Apakah Hikmah dan Rahasia dari Poligami yang dilakukan oleh Rasulullah SAW?


Hikmah dan Rahasia Poligami Rasulullah SAW
Kafemuslimah.com, rubrik Wanita Bertanya Ulama Menjawab – Sunday, 28 November 2004
pertanyaan
Mengapa Rasulullah SAW. berisiteri sampai sembilan orang, sementara kaum muslim diharamkan kawin lebih dari empat orang? Seperti kita ketahui bahwa kaum misionaris dan orientalis sering menyerang islam dengan masalah poligami Rasul ini. Mohon penjelasan ustadz.


jawaban
Pada masa pra Islam, belum ada ketentuan mengenai jumlah wanita yang boleh dikawini. Belum ada batas, patokan, ikatan, dan syarat. Maka seorang laki-laki bolehs aja kawin dengan sekehendak hatinya. Hal ini memang berlaku pada bangsa-bangsa terdahulu, sehingga diriwayatkan dalam Perjanjian Lama bahwa Daud mempunyai seratus orang isteri dan Sulamin mempunyai tujuh ratus orang isteri serta tiga ratus orang gundik.
Ketika Islam datang, dibatalkanlah perkawinan yang lebih dari empat orang. Apabila ada orang yang masuk Islam sedang dia mempunyai isteri lebih dair empat orang, maka Nabi saw. bersabda kebadanya:
“Pilihlah empat orang di antara mereka, ceraikanlah yang lain”
Jadi, mumlah isteri maksimal empat orang, tidak boleh lebih dan syarat yang harus dipenuhi dalam poligami ini adalah bersikap adil terhadap isteri-isterinya. Kalau tidak dapat berlaku adil, cukuplah seorang isteri saja, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“…Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja…”(An Nisa’:3)
Inilah aturan yang dibawa oleh Islam. Tetapi Allah Azza wa Jallah mengkhususkan untuk Nabi saw. dengan sesuatu yang tidak diberikan kepada kaum mukmin lainnya, yaitu beliau diperbolehkan melanjutkan hubungan perkawinan dengan isteri-isteri yang telah beliau kawini dan tidak mewajibkan beliau menceraikan mereka, tidak boleh menukar mereka, tidak boleh menambah, dan tidak mengganti seroang pun dengan orang lain:
“Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki…” (Al Ahzab: 52)
Rahasia semua itu ialah bahwa isteri-isteri Nabi saw. mempunyai kedudukan khusus dan istimewa yang oleh Al Quran dikatakan sebagai “ibu-ibu kaum mukmin” secara keseluruhan. Allah berfirman:
” Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka…” (Al Ahzab 6)
Di antara cabang hubungan keibuan ruhiyyah terhadap orang orang mukmin ini, maka Allah mengharamkan mereka (isteri-isteri Nabi saw) kawin dengan seorang pun sepeninggal Rasulullah saw. Firman-Nya:
“…Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat…”(Al Ahzab 53)
Hal ini berarti bahwa wanita yang telah putus hubungan perkawinannya dengan Rasulullah saw. seumur hidupnya tidak boleh kawin dengan lelaki lain, karena ada halangan perhubungan kekeluargaan dengan rumah tangga kenabian.
Selanjutnya, kalau kita bayangkan bahwa Allah SWT menyuruh Nabi memilih empat orang –untuk menjadi ibu-ibu kaum mukmin– di antara sembilan isteri beliau, dan menceraikan lima orang lainnya yang berarti menghalangi mereka untuk mendapatkan kemuliaan, ini tentu merupakan sesuatu yang sangat sulit. Siapakah di antara wanita-wanita utama itu yang harus dijauhkan dari rumah tangga kenabian dan dijauhkan dari kemuliaan yang telah mereka peroleh itu?
Karena itu, berlakulah kebijaksanaan dan hikmah Ilahi agar mereka tetap mejadi isteri-isteri beliau, sebagai kehususan bagi Rasul yang mulia dan sebagai pengecualian dari qaidah umum. Allah berfirman:
“…dan bahwasanya karunia itu adalah di tangan Allah. Dia berikan karunia itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar”(Al Hadid:29)
Adapun masalah perkawinan Nabi saw, dengan sembilan nisteri, rahasianya sudah dimaklumi dan hikmahnya sudah tidak samar lagi. Semua perkawinan yang dilakukan Nabi itu tidak mempunyai tujuan sebagaimana yang difitnahkan para orientalis dan misionaris. Bukah syahwat dan buka pula aspek biologis yang mendorong Nabi saw mengawini setiap mereka.Jika yang mendorong Rasulullah SAW untuk menikah itu adalah syahwat, tentu kita tidak akan melihat beliau menikahi seorang janda yang lebih tua 15 tahun dari beliau. Rasululah SAW ketika itu masih berumur 25 tahun ketika menikahi Khadijah r.a. yang berumur 40 tahun dan sudah pernah menikah dua kali dan mempunyai beberapa orang anak. Jika Rasulullah SAW menikah karena syahwat, tentulah beliau akan memilih wanita-wanita yang lebih muda dan bukan janda. Tahun kematian Khadijah r.a. disebut dengan Amul Huzni (Tahun Duka Cita). Beliau selalu memuji Khadijah ra dengan penuh kecintaan dan penghormatan smpai meninggal dunia, sehingga Aisyah ra merasa cemburu padanya (Khadijah) yang sudah meninggal dunia.
Ketika Rasulullah SAW berumur 53 tahun, barulah beliau mengawini Saudah binti Zum’ah, seorang wanita tua, untuk memelihara rumah tangga beliau, Kemudian Rasululah mengawini anak sahabatnya Abu Bakar siddiq yaitu Aisyah yang ketika itu masih kecil dan belum mengerti syahwat, tetapi beliau hendak menyenangkan hati Abu Bakar.
kemudian karena melihat Abu Bakar dan Umar sebagai wazir Rasulullah dan beliau ingin kedudukan keduanya sama di sisi beliau, maka dikawinilah Hafshah binti Umar, sebagaimana beliau mengawinkan putri-putrinya kepada Ali bin Abi Thalib dan Ustman bin Affan.
Hafshah binti Umar ini adalah seorang janda, dan parasnya tidak cantik. Demikian juga Ummu Salamah yang beliau kawini ketika sudah menjadi janda. Beliau mengawini ummu Salamah untuk menghilangkan musibah (kesedihannya) dan menambal keretakan hatinya, serta menggantikan suaminya yang telah meninggal. Semua ini dilakukan Rasulullah SAW demi Islam.
Demikian juga ketika Rasulullah SAW mengawini Juariyah binti Al harits adalah untuk mengislamkan kaumnya dan menjadikan mereka bangga terhadap Agama Allah. Begitu pula pekrawinan beliau dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan, yang ketika hijrah ke Habsyi suaminya murtad. Ummu habibah sendirian dalam keterasingan (karena suaminya murtad, sementara dia hijrah jauh dari keluarganya untuk menyelamatkan imannya), kemudian Rasulullah meminangnya.
Jika kita cari latar belakang perkawinan Rasululah SAW dengan isteri-isteri beliau itu, niscaya kaan kita dapati hikmah yang hendak beliau gapai dengan perkawinan beliau dengan masing-masing mereka, jadi bukan karena syahwat, tetapi demi kemaslahatan dan untuk mengikat manusia dengan agama Islam.
Dr Yusuf Qardhawi
disarikan dari Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 1
Gema Insani Pers

Tidak ada komentar