Faradina Izdhihary: perempuan yang tidak kenal kata menyerah


Saat ini, detik ini, jika ada yang bertanya apa yang paling aku inginkan terjadi pada diriku, jawabanku adalah:
1. menjadi langsing tapi tetap sehat;
2. menjadi penulis-memiliki buku-dan mengelola penerbitan sendiri dimana bisa menerbitkan buku sesuai jenis dan genre yang kusukai;
3. sayang dan sekaligus disayang oleh keluarga;
4. melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi orang lain dan mencintai kegiatan tersebut.

Sayangnya, semua itu belum bisa aku dapatkan. Itu sebabnya aku amat mengagumi temanku ini: Faradina Izdhihary (perempuan yang memiliki nama asli Istiqamah). Dan Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu ketiga dengan tema: perempuan inspiratifku.



Saya mengenal Mbak Farad (demikian saya kerap memanggilnya)tahun 2010 yaitu ketika kami berdua sama-sama aktif di sebuah group penyuka sastra yang digawangi oleh seorang sastrawan senior.  Beliau bisa dibilang menjadi salah satu anak kesayangan sang senior sastra tersebut; terlihat dari pujian dan perhatian dari sang senior terhadap karya sastra dia baik berupa puisi, cerpen atau essay. Pisau bedah sang senior kerap membedah karyanya dan sebagai seorang penikmat "adegan operasi karya sastra" saya menjadi hafal beberapa nama yang namanya sering muncul di permukaan dalam acara bedah karya tersebut, dimana salah satunya adalah nama beliau. Lalu, saya pun meng-add namanya di facebook untuk menjadi salah satu teman facebook saya. Dan setelah menjadi teman, saya pun puas merambah notes-notes facebook beliau yang penuh dengan puisi dan essay yang kental dengan nuansa sastra. DIskusi beliau dengan teman-teman yang menguasai sastra pun sering saya ikuti diam-diam. Saya menjadi pengamat dan murid yang belajar diam-diam dari kegiatan diskusi tersebut. Beberapa orang yang terlibat dalam diskusi tersebut, saya add sebagai teman saya dan memberanikan diri untuk terlibat dalam diskusi mereka dan mulai menabung ilmu dari keterlibatan saya dengan mereka.

Hingga suatu hari, tiba-tiba saja Mbak Farad terlibat perselisihan dengan sang senior sastra yang kerap kami anggap sebagai guru di group penyuka sastra tersebut. Perselisihan itu ramai sangat hingga terjadilah sebuah SPLIT atau pertikaian yang menyebabkan ada dua kubu yang bercabang. Yang satu mengaku sebagai pendukung sang guru sedangkan yang lain mengaku sebagai pendukung Mbak Farad. Lalu, dimana saya berada?
Saya tidak berada di antara mereka berdua. Saya tidak memilih siapapun. Meski demikian, saya memberanikan diri untuk bertanya pada Mbak Farad, kenapa dia berselisih? Jawabannya adalah:

".... setiap orang membutuhkan pegangan buat berjalan, membutuhkan payung buat berlindung saat hujan, dan membutuhkan cahaya untukmenempuh jalan yang kadang gelap dan temaram. Namun, tak bijak bila terus berpegangan, atau berpayung meski hari tak hujan atau mendung. So, bila telah lewat masanya pendidikan di kelas ...., mengembaralah! Sesaplah ilmu di bangku lain sastrawan, dan kau pasti akan gemilang. Percayalah, kau akan mampu membiaskan lebih banyak warna dalam tulisan-tulisanmu."

Jadi, menurut Mbak Farad, kita harus menghormati guru kita; tapi jangan karena penghormatan tersebut lalu menyebabkan kita terlalu mengagungkan bahkan hingga mengkultuskan guru kita tersebut. Toh guru tersebut tetap manusia biasa. Dan ketika guru tersebut sampai menyebut dirinya tuhan, meski tulisan tuhan itu dalam huruf kecil dan dalam kaitannya dengan dunia sastra, bukan dunia agama, tetap saja itu sebuah kesalahan besar yang harus ditentang. Mbak Farad tidak setuju jika hanya karena pujian dan pompa semangat yang telah diberikan oleh guru tersebut pada kita lalu itu membuat kita jadi mengkultuskan dia. Karena sesungguhnya, ketika kita mabuk dengan pujian dan pompaan semangat hingga membuat nyaman, kita justru tanpa sadar telah masuk ke dalam jebakan "stagnan di posisi aman hingga justru tidak mau berkembang atau beranjak".
"..Yuk ah majukan sastra Indonesia, di koran, majalah, atau internet tak masalah. Kita bisa mengambil posisi dimana kita hendak ambil peran. Tak perlu saling menyerang atau menjatuhkan. Hidup adalah pilihan.
Adalah bijak jika sesekali merenungi bahwa "Kalimat-kalimat pahit yang dilontarkan lawan atau orang yang membenci kita, biasanya lebih Jujur dalam mengungkap kekurangan kita."
Bukankah akan menjadi indah bila menjadikannya sebagai masukan?"

