Catatan akhir tahun 2012: Sekedip Mata (Tentang Ibu Suwantji Sisworahardjo)



[Catatan akhir tahun] Rasanya, satu peristiwa lain yang rasanya juga perlu saya catat sebagai peristiwa penting dalam hidup saya adalah catatan saya untuk sebuah nama, seorang tokoh yang kehadirannya cukup penting bagi saya, juga bagi suami saya. Yaitu: Ibu Suwantji Sisworahardjo.




Dia adalah dosen senior di kampus tempat saya menimba ilmu dahulu, di jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, UI. Saya sayang pada beliau. Pribadinya sangat sederhana, keibuan, dan pemikirannya luas, dan dia adalah orang yang tidak malu untuk mengatakan pada orang lain meski dirinya sudah tua dan senior di bidang yang ditekuninya, rentetan kalimat ajaib yang tidak semua orang berani mengatakannya, "saya tidak tahu, saya belum bisa. Tolong ajarkan saya, saya akan belajar darimu untuk bisa."


Kenapa saya katakan bahwa deret kalimat di atas adalah deret kalimat ajaib yang tidak semua orang bisa? Karena, sering yang terjadi, orang-orang yang sudah terlanjur diberi posisi senior, mendapat jabatan pakar, atau menduduki posisi tinggi yang hingga layak memperoleh penghormatan dan apresiasi tinggi, malu untuk menyatakan di depan junior mereka, apalagi mereka yang masuk kategori 'masih anak bawang' atau 'tidak punya keahlian apa-apa", deret testimoni tersebut. Itu sebabnya kekaguman saya pada beliau menjadi berlipat karenanya.

Saya mengenal Bu Suwantji tentu saja ketika saya masih kuliah dan bahkan di tahun pertama kuliah. Yaitu di kuliah Pengantar Ilmu Hukum. Yaitu ketika akhirnya, kuliah umum mahasiswa baru yang jumlahnya ratusan itu, demi keefektifan  pemberian materi kuliah, dibagi-bagi menjadi kelompok kecil. Kebetulan, saya masuk dalam kelompok kecil dimana dosen pengajarnya adalah Ibu Suwantji.

Jujur saja, saya tuh masuk jurusan Ilmu Kessos awalnya tidak dengan niat yang 'benar'. Saya masuk jurusan ini sebagai akibat  salah satu bentuk pemberontakan saya atas sebuah kondisi pribadi yang tidak dapat saya ceritakan disini (maybe next time, not sure). Jadi, saya masuk jurusan ini karena "oke, gue masuk sini aja deh, biar tau rasa."..... Hehehe, naif banget ya. NAH, karena tidak sepenuh hati niat masuknya  maka saya mengikuti perkuliahannya pun tidak sepenuh hati juga. Sejak awal, saya enggan bergaul dengan teman-teman satu jurusan satu angkatan. Saya lebih memilih untuk bergaul dengan teman-teman jurusan lain dari angkatan yang sama atau teman satu jurusan satu angkatan tapi dengan niat yang sama, 'kelak ingin pindah jurusan.'.

Karena tidak sepenuh hati, maka saya tidak memberi respek cukup tinggi pada semua orang yang berkecimpung di jurusan ini. Termasuk pada Ibu Suwantji. Akibatnya, ketika perkuliahan berlangsung, saya melakukan kegiatan lain. Menggambar di kertas kosong, bikin surat untuk diri sendiri yang isinya macem-macem sesuka hati saya (dulu waktu kuliah buku agenda saya lebih mirip buku diary daripada buku rangkaian kegiatan. Ada curhat, gambar2 iseng, pola-pola gak jelas, dan labirin. Hehehe, saya paling hobbi bikin labirin. Yaitu membuat jalan tikus dengan banyak jebakan) dan juga, diam-diam mengajak ngobrol teman. Itu terjadi hampir di mata kuliah yang diasuhnya. Hingga mungkin, Ibu Suwantji juga sudah mulai terganggu dengan ulah saya yang bengal ini, maka suatu hari tiba-tiba dia langsung membanting buku pegangan yang dipegangnya di tangan ke atas meja.

"ADUH, AMPUN!! Saya perhatikan kamu itu tidak pernah memperhatikan perkuliahan saya. Dan hari ini kamu malah cekikikan berdua. Mau kamu apa sebenarnya?"

Saya spontan kaget. Biasanya, apapun yang saya lakukan di ruang kelas saya merasa "dicuekin" atau 'aman-aman saja tidak diperhatikan.".

