Catatanku Di Putaran Kedua PILKADA DKI 2012


Sebentar lagi, waktu pencoblosan bakalan ditutup kan ya? Hehehe.. berarti saatnya aku menshare catatanku ini. Ini catatan seputar PILKADA DKI putaran kedua 2012 tentunya (aku tidak mau dituduh atau dipersangkakan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan, jadi nahan diri untuk mensharenya).

==================================
Kalian tahu tidak, apa yang paling aku takut disodori oleh seseorang di hadapanku?  Tentu selain disodori kucing ya (hehehehe..ini mah dah pasti kaburrr).
Aku paling benci, sekaligus takut, jika seseorang menyampaikan sebuah keinginan sambil menyodorkan ayat-ayat Al Quran dan Al Hadits.
UGH!


Kalian boleh ajak aku diskusi tentang apa saja, atau berdebat tentang hal apa saja... bahkan termasuk diskusi tentang hal-hal yang bertentangan dengan apa yang aku yakini  sekalipun, tapi satu hal... jangan memberiku sebuah pilihan yang harus aku lakukan sambil menyampirkannya dengan  ayat-ayat Al Quran atau petikan Al Hadits.

Mungkin, bagi sebagian orang, hal ini adalah hal yang ringan saja. Tapi tidak bagiku.
Mungkin bagi beberapa orang itu bukan hal yang istimewa, tapi tidak bagiku. Bagiku ini menjadi sesuatu yang penting.
Mengapa? Karena ada dua hal yang aku pegang dalam menjalankan agamaku, yaitu:

1. Aku dengar, dan aku taat (dan percaya padaku hal ini terkadang menguras pikiran dan energi karena aku amat serius melaksanakannya. Terkadang, harus diiringi dengan keikhlasan tingkat tinggi.. bahkan amat sangat ... tinggi).
2. Aku akan selalu ingat bahwa " amat besar kemarahan di sisi Allah jika kamu tidak menjalankan apa yang kamu katakan pada orang lain." (dan ini juga tidak kalah beratnya... sungguh. Pengalaman selama ini mengajarkan bahwa hal ini amat sangat berat untuk dilakukan).

Terus... apa hubungannya dengan PILKADA DKI pengantar catatanku ini?
Ada. Karena, beberapa teman, mengirimkan kepadaku macam-macam tulisan dan pendapat.

Aslinya, sebenarnya aku tuh orang yang cuek dengan politik. Bagiku, politik itu cuma panggung yang menampilkan para pemain teater... atau para pelawak. Mereka akan mengatakan apa saja untuk mendapatkan perhatian para penonton mereka. Mereka tidak peduli apakah pementasan mereka itu memberi manfaat atau tidak pada orang lain. Bagi mereka yang berada di atas panggung sandiwara, tumpuan utama  yang ingin diraih adalah popularitas dan tepuk tangan.  Sudah. Tidak ada yang lain. Itu sebabnya aku tidak pernah menyukai  politik.