Nah. Kejadian inilah yang membuat saya, yang semula hanya mengagumi karya sastra beliau, mulai beranjak menjadi menyukai prinsip beliau yang berani beliau perjuangkan. Apapun resikonya (beliau diremove dari pertemanan dengan beberapa teman yang berada satu kubu dengan sang guru; beliau diblock oleh sang guru sendiri; dan beliau juga terus dibully lewat kata-kata oleh para pembela sang guru).

Ini memberi saya inspirasi tersendiri: bahwa tidak usah gentar ketika kita membela sebuah kebenaran. Bisa jadi semua orang akan menjauh dan popularitas pun turun; tapi selama Allah bersama kita maka semua itu tidak ada artinya sama sekali. Karena kebenaran tetap menjadi kebenaran dan ketika semua badai telah menghiilang, yang tersisa adalah kita tetap menjadi seorang pemenang yang terus berpegang pada kebenaran.

Peristiwa menginspirasi kedua yang temui dari sosok Mbak Farad adalah ketika beliau menulis notes betapa bahagianya beliau karena pola hidup sehat yang dijalaninya saat itu telah menghantarkannya memiliki tubuh yang tidak lagi gemuk, terasa berat kemana-mana, dan banyak mengundang penyakit. Kebetulan, saya berada pada posisi yang nyaris sama dengan beliau yaitu: merasa gemuk dan kegemukan saya ini rasanya telah mengundang datangnya beberapa penyakit pada tubuh saya.

Jujur saja, menjadi gemuk itu amat mudah. Mudah sekali bahkan. Kita tinggal makan apa saja, makan kapan saja, dan makan dimana saja. Tidak ada batasan, tidak ada ukuran dan tidak ada pantangan. DIjamin deh kita bisa gemuk dengan mudah (oke. Pasti ada pembaca yang bilang, "ah, aku kayaknya mau banget deh gemuk tapi gak bisa. Saya akan tanya: udah ngejalanin itu belum yang saya katakan di atas: makan tanpa batasan, makan tanpa ukuran, dan tidak ada pantangan? Pasti deh jawabnya ragu-ragu. Karena biasanya, yang mengaku bertubuh kurus dan mengeluh kurus adalah orang-orang yang punya batasan terhadap makanan."

Nah, saya kebetulan adalah orang yang dahulunya menjalankan pola makan yang " tidak ada batasan, tidak ada ukuran, dan tidak ada pantangan." Saya menjalankan itu semata karena dulu merasa dikaruniai perut karet jadi tidak akan bisa gemuk (ukuran makan saya ketika masih gadis dulu itu seperti kuli. Muncung dan menjulang serta penuh hingga ke pinggir piring. Bahkan dulu, hahahaha, pernah ada calon cowok yang naksir saya, jadi mundur gara-gara melihat cara makan saya yang menurutnya "gak kayak makan cewek deh lo. Lebih mirip kuli.". hahahahha. Ups.).  Sayangnya, kondisi "perut karet" itu ternyata hanya terjadi sebelum saya hamil dan melahirkan saja. Sepertinya "karet" di perut saya retas semua ketika saya hamil dan melahirkan. Jadi, dengan kebiasaan makan yang tidak berubah tapi kondisi perut "yang sudah berubah" maka saya pun mulai mengalami kondisi kegemukan. Dan ketika sudah mulai merasa kian kegemukan, saya mulai merasakan "sulitnya mengurangi berat badan.". Jadi, jangankan menjadi langsing dan sehat, menjadi langsing saja susahnya minta ampun. Lalu, saya sempat tergoda dengan ajakan beberapa orang teman dengan pola "melangsingkan tubuh dengan cepat" yang mereka jalankan atau tawarkan. Wah. Nyaris saja setuju dengan penawaran tersebut. Beruntungnya saya sebelum itu dilakukan, saya sempat membaca notes dari Mbak Farad tersebut, dan dilanjutkan dengan ngobrol dengan beliau tentang pola menurunkan berat badan sekaligus tetap sehat yang beliau jalankan.

Jadi, ternyata Mbak Farad ini dulunya juga sempat menjalankan pola melangsingkan tubuh lewat cara-cara yang marak dilakukan oleh para perempuan gemuk lain. Mbak Farad sudah pernah menjalankan program pelangsingan tubuh di sebua salon kecantikan. Bahkan menurut pengakuannya, dia pernah menghabiskan uang 20 juta demi ikut program pelangsingan tersebut. Setelah langsingan, beliau berhenti program. Eh, hasilnya gendut lagi, bahkan lebih gendut dari sebelum ikut program.