"SUDAH...JIKA MEMANG PERKULIAHAN INI MENURUTMU TIDAK PENTING, ATAU KAMU TIDAK SUKA DENGAN SAYA, SILAHKAN KAMU KELUAR DARI KELAS INI."

Astaga! Sebandel-bandelnya saya, saya tidak pernah diusir. Tapi kali ini saya diusir dari kelas!!! Ugh. Rasanya amat menyakitkan. Tapi, ya memang saya yang salah sih. Saya memang tidak betah di jurusan Kessos, ingin cepat-cepat pindah jurusan, tapi tidak mau jika caranya dengan pengusiran seperti ini. Di hadapan mahasiswa lain lagi. Aduh. Malu, marah, kesal, sebal, semua jadi satu. Porsi malu menduduki posisi terbanyak. Pikiran saya langsung melayang jauh. Gimana kalau gara-gara ini saya di-D0? Aduh.

"Maaf bu, saya bersalah."

"Jadi, gimana? Kalau memang tidak suka dengan saya, silahkan cari kelompok lain. Tapi perkuliahan ini wajib sifatnya, jadi harus tetap kamu ambil. Saya gak keberatan jika kamu keluar dari kelas saya dan pindah ke kelas lain."

Hening.

Tetap merasa malu, malu, malu, kesal-marah-sebalnya mulai berkurang tapi malunya bertambah.

"Nggak, saya akan tetap disini. Maafkan saya."

"Tapi janji kamu harus memperhatikan ya."

Saya mengangguk. Rasa malunya sudah benar-benar besar hingga rasa kesal-marah-sebalnya sudah benar-benar tidak dapat tempat lagi. Sejak itu saya serius memperhatikan perkuliahan beliau. Perlahan, malah muncul rasa takut, karena selalu ingat ekspressi kemarahannya yang tenang dan tegas.

Arrgghh. Seandainya saja dia marah dan teriak-teriak histeris mengusir saya, mungkin saya akan bangkit berdiri dan benar-benar meninggalkan ruangan kelas. Tapi ketika marah itu, beliau benar-benar tenang tapi tegas dan kata yang diucapkannya keluar satu-satu dengan teratur tapi penuh penekanan. Brrr... Ini bentuk kemarahan yang menakutkan bagi saya. Karena artinya, kemarahannya amat besar tapi kewibawaan yang dia miliki mampu mengendalikannya.

Selesai dari perkuliahan ini, di semester berikutnya saya bertemu lagi dengan beliau di mata kuliah Pengantar Kesejahteraan Sosial. Sisa rasa takut di semester sebelumnya belum sepenuhnya hilang. Jadi, saya mengikuti perkuliahan ini dengan rasa sungkan yang tinggi. Sepanjang perkuliahan, saya berusaha menghindari kontak mata dengan beliau. Terus sibuk mencatat apa yang dia katakan. Tapi, keputusan ini rupanya salah. Rupanya, bukan itu ketaatan yang dia kehendaki. Jadi, saya kembali terperajat ketika dia meletakkan spidol white board dengan keras di atas meja dan menegur saya.

"Kamu lagi! Coba tolong perhatikan saya ketika saya sedang bicara. Saya gak suka loh kalau sepanjang perkuliahan ini, kamu terus menerus menulis apa yang saya ajarkan. Nanti saya akan bagikan materi perkuliahan hari ini. Tapi tolong perhatikan saya. Bagaimana saya bisa tahu kamu mengerti apa tidak jika kamu terus saja menulis."

Waaah. Kembali saya diserang rasa malu, juga kesal, marah, sebal dan bingung. "Apa sih sebenarnya maunya dia?". Akhirnya saya mengangkat wajah saya dan menatap wajahnya. Kami saling bertatapan dan saya bisa melihat kedua rahangnya mengeras menahan geram. Mungkin, rasa sebal-kesal-marah-bingung-malu yang ada di dalam hati saya, terlihat jelas di wajah saya dan itu membuat dia juga kesal.

"Pada waktunya, saya akan memintamu untuk menulis. Dan saya akan beri waktu untuk itu. Tapi kamu jangan menulis apapun ketika saya sedang bicara. Paham?"

Rasa kalah dan pikiran "mau-lu-juga-apa-sih-De? Ngalah-dikit-ngapa." membuat saya mengangguk setuju.

"Baik. Jika begitu saya anggap kamu sepakat. Saya lanjutkan, dan kamu perhatikan. Insya Allah kita berdua dapat manfaat."

