mari ngintip cerpen favorit LMCR ROHTO 2010: Sebelum Salju Terakhir



(cerpen yang keren, baca deh)
penulis: Sahid Salahuddin.

KAU BENAR, STAM, London ketika winter benar-benar beku. Berulangkali tubuh tropisku menggigil. Bibirku kaku. Engah napasku kepulkan uap putih. Sepanjang apa yang ku lihat, semuanya menjadi putih.

Cukup jauh sudah ku berjalan susuri trotoar. Dua garis panjang tercetak di lapisan salju, di belakangkujejak dua ban kecil dari tas kabin yang ku seret. Bunyinya berdecit. Jalanan sepi. Dahan-dahan pohon yang gundul digantungi salju-salju lembut hingga melebat. Tiupan angin menjatuhkannya sebagian ke bawah.

Langkahku terhenti di depan sebuah rumah bercat abu-abu. Ku cocokkan alamatnya dengan alamat yang tertulis dalam buku diaryku. Semua cocok. Bagai berada disebuah persimpangan waktu, aku ragu memilih antara mengetuk pintu rumah itu atau tidak sama sekali. Tanganku gemetaran, tapi bukan karena kedinginan. Kakiku melemas, bukan karena kelelahan. Wajahku menghangat. Jantungku yang menghentak cepat memekatkan kepulan uap putih menutupi pias wajahku. Bimbang. Beberapa menit yang berlalu, ku hanya mematung sambil menatap pintu rumah itu. Pintu rumahmu, Stam…

Seperti apakah wajahmu kini, my shappire stone? Rinduku mencuat.



***


Padang, 8 bulan yang lalu

“STAM,” ujarmu memperkenalkan diri.

"Stamp? As the thing you put on an envelope? " candaku. Sifat jahilku terpancing. Cahaya perak bulan tumpah di wajah pualamnya. Greget banget! Pengen tahu, seperti apa gerik mata nilam birunya nih bule, jika salah tingkah. Aku kian terpikat. Sok akrabnya itu lho…, i-ih, menggemaskan!

"No, no, no. But Stand, as in coffee stand, candy stand?"

Tak berhasil. Rona wajahnya tak berubah. Gerik matanya biasa-biasa saja. Malah, giliranku yang kebingungan. Kelabakan sendiri. Harus pasang muka bagaimana di hadapan bule gondrong ini. Aku keki. Senyumku kecut. Mampus aku, kalau-kalau ia memperhatikan gesture tubuhku yang mati gaya. Salah tingkah.

Benar. Ia memperhatikannya. Suara tawanya terlepas begitu saja, penuh kemenangan, mengamati ke-grogian di wajahku yang mendadak pias. Apakah selucu itu wajahku?

"No, no, no… Just kidding. All my friends call me Stam,” ejanya pelan-pelan, “S-T-A-M. Stam. Stam Amundsend."

Ku akui, kau menang Stam. Aku termakan perangkapku sendiri. Betapa malunya aku…


***


LAMBAT LAUN, hari buruk itu terlewati. Kehidupan yang sempat diporak-porandakan gempa 7,6 SR, mulai menggeliat kembali. Tak kenal lelah, kami para relawan bekerja membantu korban-korban gempa bumi Padang. Stam dan relawan asing yang dibawanya tidaklah terlalu banyak jumlahnya. Aku dan kawan-kawan Palang Merah Remaja Jakarta datang ke Padang ini pun juga tak demikian banyak jumlahnya. Waktu yang singkat membuat kami mesti bergerak cepat dan ringkas. Di Padang, kami dibaurkan bersama BASARNAS. Dan adalah kesopanan tidak tertulis, bila BASARNAS, selaku tuan rumah, memberikan sambutan sederhana bagi mereka relawan asing yang telah datang membantu. Betapa menyenangkannya bekerjasama dengan tim relawan Stam.