Tapi buka Mbak Farad namanya jika gampang putus asa (Mbak Farad orangnya selalu optimis dan tidak mudah menyerah memang dalam banyak hal). Mbak Farad lalu ikut senam, tidak puas, pindah ke Gym, bahkan sampai membayar "personal trainer" dengan bayaran Rp55.000/kedatangan. Tapi semua hasilnya ternyata tidak juga memuaskan hatinya. Setelah 4 bulan dan merasa bisa mandiri, Mbak Farad memutuskan untuk membeli beberapa alat Gym dan melakukannya sendiri di rumah. Tapi, hasilnya ternyata tidak memuaskannya. Akhirnya, pada suatu hari di sebuah klinik Mbak farad bertemu dengan seorang perempuan yang langsing dan cantik. Dari ngobrol dengan perempuan itu ternyata dulunya perempuan itu bertubuh gendut, lebih gendut dari diri Mbak farad. Sejak itulah Mbak Farad menjalankan program diet sehat dan terkendali. Yaitu tidak makan gorengan, ngurangi kopi, banyak makan buah dan sayur serta rajin berolah raga. Hasilnya: dia pun bertubuh langsing. Tapi, semua ini harus berkesinambungan, jangan hangat di depan saja. Nah, cara dia untuk langsing ini yang memberi saya inspirasi kedua kalinya. Saya jadi ikut-ikutan semangat untuk melakukan hal yang sama dengan dirinya: menjadi langsing tapi tetap sehat terkendali.

Inspirasi ketiga, yaitu perjalanan dia dalam menapaki dunia tulis menulis.

Tahu gak? Sebelum dia aktif bertelur karya seperti sekarang, Mbak Farad ini sebenarnya dilarang menulis oleh suaminya. Mbak Farad ini amat menyukai menulis. Saking sukanya dia suka lupa waktu untuk menulis guna menyalurkan semua ide yang bermunculan di kepalanya. Itu sebabnya ayahnya melarang dia menulis. Lalu setelah dia menikah, suaminya meneruskan larangan tersebut. Karena khawatir dia tidak bisa membagi waktu dengan baik (sebagai guru, ibu dan harus menyelesaikan sekolah S2). Ketika facebook mulai terkenal, suaminya juga termasuk orang yang "tidak ingin bersentuhan dengan facebook".  Tapi, sebagai seorang guru bahasa Indonesia keinginan untuk "bisa menghasilkan tulisan" terus mengganggu pikirannya. Suaminya akhirnya merestui dia untuk menulis dan memanfaatkan facebook sebagai media untuk belajar menulis, dan mensiarkan hasil tulisan yang memberi manfaat.



"Hm... jujur, sebagai guru Bhs Ind di SMa, sekaligus guru sastra Ind di kelas Bahasa salah satu yang menggelisahkanku adalah selama ini aku telah melakukan pengkhianatan dan ketidakadilan pada para muridku. Aku hanya selalu memberi tugas menulis pada muridku, tapi tak pernah menulis.
Kesadaran yang menampar-nampar nuraniku sejak tahun 2006. Sejak itu,maka bila kutugaskan pada muridku untuk nulis cerpen, aku juga menulis bersama mereka. jika kutugasi mereka meulis puisi, aku juga menulis bersama mereka, dan juga membaca bersama mereka. tapi, aku tetap belum bisa apa-apa. Karyaku tetap bukan apa-apa.
Dengan karya sederhana yang mungkin kalau sajakku nilai sendiri karyaku, dari sudut pandang seorang guru, hanya dapat point 6, kini kurasa aku layak dapat 8. Hm... awalnya, siapa yang peduli sama tulisanku yang sama sekali tak bermutu."

Barulah pada bulan Maret 2009, suaminya mengeluarkan izin bahwa dia boleh menulis. Mbak Farad orang yang tidak malu untuk berguru pada siapa saja. Dia rajin bertanya, diskusi, menyimak, mencoba, menulis. Dan sejak saat itulah karya-karyanya terus berhamburan. Bahkan, dia sempat jadi seorang ghost writer seseorang; nah seseorang ini ternyata suka dengan gaya menulis Mbak Farad. Begitu suka hingga bersedia untuk menjadi sponsor untuk penerbitan novel Mbak Farad. Bukan hanya itu, bahkan menjadi sponsor bagi Mbak Farad mendirikan sebuah penerbitan yang bisa menghasilkan buku-buku yang sesuai dengan "selera dan cita rasa" mbak Farad.