Lalu mulailah saya mengikuti perkuliahan dengan caranya. Hasilnya ternyata luar biasa. Saya mulai tertarik dengan jurusan yang saya pilih ini. Dan saya amat sangat terkesan dengan nasehatnya ketika menilai makalah yang saya buat di perkuliahan dia.

"Jangan pernah berpikir satu dua. Yang kamu sajikan ini, adalah contoh cara berpikir satu dua. Ada sebab, lalu ada akibat, dan solusinya ini. Selesai. Tidak. Itu cara berpikir yang salah. Selalu berpikir, "what next" ketika melihat sebuah permasalahan. Kamu sudah tahu sebabnya, sudah tahu akibatnya, sudah tahu solusinya, selanjutnya what next? Karena manusia itu tidak berdiri sendiri, dia terkait dengan orang lain, dengan masyarakat seklilingnya, dengan masyarakat yang lebih luas. Jadi, cari solusi alternatif lainnya. Lalu pikirkan juga, kira-kira apa yang terjadi selanjutnya jika solusi ini diterapkan? What next?"

Makalah saya memang dapat nilai pas-pasan, tapi dia memberi saya kesempatan kedua untuk melakukan perbaikan dengan berpegang pada nasehatnya dan saya melakukannya dengan sungguh-sungguh. Sejak itu saya akhirnya memutuskan, bahwa jurusan yang saya pilih ini, jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, bukan jurusan untuk batu loncatan saja guna pindah ke jurusan lain. Tapi, jurusan yang menarik untuk dipelajari.  Hanya saja, rasa sungkan (lebih karena rasa, "aduh-gue-udah-dua-kali-ditegur") tetap bersemayam di hati saya terhadap sosok Ibu Suwantji.

Yang menarik, selanjutnya ternyata saya bertemu dengan calon suami saya di jurusan ini. Beliau masih dosen muda ketika itu. Dan yang lebih mencengangkan, ketika hubungan kami  berkembang ke arah serius, calon suamiku terus terang berkata bahwa dia adalah murid kesayangan Ibu Suwantji. What??? Padahal saya masih sungkan dengan Ibu Suwantji tapi kok ya ketemu dengan murid kesayangannya?

Lalu aku dan calonku ini menikah di tahun ke 4 aku kuliah. Langsung hamil pula tidak lama kemudian. Hahaha... Lalu ikut menyusul suamiku yang melanjutkan studi ke Sydney, Australia. Setelah punya anak dua dan kembali ke Indonesia, saya kembali bertemu dengan Ibu Suwantji. Dan sikap beliau pada saya sungguh berbeda dengan ketika beliau masih dosen saya. Dia ramah, keibuan, penuh perhatian dan juga ternyata, suka melucu (meski leluconnya lelucon orang tua). Di acara perhelatan pernikahan Sari Viciawati, Ibu Suwantji duduk di sebelah saya, yang sedang memangku putri kedua saya yang masih batita. Kami ngobrol. Sisa rasa sungkan karena teringat sejarah 'kelam' saya ketika mahasiswa dulu, masih ada di hati saya. Tapi, sepertinya beliau sudah melupakannya.

"Eh, kamu tahu nggak? Isbandi itu, dulu adalah mahasiswa kesayangan saya ketika kuliah dulu. Anaknya rajin dan pintar. Makanya saya surprise ketika Bandi ngasi undangan pernikahannya dulu dan ada nama kamu di sana. Tapi saya percaya dengan pilihan Bandi. Jadi, sebagaimana besarnya rasa sayang saya pada Bandi, sebesar itulah rasa sayang saya padamu. Jadi, sudah gak usah sungkan lagi sama nenek-nenek yang sudah keriput seperti saya ini."

Waaaaa.... Saya terperangah. "Apa dia bisa membaca pikiran ya?"..ajaibnya, kata-kata yang dia katakan sambil menggenggam tangan saya dengan ramah dan keibuan itu, ternyata membuat rasa sungkan dalam hati saya menghilang. Yang muncul sekarang adalah rasa nyaman. Dan ketika saya katakan pada suami saya apa yang dia katakan pada saya dan suami saya  mengakui juga bahwa Ibu Suwantji adalah dosen yang dia sayangi dan sudah dianggapnya seperti ibu sendiri, saya pun memutuskan, "saya akan belajar untuk menyayangi apa yang disayangi oleh suami saya.". Termasuk, menyayangi beliau, Ibu Suwantji.

