Apa saja Hak-hak seorang Istri atas Suaminya?


Hak Isteri Atas Suami
Kafemuslimah.com, rubrik Wanita Bertanya Ulama Menjawab – Monday, 20 December 2004
Tanya
Saya menikah dengan seorang laki-laki yang usianya lebih tua dariapda saya dengan selisih lebih dari dua puluh tahun. Namun, saya tidak menganggap perbedaan usia sebagai penghalang yang menjauhkan saya daripadanya ataupuna membuat saya lari daripadanya. Kalau dia memperlihatkan wajah, lisan, dan hatinya dengan baik sudah barang tentu hal itu akan melupakan saya terhadap perbedaan usia ini. Tetapi sayang, semua itu tak saya peroleh. Saya tidak pernah mendapatkan wajah yang cerah, perkataan yang manis, dan perasaan hidup yang menenteramkan. Dia tidak begitu peduli dengan keberadaan saya dan kedudukan saya sebagai isteri.


Dia memang tidak bakhil dalam membeir nafkah dan pakaian, sebagaimana dia juga tidak pernah menyakiti badan saya. Tetapi, tentunya bukan cuma ini yang diharapkan oleh seorang isteri terhadap suaminya. Saya melihat posisi saya hanya sebagai bojek santapanny, untuk melahirkan anak, atau sebagai alat untuk bersenang-senang manakalah ia butuh bersenang-senang. Inilah yang menjadikan saya menjadi bosan, jenuh, dan hampa. Saya merasakan hidup ini sempit. Lebih-lebih bila saya melihat teman-teman saya yang hidup bersama suaminya dengan penuh rasa cinta, tenteram, dan bahagia.
pada suatu kesempatan saya mengadu kepadanya tentang sikapnya ini, tetapi dia menjawab dengan bertanya, “Apakah aku kurang dalam memenuhi kamu? Apakah aku bakhil dalam memberi nafkah dan pakaian kepadamu?”
Masalah inilah yang ingin saya tanyakan kepada Ustadz agar suami isteri itu tahu: Apakah hanya pemenuhan kebutuhan material seperti makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal itu saja yang menjadi kewajiban suami terhadap isterinya menurut hukum syara’? Apakah aspek kejiwaan tidak ada nilainya dalam pandaang syari’at Islam yang cemerlang ini?
Saya dengan fitrah saya dan pengetahuan saya yang rendah ini, tidak percaya kalau ajaran Islam demikian. Karena itu, saya mohon kepada Ustadz untuk menjelaskan aspek psikologis ini dalam kehidupan suami isteri, karena hal itu mempunyai dampak yang besar dalam meraih kebahagiaan dan kesakinahan sebuah rumah tangga.
Semoga Allah menjaga Ustadz.
Jawab
Apa yang dipahami oleh saudara penanya berdasarkan fitrahnya dan pengetahuannya itu merupakan kebenaran yang dibawakan oleh syari’at islam yang cemerlang.
Syariat mewajibkan kepada suami untuk memenuhi kebutuhan isterinya yang berupa kebutuhan material seperti nafkah, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan sebagainya, sesuai dengan kondisi masing-masing, atau seperti yang dikatakan oleh Al Quran “bil ma’ruf” (menurut cara yang ma’ruf/patut)
Namun syariat tidak pernah melupakan akan kebutuhan-kebutuhan spiritual yang manusia tidaklah bernama manusia kecuali dengan adanya kebutuhan-kebutuhan tersebut, sebagaimana kata seorang pujangga kuno: “Maka karena jiwamu itulah engkau sebagai manusia, bukan cuma dengan badanmu”.
Bahkan Alquran menyebut perkawinan ini sebagai salah satu ayat di antara ayat-ayat Allah di alam semesta dan salah satu nikmat yang diberikan-Nya kepada hamba-hambaNya FirmanNya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(Ar Rum: 21)
Ayat ini menjadikan sasaran atau tujuan hidup bersuami isteri ialah ketenteraman hati, cinta, dan kasih sayang antara keduanya, yang semua ini merupakan aspek kejiwaan, bukan material. Tidak ada artinya kehidupan bersuami isteri yang sunyi dari aspek-aspek maknawi ini, sehingga badan berdekatan tapi ruh berjauhan.
Dalam hal ini banyak suami yang keliru –padahal diri mereka sebenarnya baik– ketika mereka mengira bahwa kewajiban mereka terhadap isteri mereka ialah memberi nafkah, pakaian, dan tempat tinggal, tidak ada yang lain lagi. Dia melupakan bahwa wanita (isteri) itu bukan hanya membutuhkan makan, minum, pakaian, dan lain-lain kebutuhan material, tetapi juga membutuhkan perkataan yang baik, wajah yang ceria, senyum yang manis, sentuhan yang lembut, ciuman yang mesra, pergaulan yang penuh kasih sayang, dan belaian yang lembut yang menyenangkan hati dan menghilangkan kegundahan.
Imam Ghazali mengemukakan sejumlah hak suami isteri dan adab pergaulan di antara mereka yang kehidupan berkeluarga tidak akan dapat harmonis tanpa semua itu. Di antara adab-adab yang dituntunkan oleh Al Quran dan Sunnah itu ialah berakhlak yang biak terhadapnya dan sabar dalam menghadapi godaannya. Allah berfirman:
…. Dan bergaullah dengan mereka secara patut (ma’ruf)….” (An Nisa’: 19)
…. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”(An Nisa’:21)
… Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu…” (An Nisa’:36)
Ada yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “teman sejawat” dalam ayat di atas adalah isteri.
