beliau? Warna suara beliau?"

Ahhh...

18 april 2003, beberapa jam sebelum ibu meninggal, adikku cerita bahwa di pesawat yang membawa ibu kembali ke Jakarta, ibu terus menerus melihat foto ini di pesawat, fotoku dan anak perempuan yang nomor dua. Beberapa hari setelah penguburan, foto ini dikembalikan padaku. Ternyata, hanya ada satu foto anaknya di dalam tas ibu, yaitu fotoku saja. 

-------------------
penulis: ade anita
tulisan ini diikut sertakan dalam give awaynya Metahanindita: #DWTBAM

4 komentar

  1. Aih... terharuuuuu... Mbak Ade kalau nulis selalu kompliiiit banget :)

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. paket komplit & special hehehe. Good luck mbak

      Hapus
  3. WAALAIKUM SALAM, ME KASIH BUAT BUAT IBU ANITA, UDAH NYEMPETIN NULIS DAN NGIRIM GAMBAR NYANG BAGUS. SALAM DARI TAUFIQ ABDULLAH DARI SANGGAR SIRIH DARE.

    BalasHapus