Karena tidak suka dengan politik, akhirnya, aku tidak berafiliasi ... mm... maksudku, tidak berminat untuk bergabung dengan PARTAI POLITIK apapun.  Bahkan menjadi simpatisan-nya pun aku malas (ini sekaligus pengumuman bagi siapa saja, bahwa aku bukan anggota atau simpatisan PARPOL apapun). Dulu pernah ada sebuah diskusi dengan seorang teman, kita sebut saja dia B dan aku sendiri adalah A. Dia meminta aku untuk menjadi anggota salah satu partai politik.
B: "Mbak, menurutku, ada pentingnya kita masuk ke kancah politik. Karena, biar bagaimanapun sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh negara ini terlahir karena sebuah kesepakatan politik yang dilakukan oleh para elite. Nah, jika tidak ada satu pun dari kita yang tertarik untuk masuk ke sana, lalu bagaimana kita bisa memberikan kontribusi pada perubahan itu sendiri?"
A: "Memangnya, kamu kira ketika kita masuk ke dalam main stream, maka kita otomatis akan bisa mengubah arus yang sudah terjadi selama ini?"
B: "Kita akan bisa melakukan perubahan mbak."
A: "Sudah pernah belum, melempar segerobak batu kali ke dalam sungai? Kamu pernah nggak lihat, tiba-tiba arus sungai itu jadi berbalik arah?"
B: "Kita memang tidak pernah bisa mengubah  itu sih mbak. Tapi, setidaknya warna sungai itu kan jadi keruh karena batu yang kita lemparkan. Itulah perubahan yang aku maksud mbak. Meski kecil tapi cukup membawa hasil kan?"
A: "Dulu waktu kecil, ayahku punya loh kakek angkat yang tinggal di Soreang, Sukabumi sana. Rumahnya dekat sungai, jadi kami mandi ya di sungai itu. Nah, aku ingat banget. Aki, pernah ngasih nasehat, kalau mau ambil air untuk masak, ambil yang jauh dari kaki. Artinya, justru jangan ambil yang air keruhnya. Nggak ada gunanya."
B: "Begini mbak. Perubahan itu memang bersifat bertahap. Tapi, pasti akan terjadi deh perubahan. Mungkin tidak di hulu, tapi di bagian hilir. Pendek kata, rasanya sesuatu yang tidak mungkin kita ingin menetap di sebuah wilayah tanpa kita sendiri tidak ingin memberi pengaruh pada wilayah tersebut. Kontribusi tiap-tiap individu itu perlu dan sebuah keharusan.  Bagaimana mungkin kita ingin  hidup di tengah-tengah masyarakat tapi sama sekali tidak melakukan pembenahan terhadap lingkungan sekitar?"
A: "Dan untuk itu kita harus masuk ke dalam sebuah Parpol? Apa hubungannya?"
B: "Karena Parpol mewakili elite yang akan membuat kebijakan. Dialah komponen utama dari sebuah kebijakan."
A: "Jangan lupa, elite tidak akan ada tanpa civil loh. Dan aku lebih nyaman duduk sebagai civil."
B: "Tapi civil hanya sebatas pelaku saja dari sebuah pelaksanaan sebuah kebijakan. Jadi, kalau keluar kebijakan untuk lari setiap pagi misalnya, maka civil harus melaksanakan."
A: "Eh... sudah pernah lihat berang-berang belum? Dia ternyata salah satu koloni yang tinggal justru dengan cara menantang arus sungai. Dia bikin rumah, beranak pinak, dan terus hidup aman dan damai, justru di tengah arus sungai. Dia belajar bagaimana caranya bertahan hidup di tengah arus yang deras. Itu bisa mewakili civil nggak ya?... bahkan, di Eropa sana, pernah terjadi  banjir. Tiba-tiba saja ada banjir ROB meski curah hujan tidak banyak. Selidik punya selidik, ternyata ini akibat rumah berang-berang yang terlalu lebar hingga akhirnya mampu mengalihkan arus sungai yang seharusnya menuju ke hilir tapi malah berbelok menuju ke pemukiman penduduk."

Dan demikianlah pendapatku tentang politik. Itu sebabnya aku rada-rada cuek dengan PEMILU atau PILKADA.  Aku pernah ikut mencoblos, tapi pernah juga GOLPUT. Tapi cuek bukan berarti bahwa setiap kali aku melakukan pencoblosan atau peng-golputan dilakukan karena rasa tidak peduli. Salah. Justru aku melakukan  salah satunya karena sebuah pertimbangan. Termasuk di PILKADA dan PEMILU dulu-dulu hingga PILKADA DKI yang putaran pertama.
Biasanya, hal-hal yang aku pertimbangkan ketika akan melakukan pilihan adalah (nah, ini enaknya jika kita bukan anggota atau simpatisan dari PARPOL apapun... kita bisa bebas melakukan pilihan berdasarkan hati nurani dan pertimbangan yang adil proporsional).