Imam Ghazali berkata, “Ketahuilah bahwa berakhlak baik kepada mereka (isteri) bukan cuma tidak menyakiti mereka, tetapi juga sabar menerima keluhan mereka, dan penyantun ketiak mereka sedang emosi serta marah, sebagaimana diteladankan Rasulullah saw. Isteri-isteri beliau itu sering meminta beliau untuk mengulang-ulangi perkataan, bahkan pernah ada pula salah seorang dari mereka menghindari beliau sehari semalam.
Beliau pernah berkata kepada Aisyah: “Sungguh, aku tahu kalau engkau marah dan kalau engkau rela.” Aisyah bertanya, “Bagaimana engkau tahu?” Beliau menjawab, “Kalau engkau rela, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Muhammad,”, dan bila engkau marah, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Ibrahim.’ Aisyah menjawab, “betul, (kalau aku marah) aku hanya menghindari menyebut namamu.”
Dari adab yagn dikemukakan Imam Ghazali itu dapat ditambahkan bahwa di samping bersabar menerima atau menghadapi kesulitan isteri, juga bercumbu, bergurau, dan bermain-main dengan mereka, karena yang demikian itu dapat menyenangkan hati wanita. Rasululah saw. biasa bergurau dengan isteri-isteri beliau dan menyesuaikan diri dengan pikiran mereka dalam bertindak dan berakhlak, sehingga diriwayatkan bahwa beliau pernah melakukan perlombaan lari cepat dengan Aisyah.
Umar r.a. — yang dikenal berwatak keras itu– pernah berkata, “Seyogyanya sikap suami terhadap isterinya seperti anak kecil, tetapi apabila mencari apa yagna da di sisinya (keadaan yang sebenarnya) maka dia adalah seorang laki-laki”
Dalam menjelaskan sikap Rasululah dan petunjuk beliau dalam mempergauli isteri, imam Ibnu Qayyim berkata:
“Sikap Rasulullah saw. terhadap isteri-isterinya ialah bergaul dan berakhlak baik kepada mereka. Beliau pernah menyuruh gadis-gadis Anshar menemani Aisyah bermain. Apabila isterinya (Aisyah) menginginkan sesuatu yant tidak terlarang menurut agama, beliau menurutinya, Bila Aisyah minum dari suatu bejana, maka beliau ambil bejana itu dan beliau minum daripadanya pula dan beliau letakkan mulut beliau di tempat mulut Aisyah tadi (bergantian minum pada suatu bejana/tempat), dan beliau juga biasa makan kikil bergantian dengan Aisyah.
Beliau biasa bersandar di pangkuan Aisyah, beliau membaca Al Quran sedang kepala beliau berada di pangkuannya. Bahkan pernah ketiak Aisyah sedah haidh, beliau menyuruhnya memakai sarung, lalu beliau memeluknya. Bahkan, pernah juga menciumnya, padahal beliau sedang berpuasa.
Di antara kelemahlembutan dan akhlak baik beliau lagi ialah beliau memperkenankannya untuk bermain dan mempertunjukkan kepadanya permainan orang-orang Habsyi ketika merkea sedang bermain di masjid, dia (Aisyah) menyandarkan kepalanya ke pundak beliau untuk melihat permainan orang-orang Habsyi ini. Beliau juga pernah berlomba lari dengan Aisyah dua kali, dan keluar dari rumah bersama-sama.
Sabda nabi Saw: “Sebaik-baik kamu ialah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku.”
Apabila selesai melaksanakan shalat ashar, Nabi senantiasa mengelilingi (mengunjungi) isteri-isterinya dan beliau tanyakan keadaan mereka, dan bia malam tiba beliau pergi ke rumah isteri beliau yang pada waktu itu tiba giliran beliau untuk bermalam. Aisyah berkata, “Rasulullah saw. tidak melebihkan sebagian kami terhadap sebagian yagn lain dalam pembagian giliran. Dan setiap hari beliau mengunjungi kami semuanya, yaitu mendekati tiap-tiap isteri beliau tanpa menyentuhnya, hingga sampai kepada isteri yang menjadi giliran beliau, lalu beliau bermalam di situ” *
Kalau kita renungkan apa yang telah kita kutip disini mengenai petunjuk Nabi Saw. Tentang pergaulan beliau dengan isteri-isteri beliau, kita dapati bahwa beliau sangat memperhatikan mereka, menanyakan keadaan mereka, dan mendekati mereka. Tetapi beliau mengkhususkan Aisyah dengan perhatian lebih, namun ini bukan berarti beliau bersikap pilih kasih, tetapi karena untuk menjaga kejiwaan Aisyah yang beliau nikahi ketika masih perawan dan karena usianya yang masih muda.
Beliau mengawini Aisyah ketika masih gaids kecil yang belum mengenal seorang laki-laki pun selain beliau. Kebutuhan wanita muda seperti ini terhadap laki-laki lebih besar dibandingan dengan wanita janda yang lebih tua dan telah berpengalaman. Yang kami maksudkan dengan kebutuhan di sini bukan sekedar nafkah, mpakaian, dan kebutuhan biologis saja, bahkan kebutuhan psikologis dan spiritual nya lebih penting dan lebih dalam daripada semua itu. Karena itu, tidaklah mengherankan jika kita lihat Nabi saw. selalu ingat aspek tersebut dan senantiasa memberikan haknya serta tidak pernah melupakannya meskipun tugas yang diembannya besar, seperti mengatur strategi dakwah, membangun umat, dan menegakkan daulah.
“Sungguh pada diri Rasulullah itu terhadap teladan yang bagus bagi kamu”
Mahabenar Allah dengan segala Firmannya
Dr Yusuf Qardhawi
disarikan dari Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 1
Gema Insani Pers

Tidak ada komentar