Tahun-tahun berlalu. Tanggal 2 & 3  April  2012, para dosen Kessos ramai-ramai berlibur ke Singapura dan saya diajak ikut serta oleh suami saya. Ibu Suwantji itu luar biasa fisiknya meski usianya sudah tua (73 thn). Dia masih kuat berjalan dari ujung ke ujung jalan Orchad, kembali ke hotel 81 (di jl Bencoleen) lalu ke stasiun MRT di Orchad lagi, lalu ke Marina Beach, dan berakhir di Mustafa (supermall besar di Singapur) dan baru kembali ke hotel lewat tengah malam. Wow. Luar biasa. Sementara dosen-dosen lain yang lebih muda usianya sudah pada tepat semua kelelahan.


Dalam salah satu perhentian ketika sedang menunggu yang lain berbelanja, Ibu Suwantji duduk di sebelah saya. Lalu setelah ngobrol kesana kemari, Ibu Suwantji lalu memandang punggung suami saya yang baru saja masuk kembali ke dalam toko setelah sebelumnya menanyakan sesuatu pada saya.

"Kamu tahu gak? Di antara semua rekan-rekan dosen, saya paling sayang pada suamimu. Isbandi itu selalu berusaha untuk bisa mentransfer seluruh ilmu yang dia miliki pada orang lain. Isbandi juga terbuka pada perubahan. Itu sebabnya, jika dia sedang mengajar, meski bukan bagian saya yang harus mengisi materinya, saya selalu berusaha untuk mengikuti perkuliahannya. Karena saya selalu merasa mendapat tambahan pengetahuan baru ketika saya mengikuti perkuliahannya. Itu sebabnya saya amat mendukung dia untuk ikut kegiatan di luar kampus. Entah itu seminar atau apa, karena saya yakin, dia selalu membawa serta jurusan kita di luar sana dan membesarkan jurusan ini. Lalu apa yang dia dapat di luar, akan dia transfer lagi untuk teman-teman dan mahasiswanya. Itu sebabnya saya amat sayang pada suamimu. Cuma, kadang dia terlalu utuh mendedikasikan dirinya untuk membesarkan ilmu yang dia kuasai. Jadi, dia sering mengabaikan dirinya sendiri. Akhirnya jatuh sakit. Nah, kamu sebagai istrinya, jaga dia ya. Ingatkan dia untuk abai pada dirinya sendiri. Sayang jika terjadi sesuatu padanya. Dia salah satu harta yang dimiliki oleh jurusan Kessos."

Ketika mendengar nasehat sekaligus curhatnya ini, saya bergetar. "Wah, besar sekali rasa sayang beliau pada suami saya sampai dia berkata seperti ini.". Jujur saja, waktu itu, rasa sayang saya pada suami saya tumbuh amat besar dan rimbun. Sementara rasa hormat saya pada sosok Ibu Suwantji semakin tegak. Saya bangga pada suami saya, dan terharu atas pernyataan Ibu Suwantji. Dan itu saya katakan pada suami saya.



Ketika saya katakan pada suami saya betapa besar rasa sayang Ibu Suwantji padanya, suami saya pun mengakuinya. "Iya. Aku juga sayang sama dia. Dia sudah seperti pengganti ibu yang gak pernah aku rasakan sejak kecil. Penuh perhatian, keibuan, tegas, dan wawasannya luas." suami saya memang seorang piatu sejak dia berusia 1,5 tahun.

Itu sebabnya saya kaget luar biasa ketika berita kematian Ibu Suwantji yang mendadak datang pada tanggal 15 April 2012. Lebih kaget lagi karena kematiannya bukan kematian yang wajar. Beliau dibunuh oleh kerabatnya sendiri yang konon ingin meminta uang tapi tidak dia berikan karena dia tidak ingin kerabatnya itu tumbuh menjadi pemalas yang akan menjadi sampah masyarakat (lihat link-link berita terkait di akhir tulisan ini).
 
Innalillahi wa innailaihi rajiun.