1. Aku akan melihat track record dia selama ini (pernah nggak dia bersifat  mbalelo pada instansi dimana dia terlibat di dalamnya. Aku nggak suka  pada figur-figur yang oportunis, mencla mencle, dan selalu melakukan sesuatu atas pertimbangan "jaga image").
2. Aku akan melihat substansi dari janjinya (jika kita mau sedikit kritis dan sekali lagi: melakukan pertimbangan atas dasar adil dan proporsional,  maka sebenarnya semua janji itu terbagi dua, yaitu : janji  manis  dan janji pramuka (hahahaha).
Janji manis, sifatnya manis. Diberikan untuk menyenangkan calon pemilih. Karena tujuannya adalah menyenangkan, maka kebanyakan janji-janji ini sifatnya bombastis. Seperti membebaskan uang sekolah, gratis berobat, dll.
Janji Pramuka: sifatnya mulia. Saking mulianya, orang sampai tidak ingin membahas dan mengutak-atiknya lagi karena takut kualat (hahaha).
3. Aku akan melihat siapa yang ada di belakangnya. Yaitu, dia berasal dari parpol apa atau siapa saja yang mendukung dia. Itu sebabnya, aku rajin nonton kalau ada deklarasi calon kandidat. Karena, biasanya ketika penanda tanganannya,  kandidat tersebut akan diantar oleh  rombongan pendukungnya. Nah, kita bisa lihat tuh pendukungnya siapa saja. Jika dia  calon kandidat presiden, kita bahkan sudah bisa memprediksikan, siapa saja yang bakal ngisi bangku menteri di kabinet yang  bakal dipimpinnya  dengan memperhatikan hal ini. Tapi kalau dia "cuma" cagub, cukup lihat siapa saja pendukung dia selain parpol pendukungnya; jika dia independent, lihat juga siapa pendukungnya.
Tapi selain parpol pendukung, aku juga lihat biasanya, dia dekat dengan "kelompok yang mana".  Jujur saja, di Indonesia itu ada tiga bagian yang mempengaruhi gejolak perubahan, pertama elite politik, kedua presiden, ketiga kelompok yang tidak duduk di kursi kekuasaan  tapi keberadaan mereka mempengaruhi perekonomian dan stabilitas  keamanan kita.
4. Kemampuan  manajerial dia selama ini. Bagaimana kemampuan dia mengelola sumber daya manusia yang ada di sekelilingnya, juga kemampuan dia mengelola sumber daya finansial yang tersedia di sekelilingnya. Ada banyak link berita yang bisa kita telusuri untuk mengetahui hal ini.

Tapi, celakanya, jika putaran pertama PILKADA DKI bisa aku lalui dengan tenang, maka berbeda dengan yang terjadi di putaran kedua. Ketegangan terjadi karena ternyata ada dua suara yang masing-masing merasa benar. Dan yang lebih membuatku gentar adalah: ketika beberapa teman menyodorkan ayat-ayat AL Quran dan petikan Hadits.
Aduh...!!
Yang tadinya mau cuek, jadi nggak bisa.
Yang tadinya mau dibawa santai, jadi nggak bisa. Dan akhirnya, kembali "Sami'na wa ato'na (saya dengar dan saya patuh)" menjadi sesuatu yang terasa berat sekali.  Beberapa kali di dalam hati aku tuh membantah di hadapan teman-temanku: "Kalian tahu tidak sih? Jangan mengambil sebagian lalu membuang sebagian!"... tapi nggak bisa aku ucapkan karena aku merasa pengetahuanku belum cukup untuk itu. 
Dan entah berapa kali aku berkata dalam hati "Kenapa harus memaksaku  untuk melihat sesuatu dengan ukuran ini? Apa ini cukup layak? Apa dia yang kalian bela itu cukup pantas diperlakukan sedemikian tinggi  seperti ini?" ... tapi sekali lagi nggak bisa aku lakukan karena aku takut, "jangan-jangan aku yang salah karena minimnya pengetahuanku."