Wah. Rezeki nomplok banget kan.
Hingga sekarang, usaha penerbitan Mbak Farad terus berjalan (nurulhaqqy.publishing). Dan Mbak Farad sendiri, rajin membantu para guru lain untuk rajin menulis dan menghasilkan tulisan berkualitas dan membukukannya. Menteri Pendidikan Nasional kita, M. Nuh, bahkan bersedia menuliskan kata sambutannya di buku Hope and Dream: Memoar Guru, buku yang disusunnya bersama dengan Eko Prasetyo (editor Jawa Pos) :

Sebagai memoar yang ditulis- dari pengalaman nyata  para guru di lapangan, buku ini akan banyak menginspirasi para pembacanya. Karena itu, saya berharap setelah membaca buku ini, para buku bukan saja akan mengambil mutiara-mutiara berharga tetapi juga termotivasi untuk ikut menulis, mengingat masing-masing di antara kita punya catatan perjalanan sendiri-sendiri yang pasti beda.  


Sekarang, Mbak Farad, ibu dari   4 anak (20 th, 13 th, 10 tahun, dan 7 tahun)  ini, telah   menghasilkan (terhitung sejak bulan Maret 2009 hingga sekarang): terlibat dalam 19 buah antologi, 11 buah cerpen (dan cerpennya dimuat mulai dari surat kabar, hingga majalah. Mulai dari buletin sastra "Horison" hingga majalah teenlit "Story". Jadi, semua genre bisa dia kuasai), serta lebih dari 3 buah buku solo sudah dia hasilkan (antara lain: Safir Cinta (novel dwilogi), Surat Putih untuk Hawna, dll). Sedangkan prestasi Mbak Farad sendiri sebagai guru juga tidak main-main. Beliau dua kali jadi guru prestasi tingkat kota, pemenang karya ilmiah tingkat propinsi dan mewakili wakil propinsi Jawa Timur dalam Forum Ilmiah Guru TIngkat nasional, Juara (masuk 5 besar) nulis cerpen tingkat nasioanal dan mengalahkan 1215 naskah peserta lain. Benar-benar prestasi yang berimbang sebagai ibu, istri, perempuan, guru (masih mengajar di SMA 1 Batu-Malang hingga sekarang, pelajaran Bahasa Indonesia) dan penulis serta pemilik penerbitan yang terus menggeliat.

Ini salah satu puisi Mbak Farad yang aku suka:
=======================================
KEMARIN
setiap aku luka
sepenuh hati dadamu menampung
bila basah wajah ini
sepenuh tapak tanganmu menghapus
 lewat sajak
kutulis semua duka, juga air mata
sejuk yang kau tabur
kau kirim lewat kata
 setiap kubuka jendela
dan duduk di beranda
kutemu kalimat yang
kau rangkai dengan benang
kasih sayang
 hari ini, bahkan
satu huruf pun tak tersisa
di jejak hadirmu
 =================================
BACALAH RINDUKU
dengan apa harus kuurai
benang-benang yang basah karena peluh rindu
yang menderas saat tepat memaku diriku atas tubuhmu
bertatapan dalam seribu pesan
 masihkah perlu kutulis sajak rindu?
kulukis rindu dalam warna pelangi?
 nafas kita yang berkejaran
meninggalkan keraguan yang tertanam
di dada kita saat berjauhan
 di sini, di atas tubuhmu yang bergetaran
pada setiap ruas tubuhku
bacalah
tak ada ruang tersisa
untuk yang lainnya

=================================

Penulis: Ade Anita. Dan “Postingan ini disertakan dalam #8MingguNgeblog Anging Mammiri”

16 komentar

  1. Wuaaah berdebar aku mbacanya Mbak. Segitunya dikau menapaki jejak tulisanku. Heheheh Makasih ya say. Insyaallah kalau aku jadi pelatihan (untuk pindah profesi, tetapi tetap mengajar) dan harus pelatihan 35 hari di sawangan, pengin bertemu dan memelukmu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe.. aku memang ngefans dengan dirimu sejak lama mbak Farad

      Hapus
  2. assalam kak,,
    lengkap sangat ni artikelnya kak,, :)
    smoga ja smua wanita seperti itu yea kak,,
    salam knal yea kak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. wa'alaikumsalam
      iya, alhamdulillah lengkap karena aku wawancara dia dikit juga. aamiin.

      Hapus
  3. sangat isnpiratif postingannya,,,
    makin semangat ane nulis heheheh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih..iya semangat karena kita tidak tau kegemilangan apa yang akan kita raih di depan sana

      Hapus
  4. Mbk Farad...keren...Sy juga guru,pingin seperti beliau...aktif menulis dsela2 kesibukan mengajar.
    Btw, mbak Ade Anita gemuk?

    BalasHapus
    Balasan
    1. xixixixi... iyaaaa... aku dah kegemukan nih. doain supaya langsing lagi ya.

      Hapus