Dari perkenalan yang memalukan di malam itu, Aku dan Stam menjadi dekat. Lebih dekat. Tak ku sangka, Stam adalah remaja dengan pribadi yang menyenangkan. Kami bicara mengenai apa saja. Dari membincangkan film Hollywood: Titanic; buto ijo versi Hollywood, yang mereka panggil Hulk; atau si bibir sexy Angelina Jolie dalam Tomb Raider. Tak ku sangka, Stam juga kenal si ganteng Nicholas Saputra dan si cantik Dian Sastrowardoyo. Aneh, kan? Yang lebih mencengangkan dan aneh lagi, pernah ku pergoki Stam tertawa terpingkal-pingkal saat menonton Tom and Jerry. Nggak malu tuh dia sama rambut gondrongnya, nonton film kartun begitu? Tom and Jerry lagi!

Kedekatan itulah yang membuat kami lupa bahwa kami adalah masing-masing individu yang beda negara, bahasa, dan warna kulit. Ada titik di mana aku merasa telah mengenalnya begitu lama. Tidak sebagai rekan kerja. Tidak sebagai teman dekat. Kedekatan kami melebihi kedekatan dua orang bersaudara. Keintiman yang ku tak tahu reka bentuknya seperti apa itu. Kian hari, ku tak ingin dipisahkan lagi darinya.


Stam seperti udara bagiku bernapas. Tanpanya, entah apa jadinya aku. Ia juga matahari bagiku. Duniaku gulita, bila sejenak saja ia tak bersamaku. Stam adalah segala-galanya bagiku. Ia harus jadi milikku. Milikku yang tak kan pernah dimiliki juga oleh perempuan selain aku.

Tapi, bagaimana dengan Stam, adakah ia merasakan hal yang sama juga? Atau, ia hanya menganggapku sebagai……

Ah. Sudahlah! Aku sudah cukup pusing dengan bentuk kedekatan kami ini, harus bagaimana lagi menerjemahkannya.

Ada yang membuatku berbeda di saat ku membuka mataku di pagi hari. Satu alasannya: itu semua demi Stam! Ia sudah menjadi sebab dari segala-galanya aku. Sebab aku tersenyum. Sebab aku berlama-lama di depan cermin. Sebab aku selalu bersikap ramah. Sebab yang membangkitkan gairah bekerjaku. Juga, sebab aku menghabiskan banyak halaman diary hanya untuk menuliskan namanya saja. Terkadang, semua itu menempatkanku bagai perempuan yang berjalan dengan banyak kegilaan cinta. Aku ingin menjadi ‘benar-benar’ perempuan sempurna di hadapan Stam. Bila ada perasaan yang lebih kuat dan indah daripada cinta, maka akan kusebut perasaan ini dengan sebutan itu. Bagiku, cukup seorang Stam saja untuk ku bisa bertahan hidup. Ia nafasku. Ia mataku. Ia lisanku. Bahkan, ia identitasku.

Identitasku? Ya, ia identitasku. Karena sebut namanya, maka namaku akan ikut pula tersebut. Hingga salah seorang teman relawan setempat menanyakan, apakah aku akan mengajak pacarku ke pesta ulang tahunnya pekan depan? Aku membisu.

“Pacar?” wajahku merona. Entah kenapa, pikiranku langsung tertuju kepada Stam.

Sungguh membingungkan menghadapi pertanyaan-pertanyaan semisal itu di saat aku tak mengerti bagaimana menggambarkan hubungan di antara kami ini. Gawatnya lagi, pertanyaan itu sering datangnya. Sejak saat itu, tak ada satu malam pun ku lewati, kecuali ku sebut nama Stam sebelum ku terlelap dalam tidurku.

“Mau disebut apa lagi, May, kalau itu bukan cinta? Elo di mana, Stam disitu. Makan berdua, nonton berdua. Ngintiiil aja terus kayak perangko! Jangan konyol, May, Stam cinta sama elo,” nilai seorang teman, relawan Palang Merah Jakarta juga, atas kedekatan kami.

Sampai ketika pertanyaan itu ditanyakan saat Stam ada bersamaku. Jawaban yang diucapkan Stam, sungguh sangat tidak ku duga.