Untuk ketiga kalinya saya terkejut karena Ibu Suwantji. Tapi, kali ini bukan terkejut oleh tegurannya tapi karena berita kematiannya yang mendadak.
Di pusara ibu Suwantji, suami saya berjongkok lama dan tepekur di sana. Saya tidak ingin mengganggunya. Kedua orang sahabat ini hubungannya memang amat dekat dan saling memberi-menerima selama ini. Mereka saling menyayangi bagai ibu dan anak. Untuk pertama kalinya, saya melihat suami saya menitikkan air matanya untuk orang lain yang tidak ada hubungan darah atau keluarga dengannya. Pasti rasa kehilangannya amat dalam. Saya bisa merasakan itu. Terlihat dari wajah lesunya, juga hidungnya yang berair dan matanya yang merah menahan agar air mata tidak menderas. Kendali diri bahwa kita harus ikhlas begitu kuat dia pegang. Tapi saya tahu bahwa jauh di dalam hatinya dia merasa amat sangat kehilangan.
Selamat jalan Ibu Suwantji. Ibu pergi justru ketika saya belajar untuk menyayangi ibu secara utuh dan penuh.
Selamat jalan Ibu Suwantji. Semoga Allah memberikan tempat terbaik untukmu di sisiNya. Selalu.

Ini Link Berita yang terkait dengan kematian IBu Suwantji Sisworahardjo:
 Ibu Suwantji Tidak Sembarangan Menerima Tamu di RUmah: KOMPAS (http://megapolitan.kompas.com/read/2012/04/16/11520535/Suwantji.Tak.Sembarangan.Terima.Tamu.di.Rumahnya)
POlisi selidiki kasus kematian dosen UI: TEMPO (http://www.tempo.co/read/news/2012/04/16/064397308/Polisi-Selidiki-Penyebab-Kematian-Dosen-UI)
dosen UI ditemukan tewas: HARIAN WASPADA (http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=242383:dosen-ui-ditemukan-tewas&catid=59:kriminal-a-hukum&Itemid=91)
Rekan TIdak Yakin Ibu SUwantji Tewas karena sakit: :MERDEKA (http://www.merdeka.com/jakarta/rekan-tak-yakin-dosen-ui-tewas-karena-sakit.html)
Pembunuh Dosen UI bernama Utomo : DETEKTIF ROMANTKA (https://detektifromantika.wordpress.com/2012/04/18/pembunuh-suwantji-sisworahardjo-dosen-jurusan-ilmu-kesejahteraan-sosial-fisip-universitas-indonesia-adalah-keponakannya-utomo/)
Pengajar UI sesalkan tewasnya Ibu Suwantji: OKEZONE SURABAYA (http://news.okezone.com/read/2012/04/16/437/612590/pengajar-ui-sesalkan-tewasnya-dosen-suwantji)
Tersangka Pembunuh Ibu Suwantji masih diperiksa POlisi: TRIBUN NEWS BANJARMASIN (http://banjarmasin.tribunnews.com/index.php/2012/04/18/tersangka-pembunuh-bu-dosen-masih-diperiksa)

Dan Berikut ini adalah bait puisi yang saya buat ketika terlibat dalam pembuatan buku "Tribute to Pioneer: kepada Pak Rudolf" bersama dengan Muhammad Sobari, dimana selain pembuatan buku, juga diberikan tanda mata kepada dosen senior yang dianggap juga merupakan salah satu pionir yang mendirikan dan membesarkan jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP UI, Ibu Suwantji Sisworahardjo. Puisi inilah yang ada di tengah foto besar yang ada di foto awal sekali tulisan ini.



Karena tak pernah ada asap yang muncul begitu saja tanpa kehadiran api yang memercik

Karena tak pernah ada helai rambut yang tergerai tanpa kehadiran angin yang membelai

Izinkan kami ucapkan terima kasih padamu

Atas pengabdian yang tertuang selama ini,

Hingga tersibak sebuah jendela yang memaparkan pemandangan isi dunia yang begitu luas

Dan terhirupnya udara baru yang memompa semangat untuk terus tumbuh dan berkembang

Hingga tangan-tangan yang dahulu mungil kini memiliki rasa percaya diri untuk bisa memeluk bintang tertinggi


Sekali lagi, terima kasih Ibu Suwantji, dan selamat jalan. Insya Allah semua jasa ibu akan terus mengalir dalam semua ilmu yang kami terapkan.
---------------
penulis: Ade Anita

5 komentar

  1. Ya Allah .. terharu saya baca ini mbak. Semoga beliau tenang dan mendapatkan tempat yang indah di sana.

    Mudah2an isi hati mbak Ade ini sampai kepadanya meski ia telah di alam lain.

    Ingin sekali mengenalmu ibu Suwantji, tapi tak apalah, dari tulisan ini saja. Salut kepada ibu Suwantji. Semoga segala amalnya berkah untuknya di sana.

    BalasHapus
  2. Kisah beliau masuk podcast Lenyap, Al Fatihah buat beliau.

    BalasHapus