Asal  kalian tahu saja, sudah banyak kejadian selama hidupku, dimana karena pertimbangan "aku dengar dan aku taat" maka aku melakukan langkah ekstrem alias perubahan drastis. Karena pada dasarnya, aku memang ingin menjadi seorang hamba Allah SWT yang taat dan beriman (tidak peduli pendapat orang lain apa).  Apa saja misalnya? Aku melarang anak-anak perempuanku untuk melakukan tradisi cium tangan pada orang yang lebih tua dan berjenis kelamin laki2 jika dia tidak masuk golongan mahrom; aku menolak melakukan acara peringatan tiga hari dan tujuh hari kematian orang tuaku; aku menolak melakukan acara yasinan; aku bahkan bertahan untuk tidak pergi ke kuburan orang tuaku jika tidak yakin bisa menahan rasa sedih; bahkan, aku  mempersilahkan suamiku melakukan poligami;  dan banyak lagi yang lainnya. Semua karena atas dasar hal yang sama: "aku dengar dan aku taat", serta mengingat bahwa "kemarahan terbesar di sisi Allah SWT adalah ketika kita tidak mampu melaksanakan apa yang kita katakan pada orang lain."...

Akhirnya, semalam, sebelum tidur aku hanya bisa curhat pada suamiku:
"Mas, aku jadi bingung nih mau milih siapa besok?"
Lalu, untuk pertama kalinya aku tidur sambil mikirin hal ini (dan ini amat menyebalkan tau!!! Cuih!!  Emangnya siapa si Foke dan Jokowi itu ampe segitunya??)... karena ya itu tadi.... beberapa teman mengirimkan padaku  hal-hal di atas.

Sign. HUff...
Paginya, aku bangung  masih dengan kebingungan yang sama. Lalu, setelah ngobrol sama suamiku tercinta, menyempatkan diri untuk nulis status di facebook (hahahaha, penting sih???)

Gilaaaa... Padahal aku cuek ma politik. Tapi baru kali ini bangun tidur dengan dilema : pilih siapa ya?"Mas, aku tetep bingung nih, milih siapa?" "Kita harus milih ya mas?" "Mas, diskusi yuk... Sapatau dapat pencerahan." Akhirnya, pagi ini suamiku ngajak shalat dan kami akan mulai diskusi. "Kita balik ya dik cara mikirnya. Kita bandingkan dari semua kebaikan yang masing2 miliki. Mana yang punya kebaikan lebih banyak SECARA ADIL DAN PROPOSIONAL." (Dah ya... Kami mo mulai diskusi nih... Iihh, untuk pertama kalinya aku nggak bisa secuek dulu)

Akhirnya, kami pun diskusi. JIka kemarin-kemarin teman-teman lebih banyak memaparkan kejelekan masing-masing, maka aku dan suamiku mendiskusikan kebaikan-kebaikan yang mereka miliki. Kita mulai dengan yang baik, semoga hasilnya juga baik.

1. Baik Fauzi (F) maupun Jokowi (J) sama-sama punya kemampuan kok untuk jadi gubernur. Keduanya sudah membuktikannya di kotanya masing-masing. Sekarang, tinggal lihat, secara proporsional keberhasilannya. Si F, betul sudah melakukan perubahan dan peningkatan terhadap DKI. Tapi, si J juga sama. Hanya bedanya, modal yang mereka miliki ketika melakukan itu. Si J, dengan modal APBD yang kecil (karena tinggak di SOLO), mampu melakuan x,y,z. Sedangkan si F, dengan modal APBD yang gendut, juga bisa melakukan x,y,z. Pertanyaannya, kenapa cuma x,y, z dengan modal gendut itu?
2. Menjawab semua link yang teman-teman berikan kemarin. Itu semua, ternyata sesuatu yang tidak bisa dipungkiri pasti terjadi pada kota-kota yang sedang berubah untuk menjadi besar.
Kemacetan yang terjadi  baik di jakarta maupun solo, bisa jadi merupakan konsekuensi nafsu masyarakat kita yang pingin punya mobil. Kalau sudah punya satu untuk si bapak, masa si ibu nggak dikasih? Kalau si ibu dikasih, anak juga dong. Itu logika masyarakat kita. Baik hati dan rajin menabung (jadi, mobil atau motor dijadikan investasi. Kalau nggak ada duit gampang ngejualnya, itu pertimbangannya).
Keberadaan pasar yang tidak  memberi kontribusi pada  pertambahan pendapatan masyarakat. Nah, ini juga jadi pertimbangan tersendiri. Jika memang pasar itu merugi, logikanya, seharusnya sih jadi berkurang atau ditutup kan? Tapi, kenapa terus bertambah jumlahnya? Jangan-jangan sebenarnya ini ada kontribusinya. Hanya saja, karena sekarang jumlahnya banyak jadi ada penyebaran konsumen dan daya beli masyarakat otomatis juga tersebar. Imbasnya, ya pendapatan si penjual juga jadi  harus berbagi dengan penjual lain.
Masalah agama salah satu kandidat : hmm, asal tahu saja, kandidat yang dimaksud ini sebelumnya adalah bupati Belitung yang notabene mayoritas adalah pemeluk Islam yang taat dan beliau sendiri diusung oleh salah satu parpol Islam. Sedangkan kandidat cagub PILKADA DKI  sendiri, keduanya sama-sama islam kok. Dan kita tidak bisa menilai derajat keIslaman seseorang hanya dari pakaian luarnya saja. Karena belum tentu juga mereka yang pake burqa dan gamis panjang itu pasti masuk surga. Atas rahmat Allah-lah kita semua kelak bisa masuk ke dalam surga (jujur saja; selama 12 tahun saya mengasuh  rubrik uneg-uneg di www.kafemuslimah.com, saya menemukan beberapa  pelanggar syariat itu ternyata adalah pribadi-pribadi yang tidak terduga sama sekali. Itu sebabnya saya  tidak menganggap penting kulit luar seseorang).