"Oh no! You all got misunderstood. We're just friends."

Hatiku getas. Dalam satu kalimat saja, Stam mengartikan keintiman kami: Just Friends. HANYA. Tidak lebih!

Tentunya, keintiman yang teramat sesuai dengan budayanya di negara sana. Aku tak bisa menyalahkannya. Ia memang tak pernah menciumku. Ia tak pernah memelukku mesra. Bahkan, memegang jemari tanganku pun tak pernah dilakukannya. Untuk ukuran bule, Stam sangat santun. Naifnya aku; semula aku mengira cowok bule akan mudahnya berusaha mendapatkan interaksi fisik dari pasangan ceweknya. Harusnya, aku sadari, Stam sekalipun tak pernah mengucapkan I love you, Aku cinta padamu, atau hanya sekadar memanggilku babe, honey, lof. Harusnya aku berpikir seperti kepala barat-nya berpikir. Cewek bule saja yang sudah dicium, dipeluknya, belum tentu itu berarti cinta. Wajar rasanya, bila Stam menganggapku hanya teman. Seperti yang diucapkannya, “We’re just friends.

Stam tak tahu, setelah itu aku pulang dengan air mata yang berderai.


***


SEKARANG KAMI ‘hanya’ teman. Setengah mati aku tanamkan kata itu dalam hatiku. Setengah mati aku redam guncang dadaku. Setengah mati aku upayakan di pagi hari untuk tidak membersitkan namanya begitu kelopak mataku membuka.

“Sekarang kami ‘hanya’ teman! ‘Hanya’ teman! Hanya, hanya, hanya!”

Ku bulatkan keyakinan itu sebulat-bulatnya. Ku tak ingin goyah oleh sinar mata sapphire-nya. Oleh senyumnya. Oleh kata-katanya. Tidak akan!

Mulai sekarang, akan ku buka diri kepada cinta yang lebih bisa ku harapkan. Bukan cinta dari Stam. Bukan yang ‘hanya’ saja. Karena itu, ketika Bill, kawan yang dibawa Stam, menculikku dari pestafarewell party suatu malam, aku oke saja. Dengan begitu, orang-orang takkan menyebut aku dan Stam sebagai couple lagi. Ku tak ingin, di saat nama Stam disebut otomatis namaku tersebut juga.

Bagai pamer, aku naik ke jok belakang motornya. Begitu menyenangkan, disaksikan orang banyak, aku digandeng Bill merapat ke punggungnya. Pikirku, lain kali aku akan melakukan adegan ini di depan Stam langsung. Biar dia lihat, bahwa aku setuju dengan ‘Just friends’-nya itu.

Hampir semalaman kami berkeliling kota Padang. Lebih menyenangkannya lagi, selera kami sama. Bill sama sekali tidak canggung makan di emperan simpang Adabiah. Dua mangkok besar mie ayam dilahapnya habis tanpa malu-malu. Bill tak kalah menyenangkannya dari Stam. Aksen Skotlandianya saat berbicara, aku suka. Bila ada kekurangan di saat itu, hanyalah rasa ‘klik’ yang tak sama bila seandainya berdua dengan Stam.

Sudah jauh malam saat aku tiba di rumah. Bill mengantarku sampai ke depan gang saja. Betapa kagetnya aku melihat Stam telah berdiri menanti di teras rumahku. Raut wajahnya tak menyenangkan.

"Where is he? You didn’t wear a helmet. You didn’t even answer my phone. I can’t help thinking, why on earth you could go out without wearing a helmet and taking your cellphone. And at this hours?! I’ve been waiting for hours. I’m worried about you.”

Aku dengar nada kesal dari intonasi suaranya. I’m worried about you? Itukah dinyatakan Stam, yang pernah bilang, just friends?

"I am totally fine, Stam. Yes, I didn’t take my cell with me. But, I just had a ride around the corner. Not too far…," dustaku.

Aku tidak mengerti sikap Stam malam itu. Mata birunya memuntahkan jelaga. Aku rasakan itu.

