LInk untuk baca diskusi tentang cerpen pemenang lomba cerpen femina

bahasan cerpen pemenang lomba cerpen femina

copas isi pdf (sapatahu ada yang nggak bisa buka pdf di atas:

Cerpen “Ibu dan Hidangan Penutup” bercerita tentang Ibunda Marlena yang tidak
menyukai makanan atau hidangan penutup. Menurutnya, hidangan penutup mirip dengan
menutup kehidupan. Seperti yang terjadi pada hari itu, pada saat Marlena menerima cheesecake
dari Pradit (pacarnya) dan keluarganya.




Dulu, setiap kali Marlena ulang tahun, ulang tahunnya dirayakan dengan tema-tema tertentu seperti (jadi) putri duyung, bajak laut, snow white, dan lain-lain. Ibunya selalu membuatkan makanan atau hidangan penutup. Suatu hari, ketika Marlena ulang tahun, hidangan terakhir dan sang ibu belum juga muncul. Rupanya dia mendapati ibu dan ayahnya tengah bertengkar. Ayahnya jarang pulang ke rumah karena punya “rumah” kedua atau ketiga. Dia mendapati ayah dan ibunya bertengkar keras di dapur.

Ayahnya membanting hidangan penutup itu, hidangan yang selalu dibanggakan oleh ibunya. Sesuatu yang dikatakan oleh ayahnya terlalu manis dan artifisial, mirip hidangan
penutup. Sejak kejadian itu, tidak ada lagi hidangan penutup (dessert). Sosok ayahnya juga tidak tampak lagi.

Hari ini ketika Marlena telah bekerja di sebuah perpustakaan dan punya pacar bernama
Pradit yang akan datang bersama keluarganya, ibunya ngambek karena keluarga Pradit menghadiahkan kue hidangan penutup. Sesuatu yang kini telah menjadi tabu.

Marlena akhirnya membagi-bagikan kue itu kepada pembantunya. Kini dia harus mencari jawaban kepada Pradit dan keluarganya, mengapa hadiah kue hidangan penutupnya tidak ada
lagi di meja makan.

-2-

Cerita dalam cerpen “Ibu dan Hidangan Penutup” tidak hanya berkisah tentang trauma
yang dialami tokoh ibu tetapi juga mengangkat tema yang secara langsung terkait dengan dunia kuliner atau dunia makanan. Tema tentang kuliner tampaknya memang hendak ditampilkan sebagai sebagai suatu  tema yang sedang menjadi tren. Hal ini diungkapkan oleh Ayu Utami dalam komentarnya terhadap cerpen ini dan sekaligus sebagai juri.

 Dari enam pemenang cerpen
sayembara  Femina, tiga di antaranya terkait dengan tema kuliner. Selain cerpen “Ibu dan Hidangan Terakhir”, cerpen lain yang terkait dengan dunia kuliner adalah cerpen “Lagu Sup
Jagung” dan cerpen “Kuliner”.

Cerpen “Lagu Sup Jagung” sebagai pemenang ke-2 berkisah tentang Hana yang menghadapi sebuah dilema ketika Diyas mempertanyakan kembali keseriusan hubungan mereka setelah Hana menjanjikan akan menjawabnya setelah meminta waktu. Proses menjawab hubungan itu butuh waktu hingga dua tahun. Tidak mudah bagi Hana untuk menjawab pertanyaan Diyas karena dia pernah dikecewakan oleh seorang pria, bahkan hingga ke tingkat pertunangan. Karena itulah dia mengalami kebimbangan.

Di tengah kebimbangan itulah Hana selalu lari ke dapur dan mencurahkan perasaannya untuk memasak sebagai pelampiasan isi hatinya. Pengalaman itu terbangun sejak dulu, sehingga
dengan memasak Hana akan menemukan ketetapan hatinya.
Sore itu, setelah mengalami proses kebimbangan, dengan memasak persediaan yang ada di lemari esnya, akhirnya dia berketetapan untuk mengangkat HP guna menelpon Diyas. Dia menerima tawaran lelaki itu. Seraya meminta Diyas datang ke tempat tinggalnya, perempuan muda itu meminta Diyas untuk membelikan daun papaya sebagai pelengkap masakannya: sup jagung. Cerpen pemenang
ke-2 ini pun secara eksplisit mengisahkan kebimbangan seorang tokoh dalam relasi percintaanya
dengan mengaitkan dunia kuliner.


