Siapa yang Harus ditaati: Suami atau Ibu?


Menaati Suami atau Ibu?
Kafemuslimah.com, rubrik: Wanita Bertanya Ulama Menjawab – Sunday, 15 May 2005
Tanya
Saya mempunyai anak perempuan yang telah kawin hampir dua tahun lalu. Selama ini dia dan suaminya tinggal bersama di rumah saya. Tetapi setelah itu suaminya mengajaknya pindahl Karena kesalnya, saya bersumpah, jika mereka pindah, saya tidak akan mengunjunginya dan tidak akan memasuki rumahnya.
Sekarang dia telah pindah, hamil, dan punya anak. Dia dan suaminya sering mengunjungi saya. Yang membingungkan saya, bagaimana pemecahan masalah ini? Apakah saya dibenarkan memasuki rumahnya?



Jawab
Saudara penanya telah melakukan banyak kesalahan dalam hal ini. pertama, mengira bahwa anak perempuan dan suaminya wajib hidup bersama (orang tua atau mertua) selamanya. Kedua, menganjurkan anak perempuannya itu untuk tidak mengikuti suaminya, karena mengira bahwamenaati seorang ibu harus didahulukan daripadi menaati suami. Ketiga, bersumpah tidak akan mengunjungi anaknya kalau ia ikut suaminya. Problematika yang ditanyakannya itu ternyata diciptakannya sendiri dengan tangannya.
Di antar ahak suami ialah keluar bersama isterinya untuk hidup mandiri dalam rumah tersendiri. Hal ini tidak terlarang kalau ia mampu. Barangkalai ini akan lebih menjauhkan problema yang selama ini terjadi antara si lelaki dengan mertuanya, yang mengeruhkan kejernihan hubungan kekeluargaan.
Bagaimanapun apabila saudar apenanya menyesali peristiwa yang terjadi dan ingin mengunjungi puterinya, lebih-lebih karena ia membutuhkannya, maka sejak dahulu Nabi saw. telah memberikan pemecahan lewat haditsnya yang shahih:
Barangsiapa yang bersumpah dengan suatu sumpah, lalu ia melihat selain yang disumpahkanny aitu lebih baik daripadanya, maka hendaklah ia tunaikan yang lebih baik itu, dan hendaklah ia membayar kaffarat dari sumpahnya (HR Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi dari Abu Hurairah)
Kalau seseorang bersumpah untuk tidak mengunjungi kerabatnya dan tidak menyampun gsilaturahin, apakah ini berarti ia harus memutuskan hubugnan kekeluargaan dan melakukan dosa besar yang merusak disebabkan sumpah ini? Apakah sumpahnya itu menjadi penghalang baginya untuk melakukan kebaikan? Tidak, tidak demikian! Al Quranul karim mengatakan:
“Janganlah kamu jadikan( nama) Allah dalam sumpahmu itu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa, dan mengadakan ishlah di anar amanusia. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Al Baqarah:224)
Maksudnya jangalah kamu jadikan nama Allah sebagai penghalang untuk melakukan kebajikan dan ishlah diantara manusia. Sumpah tidak disyari’atkan untuk itu.
Karena itu apabila seseorang bersumpah dengan sumpah seperti itu. Syari’ (Pembuat syariat) memberikan jalan keluar yang berupa kaffarat (“Maka hendakla ia membayar kaffarat sumpahnya, dan melaksanakan yang lebih baik itu”).
Saudara penanya menyadari kesalahan sumpahnya, lantas ia wajib membayar kafarat dan mengunjungi anak perempuannya. Kaffarat boleh ditunaikan sebelum mengunjungi anaknya atau sesudahnya. Silahkan ia mengunjungi anaknya dan membayar kaffarat sumpahnya dengan memberi makan kepada sepuluh orang miskin dengan makanan yang biasa dimakannya denga keluarganya.
Inilah jalan keluarnya dan ia tidak boleh memutuskan hubungan kekeluargaannya, tidak boleh memutuskan hubungannya dengan anaknya, lebih-lebi hia sangat memerlukan bertemu dengannya, sebagaimana yang dikatakannya

Tidak ada komentar