“Wait, Stam!” tahanku, ketika Stam hendak beranjak dari teras rumahku, “I can explain.”

Ia hentikan langkahnya di ujung teras, tanpa berbalik badan menatapku. Tangannya terkepal kuat-kuat.

“Stam, at least I am here now, right by your side. I didn’t mean to make you worried. Tell me, why are you suddenly so panicky like this?” ujarku, hati-hati. Padahal, ingin sekali ku mengatakan, kenapa kau, Sayangku?

Stam menoleh memandangku. Jelaga di matanya melembut. “Sorry, Maya. To tell you the truth, it’s not because of the helmet and the phone thing that worried me. The fact is, you are more than what I can think of. Honestly, I’m jealous. Blindly jealous. I’ve never been this worried before. I need to say that you are the reason why I open my eyes in the morning, just to see you, to make sure you are happy, not upset or missing anything–"

Aku terbungkam. Jawaban itu indah bagiku.

“–Tomorrow, I am leaving for London with the first flight. I’ve finished my job here. My girlfriend is waiting for me there–”

Sepintas cemburuku terbersit. Aku harus menghargai kejujurannya. Apalagi, kejujuran itu berasal dari diri seorang Stam, lelaki yang teramat aku puja.

“–I don’t want to hurt her. Yet, I can’t hide my feeling for you and this jealousy is killing me. Now the answer is all up to you. I’ve tried to be honest.”

“I understand, Stam,” anggukku paham akan kondisinya. Entah senang, entah sedih.

“Thank you.”

Tak ada yang bersuara setelah itu. Baik, aku maupun Stam, hanya memandangi rembulan. Tak ada lagi perkataan yang lebih baik, selain hanya membiarkan hening yang berkata. Ku rebahkan kepalaku ke bahunya. Aku tak akan bertanya. Aku tak menuntut apa-apa lagi. Semuanya sudah jelas kini. Aku hanya ingin menikmati detik-detik terakhir bersamanya, sebelum ia pulang ke London. Stam tahu, betapa aku mencintainya. Sama tahunya aku atas rasa dalam hatinya. Aku terima semua kenyataan itu…

Ku sadari penuh, akan tiba masanya Stam kembali ke negerinya berasal. Kembali dalam dekapan kekasihnya. Sementara aku di sini, tidak akan pernah membuka ruang untuk menyesal dan rasa bersalah. Semua karena keinginanku. Kenyataannya, aku memang teramat mencintainya…


***


BURU-BURU, aku menuju ke kursiku. Beberapa menit lagi, pesawat akan take off meninggalkan London. Sabuk pengaman ku kencangkan. Walau aku tak memiliki keberanian mengetuk pintu rumah Stam­khawatir pacarnya ada bersamanyamemijakkan kakiku ke tanah di mana Stam dilahirkan, menghirup udara yang sama dihirup oleh Stam, mengetahui rumah di mana ia tinggal, semua itu sudah cukup bagiku. Tinggal aku berharap, Stam menemukan buku diaryku, yang sengaja ku tinggalkan di kotak pos yang ditegakkannya di depan rumah. Aku hanya ingin sedikit meninggalkan jejak baginya. Paling tidak, dengan tidak adanya amplop yang membungkus diary itu, Stam jadi tahu bahwa aku pernah datang ke sini. Setelah itu, tak ada yang ku inginkan lagi. Semua yang ku inginkan untuk ku lakukan di negeri ini, sudah tunai ku kerjakan.

Sebal juga. Mestinya, lima menit yang lalu pesawat ini take off. Entah apa yang terjadi. Di ujung pintu, di depan sana, dua orang petugas menginterogasi seseorang. Pikirku, mungkin orang yang masih tertahan di pintu pesawat itu, masih tersangkut masalah administrasi. Selang tak begitu lama, seseorang yang ternyata seorang laki-laki, tergopoh-gopoh berlari di lorong kabin. Ia berlari ke arahku. Di hadapanku, ia mengulurkan tangannya.

“Stam,” sahut lelaki itu.