Cerpen karya Johan Bhimo Sukoco sebagai pemenang penghargaan malah menggunakan judul “Kuliner” secara eksplisit, menggambarkan keterkaitan cerpen-cerpen ini dengan dunia kuliner. Cerpen ini berkisah tentang pertemuan kembali tokoh perempuan bernama Andini
dengan mantan kekasihnya, Samura, di Solo.

Andini datang kembali ke Solo. Dia menemui kembali Samura, mantan kekasihnya, mantan tunangannya. Dia sendirilah yang memutuskan pertunangan itu setelah jatuh hati kepada atasannya, seorang redaktur. Andini sendiri berprofesi sebagai reporter khusus kuliner.

Sementara Samura adalah seorang pemilik restoran di Solo. Dalam cerpen ini, Andini malah diceritakan berganti-ganti pacar sejak peristiwa perselingkuhannya dengan sang atasan itu
akhirnya putus di tengah jalan.

Pertemuan kembali Andini dengan Samura dihabiskan untuk mengunjungi tempat-tempat khusus di Solo termasuk ke sebuah tempat nasi liwet pinggir jalan. Di sini Samura membandingkan nasi liwet miliknya dengan nasi liwet warung itu. Andini berbohong, ketika diminta membandingkan kedua nasi liwet itu, dia tidak secara langsung menyatakan nasi liwet warung itu lebih enak daripada restoran punya Samura.

Begitu juga jawaban Samura atas permintaan kembali Andini terhadapnya. Ia masih mencintai Andini, tapi ia tidak mau melukai Irene yang kini telah menjadi kekasihnya. Ia mau mencoba mencintainya seperti ia mencintai Andini.

-3-5

Cerpen-cerpen lainnya memiliki tema yang cukup beragam. “Syal Hitam” bercerita tentang penyesalan Kania yang tidak memenuhi permintaan terakhir ibunya sebelum meninggal. Dia minta diikutkan berlibur ke Bali, bahkan telah mempersiapkan syal hitam untuk penahan dingin. Terhadap permintaan itu, Kania menundanya untuk liburan mendatang. Akan tetapi, ibunya keburu meninggal.

Cerpen “Tato di Tubuh Ibu” berkisah tentang kematian seorang ibu yang memiliki masa lalu berliku, baik dalam hubungan asmara dengan sejumlah pria maupun dengan PKI.

Masyarakat menjadi penasaran karena kematian ibunda tokoh aku. Mereka ingin melihat tato palu arit di tubuhnya yang sebetulnya telah dihilangkan oleh tokoh aku atas permintaan ibunya
sebelum meninggal. Cerpen “Ranjang Pengantin Nenek” berkisah tentang ranjang pengantin yang keramat karena ranjang itu akan ambruk jika ditiduri oleh perempuan yang hamil sebelum menikah atau berselingkuh. Sudah beberapa perempuan dalam keluarga itu mengalami ambruknya ranjang pengantin ketika menidurinya. Termasuk tokoh aku, ketika dia dan anaknya meniduri ranjang
tersebut. Rupanya, anak perempuannya itu hasil perselingkuhan.

Cerpen “Hadiah Terbaik” bercerita tentang memori seorang ibu tiri terhadap seorang anak hasil pernikahan suami dengan sahabatnya. Tokoh Ita mendapat mandat dari Adinda untuk menikah dengan mantan suaminya dan merawat anaknya sebelum dia meninggal. Tak lama
setelah Ita melahirkan anak, Mayang, anak tirinya itu malah meninggal dunia.

Cerpen berikutnya, “Jodoh” berkisah tentang kehidupan keluarga Helga dan Andre yang tergolong sebagai keluarga DINK (double income no kids). Mereka hidup bahagia dengan karir
mereka yang makin melejit. Meski demikian, mereka malah memutuskan untuk bercerai karena cinta mereka normal-normal saja, membosankan. Akhirnya mereka hidup terpisah.

Cerpen lainnya, “Bulan Separuh Pucat” berkisah tentang kepulangan Narendra ke kampung halamannya. Dia harus memberanikan diri untuk menyampaikan keputusannya menikahi Winda, janda beranak satu asal Jakarta, khususnya kepada ibundanya dan juga Dewi, kekasihnya di kampung.

“Dongeng yang  Salah” termasuk salah satu cerpen yang berkisah tentang proses perceraian Anya dengan Rio yang belum diketahui kedua anak perempuannya. Tisa, anak sulungnya, memiliki kepekaan akan kerenggangan ayah ibunya. Dia menulis puisi yang mempertanyakan kelanjutan  cerita-cerita dongeng yang selalu berakhir bahagia dengan pernikahan. Apakah setelah menikah mereka tetap bahagia? Rupanya setelah menikah keluarga Anya dan Rio tengah menuju ke perceraian, tidak selamanya bahagia.