3. Siapa yang berada di lingkaran sekeliling si kandidat. Nah, ini dia yang rumit. Jika si F menang, dia bisa nggak ya mengatur para 'forum komunitas' yang memberi dukungan buat dia? Jika si J menang, dia bisa nggak ya membebaskan diri dari parpol pendukungnya? Jika si F menang, maka bisa dipastikan mereka yang duduk anteng sebagai kaki kanan F di dewan tata kota, jajaran pemerintahan yang lebih kecil seperti camat, lurah, dll, juga para pemikir dan pelaksanaa pembangunan, mungkin tidak akan diganti. Artinya, kalau kita ngerasa selama ini cukup puas dengan apa yang terjadi di Jakarta, maka F adalah pilihan yang tepat. Tapi, kalau tidak puas, ada baiknya ngelirik si J. Karena bisa jadi, si J akan mengganti jajaran pemikir dan pelaksana proyek2 yang menurutnya memerlukan pembenahan.
Menjawab keraguan teman-teman yang disodorkan padaku.
"Ibu  rela si X naik jadi DKI satu jika J jadi cawapres mendampingi Prabowo yang maju jadi Capres di 2014?"
Jawab: Ya sudah, kenyataannya, itu kan semua belum tentu terjadi.  Lagian, aku nggak pilih Prabowo kok insya Allah nanti (heheheh).
"Bagaimana jika kelompok SEpiLis (katanya sih ini singkatan dari sekuler, pluralisme dan liberalis) menang gara-gara pilihan kita salah?"
Jawab: Memangnya kalian pikir si F yang didukung oleh partai X itu, partai x nya  itu tidak ada pengaruh sipilisnya?

Diskusi yang asyik ini (makasih ya suamiku, aku selalu suka diskusi dengan dirimu), akhirnya alhamdulillah melahirkan sebuah keputusan. Ya, aku akhirnya ikutan mencoblos. Siapa yang aku coblos? Hehehee.. itu mah rahasia ah.

Dan lebih dari itu,  tentu saja sekarang menjadi pertanyaan menggantung. Karena , Siapapun yang terpilih nanti, mampu nggak ya dia melepaskan diri dari tuntutan "harus balas budi pada pendukungnya"?
Semoga siapapun yang menang dan jadi mimpin Jakarta kelak, dijauhkan  Allah dari semua keburukan takdir yang sudah dia peroleh. Aamiin.
---
Penulis: Ade Anita (20 september 2012).
Like ·  · Share · Delete

1 komentar

  1. aiih, jadi pilih siapa mba. kayaknya pilihan mba ade menang hahaha

    BalasHapus