Tak tergambarkan bahagiaku saat itu juga. Seperti perkenalan kami saat sambutan malam itu, aku jabat tangannya, dan kembali mengulangi semua momen itu seperti semula.

"Stamp? As the thing you put on an envelope?" candaku, riang. Tak banyak berubah. Mata birunya menyiratkan cinta.

"No, no, no. But Stand, as in coffee stand, candy stand?"

Salju akan menipis. Ku titipkan harapanku: salju datanglah lagi, besok atau nanti. Stamkau benar-benar telah kembali, Sayang. Bahkan, sebelum butir salju terakhir menumpahkan cintanya dari langit.●


02 06 10

Keterangan:


shappire stone: Batu nilam/batu safir


Stamp? As the thing you put on an envelope?: Perangko? Sesuatu yang kamu lekatkan di amplop?


No, no, no. But Stand, as in coffee stand, candy stand?: Bukan, bukan, bukan. Tapi kedai, seperti kedai kopi, kedai permen?


No, no, no… Just kidding. All my friends call me Stam: Bukan, bukan, bukan. Aku hanya bercanda. Teman-temanku memanggilku Stam


Oh no! You all got misunderstood. We're just friends: Oh tidak! Kalian salah duga. Kami hanya berteman


farewell party: Pesta perpisahan


Where is he? You didn’t wear a helmet. You didn’t even answer my phone. I can’t help thinking, why on earth you could go out without wearing a helmet and taking your cellphone. And at this hours?! I’ve been waiting for hours. I’m worried about you:Kemana lelaki (yang bersamamu) tadi? Kamu tak pakai helm. Tak menjawab panggilan telfonku. Tak habis pikir aku, bisa-bisanya kamu pergi tanpa helm dan HPmu. Ini sudah jam berapa? Aku sudah menunggumu lama. Aku mencemaskanmu


I am totally fine, Stam. Yes, I didn’t take my cell with me. But, I just had a ride around the corner. Not too far…: Aku baik-baik saja, Stam. Benar, aku lupa membawa HPku. Aku hanya berkeliling-keliling. Tak jauh, kok…


Wait, Stam! I can explain…: Tunggu, Stam! Aku bisa menjelaskannya…


Stam, at least I am here now, right by your side. I didn’t mean to make you worried. Tell me, why are you suddenly so panicky like this?: Stam, sekarang aku sudah di sini. Di sampingmu. Aku tak bermaksud membuatmu cemas. Katakan, mengapa kamu bisa sepanik ini?


Sorry, Maya. To tell you the truth, it’s not because of the helmet and the phone thing that worried me. The fact is, you are more than what I can think of. Honestly, I’m jealous. Blindly jealous. I’ve never been this worried before. I need to say that you are the reason why I open my eyes in the morning, just to see you, to make sure you are happy, not upset or missing anything. Tomorrow, I am leaving for London with the first flight. I’ve finished my job here. My girlfriend is waiting for me there. I don’t want to hurt her. Yet, I can’t hide my feeling for you and this jealousy is killing me. Now the answer is all up to you. I’ve tried to be honest: Maafkan aku, Maya. Sebenarnya, ini bukan tentang helm dan HP yang membuatku cemas. Kenyataannya, kau melebihi apa yang aku pikirkan selama ini. Jujur, aku cemburu. Cemburu buta. Tak pernah sebelumnya aku secemas ini. Kaulah alasan mengapa aku membuka mataku di pagi hari. Hanya untuk dapat bertemu denganmu. Memastikan bahwa kamu senang. Tidak merasa sedih dan kehilangan. Besok, pagi-pagi sekali, aku pulang ke London. Di sini, pekerjaanku sudah selesai. Pacarku di sana telah menantiku pulang. Aku tak ingin menyakiti hatinya.Pada akhirnya, aku benar-benar tak bisa lagi menyembunyikan perasaanku ini kepadamu. Juga kecemburuanku. Semua terserah padamu, kini. Aku sudah berusaha jujur mengakuinya.


I understand, Stam: Aku mengerti Stam

Tidak ada komentar