Cerpen terakhir, “Cinta Sarsa” berkisah tentang kehidupan Sarsa yang menjanda dengan anak satu. Ada beberapa lelaki yang mencoba mendekatinya, termasuk Alvin. Namun, akhirnya Alvin malah menikahi wanita lain hanya gara-gara Sarsa adalah janda Bimo, mantan saingan Alvin sejak mahasiswa. Dia gengsi menikahi bekas istri Bimo.

-4-

Kembali ke cerpen “Ibu dan Hidangan Penutup” sebagai pemenang sayembara. Cerpen ini jelas-jelas mengusung tema kuliner. Tokoh ibu rupanya mengalami trauma terhadap hidangan penutup manakala dulu suaminya meninggalkan dirinya dan anak semata wayangnya (Marlena)
dengan membanting hidangan penutup dalam pertengkaran terakhir.

Tampaknya tema dan permasalahan yang ditampilkan dalam cerpen ini tampak biasa-biasa saja. Akan tetapi, jika dicermati lebih lanjut cerpen ini mengusung sindrom poskolonial.

Dalam cerpen ini, dapat ditemukan sejumlah kosa kata terkait dengan kuliner atau tata boga yang menandai adanya sindrom poskolonial. Kata-kata semacam dessert, cake, raspberry
cheesecake, pudding, tiramisu, barbecue, seafood, english trifle, blueberry, stroberi, mousse, lemon cake,  dan chassecake. Kata-kata menu makanan atau terkait dengan makanan tersebut
tersebar di sepanjang cerpen. Memang, dalam cerpen ini kata-kata tersebut dicampur dengan sejumlah kosa kata seperti satai ayam, nasi kuning, gurami asam manis, dan bakso ikan.

Perpaduan semacam ini muncul dalam kisah pengalaman ulang tahun Marlena selama ini hingga berujung pada kiriman hidangan penutup dari pacarnya. Pada salah satu perayaan ulang tahunnya, Marlena pernah dirayakan dengan tema Snow White. Kala itu, ibunya menyiapkan kue ulang tahun berbentuk boneka memakai gaun panjang.
Bonekanya asli, dan gaunnya adalah bolu yang lezat. Kue itu membuat gadis-gadis cilik para tamu Marlena kala itu melirik iri dan berbisik pada ibu masing-masing, supaya dibuatkan kue
yang serupa itu bila ulang tahunnya tiba. Dalam peristiwa itu bahkan ditambahkan para tamu enggan beranjak pulang karena adanya menu tiramisu.

Peristiwa dalam cerpen ini berulang dengan menampilkan peristiwa ulang tahun tokoh Marlena dengan berbagai hidangan yang sebagian besar terkait dengan menu asal Barat seperti tampak dalam deskripsi sebagai berikut.

Ibu menyiapkan barbecue daging sapi, seafood, ayam, di tengah halaman rumah. Sengaja Ibu menyewa beberapa pelayan tambahan. Sirop dan limun ada di mana-mana. Semua tamu sibuk menyerbu hidangan yang tampak tak pernah habis disuguhkan. Ketika mereka mulai kekenyangan, Ibu bersiap mengeluarkan kejutan barunya:
hidangan cuci mulut yang bertumpuk-tumpuk. Kata Ibu tadi pagi, Ibu akan membuat english trifle untuk disantap di akhir peta. Marlena sempat mengintip tadi ke dapur, lapisan butir-butir stroberi tercampur dengan blueberry, potongan pisang, dan adonan
puding tampak begitu menggoda bertumpuk-tumpuk padat. Tampaknya, cerita dalam cerpen ini seperti dipaksakan. Tidak saja berupa pemaksaan tema terhadap dunia kuliner yang menjadi tren, tetapi unsur-unsur kulinernya pun masih terkait dengan sebuah wilayah dunia yang dipandang jauh lebih bergengsi yakni menu makanan asal
barat, tempat sebuah hegemoni yang hendak disebarkan. Makanan seperti aneka  cake, dan konsep hidangan penutup adalah sebuah representasi dunia yang dianggap lebih bergengsi.

Dalam cerpen ini tampaknya memang disengaja dipenuhi dengan taburan kosa kata dunia kuliner asal Barat seperti yang disinggung di depan. Hal ini bisa jadi muncul tanpa disadari.

-5-

Cukup mengherankan makanan asal Barat telah menjadi panutan selain kemenangan Barat dalam bidang kekuatan, ekonomi, politik, bahkan hingga budaya yang lebih spesifik seperti pada dunia kuliner. Awalnya, Eropa menjajah wilayah seperti Indonesia awalnya untuk mencari rempah-rempah. Makanan mereka rata-rata hambar kurang bumbu. Berbeda jauh dengan makanan khas Indonesia yang kaya rasa dan cita rasa. Akan tetapi, ketika merekamenjadi tuan, makanan mereka pun beranjak menjadi makanan yang bergengsi. Bagaimana Italia yang tidak memiliki pohon kopi menjadi pusat cita rasa minuman kopi? Bagaimana orangIndonesia kemudian mentradisikan sarapan dengan roti agar tergolong sebagai kelas menengah atas?7
Begitu juga dengan fenomena yang terdapat pada cerpen “Ibu dan Hidangan Terakhir”.

Femina tampaknya bukan tanpa kesengajaan mengangkat sejumlah cerpen dengan tema-tema yang terkait dengan dunia kuliner. Demikian halnya, para penulis cerpen ini tampaknya tanpa disadari mengukuhkan peran Barat sebagai budaya panutan lewat sajian makanannya yang ditampilkan dalam kisah cerpen mereka.

 Gejala semacam ini termasuk sindrom poskolonial,sindrom yang dimiliki orang-orang bekas jajahan yang masih memandang mantan penjajahnya sebagai sesuatu yang ingin ditirunya atau budaya mimikri.
 Dengan makan makanan yang biasa dimakan mantan penjajah, statusnya bisa terangkat. Bukankah kita sering menemukan hal semacam ini dalam kehidupan keseharian?

Tampaknya cerpen “Ibu dan Hidangan Terakhir” menjadi representasi sindom poskolonial. Bagaimana tokoh-tokoh dalam cerpen lainnya makan? Ilustrasi terhadap pola makan tokoh-tokoh cerpen ini bisa mengindikasikan sebuah representasi gaya hidup para pembaca Femina ataupun gaya hidup yang mau dibidiknya. Berikut ini kutipan dari masingmasing cerpen manakala menggambarkan pola makan para tokohnya.

Gambaran atau deskripsi pola makan atau menu makanan yang dinikmati para tokoh dalam cerpen “Syal Hitam” dan cerpen “Bulan Separuh Pucat” tidak ditemukan. Tokoh-tokoh dalam kedua cerpen ini tidak sampai dilukiskan makanan jenis apa yang dilahapnya atau juga tentang di mana mereka makan.

Dalam cerpen “Lagu Sup Jagung” dan cerpen “Kuliner” seperti yang telah disinggung di depan memang terfokus pada kisah seputar masak-memasak atau makan-memakan. Tokoh Hana dalam cerpen “Lagu Sup Jagung” memiliki kebiasaan untuk pergi ke dapur dan memasak sesuatu sebagai pelampiasan atau terapi terhadap permasalahan yang dihadapinya. Sementara dalam cerpen “Kuliner” tokoh Andini dan Samura berkisah tentang pertemuan kembali setelah pertunangan mereka bubar di tengah jalan. Kisah cerpen ini memang secara langsung terkait dengan dunia kuliner seperti judulnya, bukan karena mereka kebetulan makan di sejumlah restoran atau warung nasi liwet yang khas dari Solo, tetapi profesi kedua tokoh ini digambarkan memiliki kaitan dengan dunia kuliner. Andini adalah reporter kuliner sebuah media sedangkan Samura bekerja sebagai manajer dan pemilik restoran. Kedua cerpen ini tidak begitu kentara menampilkan sesuatu yang berasal dari Barat. Setidaknya menu atau kegiatan makan-memakan yang digambarkan di dalamnya masih tergolong berimbang.

Lain halnya pada cerpen-cerpen berikutnya. Gambaran sindrom poskolonial tersebut tampak terlukis dari menu makanan ataupun lokasi-lokasi yang dipilih oleh para tokohnya dalam menyantap makanan. Dalam cerpen “Jodoh” digambarkan bagaimana tokoh Helga dan Andre memiliki kebiasaan menyantap makanannya. Sekarang, mereka sudah resmi bercerai. Yang pasti, sekarang mereka akan merasa hidup dalam dunia yang ganjil. Sekarang Andre tidak perlu lagi membeli dua tiket untuk menonton bioskop. Juga tak perlu membeli dua gelas ice chocolate latte ukuran medium, kalau sedang membuka internet di Starbucks. Tidak perlu lagi mencari sepatu Jimmy Choo atau Christian Louboutin, atau tas Prada, Gucci dan Louis Vuitton untuk istri, adikadik dan ibu mertuanya, jika sedang tugas ke Hong Kong, Paris, atau London.

Pada bagian lain digambarkan bagaimana dialog Helga dan Andre semasa mereka masih awal-awal menikah menikmati makanan yang digemarinya. Kutipan berikut ini dapat menggambarkan betapa selera makan mereka cenderung seperti yang dilakukan oleh orangorang Barat.:

“Kubelikan wine, ya? Sudah habis ‘kan? Cuma 14 dolar. Murah.” Dia tahu
kesukaan suaminya, wine Australia. Dia tahu, Andre stop minum wine sejak harganya
menjadi Rp 400.000.
Dan pulangnya, dia tidak hanya membawakan wine kesukaan suaminya, tapi juga spaghetti, kacang kulit, kacang bali, dan lain sebagainya.

Dalam cerpen lainnya, “Dongeng yang Salah” digambarkan bagaimana tokoh Anya menikmati kegiatan sorenya atau coffe time-nya dengan gambaran sebagai berikut.

Secangkir kopi panas dan roti bakar. Ada yang lain hari ini. Meja di teras belakang sedikit lebih sesak. Sebuah map tergeletak di samping piring roti bakar. Pukul empat sore seperti hari-hari sebelumnya, hatinya selalu berhasil menggoda tangan untuk
membuat secangkir kopi dan sepotong roti bakar demi memenuhi hasratnya menikmati sore dalam kesendirian.

Deskripsi semacam ini diulang tiga kali pada cerpen ini. Anya menikmati kegiatan sorenya dengan menikmati segelas kopi dan roti bakar. Kopi seperti disinggung di atas telah
menjadi budaya Eropa atau Italia meski pohonnya tumbuh di pulau-pulau Nusantara. Roti bisa
dikatakan mewakili Belanda, menu pokok yang menggantikan nasi yang seringkali mewakili
status sosial tertentu. Dalam cerpen tersebut, kegiatan sore tokoh Anya dinyatakan sebagai “coffe
time-nya” sebuah diksi yang sengaja dipilih untuk menampilkan citra tertentu, citra kebaratbaratan.
Pada cerpen-cerpen lainnya seringkali digambarkan kegiatan makan pagi para tokohnya
ditulis dengan diksi “breakfast”, makan siang ditulis dengan “lunch”, dan makan malam ditulis
dengan “dinner” sebagaimana terdapat dalam cerpen “Cinta Sarsa”, dan lainnya.  Pilihan kata
semacam itu bukanlah tanpa makna. Ada sebuah gaya hidup, khususnya dalam hal makanmemakan yang ditampilkan dalam cerpen-cerpen Femina  edisi awal tahun 2010 sebagai gaya
hidup perempuan metropolis yang tidak lain adalah sindrom poskolonial.


DISKUSI
-6-
Inilah sebuah gaya hidup yang mau dikonstruksi oleh majalah perempuan di Indonesia semacam  Femina. Cita rasa adalah sebuah konstruksi sosial, sebuah gaya hidup yang bisa
diinternalisasi lewat cerita-cerita seperti pada rubrik cerpen majalah Femina awal tahun 2010 ini.

Tampaknya tidak hanya majalah  Femina dan sejenisnya, melainkan juga situs-situs seperti televisi, karya sastra, film, fashion, dan situs hegemoni lainnya yang menawarkan sejumlah
pesan lewat iklan atau program-programnya yang memuat pesan-pesan poskolonial. Disadari ataupun tidak. Makanan yang dihidangkan dalam sebuah seminar ini bisa jadi juga menjadi situs
penyebar sindrom poskolonial. Coba perhatikan bagaimana komposisi snack yang dihidangkan panitia seminar kali ini? Mana yang lebih banyak? Makanan asli Indonesia, makanan Asia
lainnya, ataukah makanan asal Eropa? Coba sebutkan ….


6 komentar

  1. Keren sharednya mbak Ade, makasih, improve sy banget nih :)

    BalasHapus
  2. aq suka bangeeeet crita tema kuliner :)

    BalasHapus
  3. Ulasan yang menarik. Untuk lomba cerpen Femina yang 2012 apa sudah ada pemenangnya? Jadi penasaran menunggu ulasannya.

    BalasHapus
  4. pengumuman Lomba menulis cerpen majalah femina 2012 kapan ya?
    Sepertinya lama sekali...
    mohon konfirmasinya mbak..

    BalasHapus