Resensi bukunya NUthayla Anwar

Hamparan cinta yg terlihat setelah air mata mengering (sebuah resensi dari seorang sahabat untuk Buku pertama Nuthayla Anwar: “As Tears Dry Out")

Ada dua saat dimana bola mata yang kita miliki ini, akan berbinar penuh cinta. Yang pertama, ketika kita melonjak gembira karena mendapatkan sesuatu yang kita impikan selama ini. Yang kedua disaat kita sedang jatuh cinta dan bola mata ini menatap kehadiran dia yang membuat diri ini jatuh cinta. Bagaimana dengan saat lain? Itu semua tergantung, apakah kedua suasana di atas sedang terjadi atau tidak.

Segala sesuatunya di dunia ini akan berawal dari sesuatu yang disebut permulaan. Ketika kali pertama menemukan sesuatu yang kita impikan atau inginkan selama ini, bahagianya pasti bukan alang kepalang. Jika keesokan hari diberi lagi barang yang sama, bahagia yang didapat mulai berkurang kualitasnya. Begitu seterusnya jika tiap hari sesuatu yang kita impikan itu dihadirkan saban harinya, hingga akhirnya lonjakan bahagia itu hilang dan berubah wujud menjadi sesuatu yang rutin dan membosankan. Manusia memang memiliki sifat dasar tidak pernah puas dengan apa yang telah dia peroleh. Jika belum dapat sesuatu, dia akan berusaha keras untuk mendapatkannya. Jika pada akhirnya berhasil mendapatkannya, dia mulai berencana untuk memperoleh lebih dan mulai sibuk mengejar nilai lebihnya itu. Terus. Hingga tidak lagi merasakan sensasi kenikmatan atas apa yang telah diperoleh selama ini.

Demikianlah yang terjadi pada orang yang jatuh cinta. Berapa lama desir-desir cinta bisa menghadirkan rona merah jambu pada wajah seseorang? Umumnya di saat-saat pertama. Saat pertama kali mendengar nama kita disebut oleh pujaan hati. Saat pertama kali mendengar pernyataan cintanya. Saat pertama kali mendengar ijab Kabul. Saat pertama kali berhasil duduk bersanding berdua. Saat pertama kali mendapat ciuman pertama. Dan saat pertama – saat pertama kali lainnya. Ketika saat pertama itu hadir keesokan harinya dengan acara yang sama, sensasi desiran cintanya mulai tidak terlalu menggebu lagi. Begitu seterusnya hingga akhirnya perasaan nyaman dan aman karena “telah berhasil” memilikinya menghilangkan semua sensasi desiran cinta. Semua jadi biasa. Semua jadi mulai jadi rutinitas. Semua yang awalnya terlihat indah menjadi pemandangan yang biasa saja. Mata sudah terbiasa menerima stimulus yang sama selama kurun waktu yang lama.

Mata pun lalu kehilangan binar cinta, jiwa lalu menjadi kering dan jika tubuh terus dihela untuk menjalani rutinitas ini terus menerus, hatipun bisa berubah menjadi batu. Untuk itu, Allah SWT, Tuhan Yang Maha Penyayang, menciptakan kemampuan untuk memejamkan mata sejenak dalam sebuah istirahat bagi raga yang terus terjaga, dan menciptakan kemampuan untuk menangis sebagai pelepas penat jiwa.

Seorang bayi yang menangis kencang, menyelamatkan hidupnya dari rasa lapar, kedinginan karena berenang diatas air seninya sendiri, sekaligus membuat dirinya yang belum dapat berjalan atau berkata-kata memperoleh semua kebutuhan hidupnya. Menangis pada orang dewasa, membuat orang dewasa bisa melepas penat dan sedih yang memenuhi relung dada mereka. Menangis, bisa membuat mata yang selama ini tertutup kabut rutinitas, kembali jernih untuk dapat melihat segala sesuatunya lebih jelas lagi. Bukankah mutiara atau berlian yang paling indah dan mahal di dunia ini, tidak akan terlihat istimewa dihadapan mata yang tertutup?

Tampaknya, inilah pesan yang ingin disampaikan oleh Nuthayla Anwar dalam buku kumpulan cerpen dan resep masakannya. Ada 12 kisah kehidupan yang dilukiskan oleh Nuthayla Anwar dengan kepiawaiannya mengolah kata dan menjalin cerita. Yang menarik adalah, dengan cerdas, Nuthayla Anwar berusaha mengaitkan semua cerita fiksi ini ke dunia nyata dengan berbagai resep masakan yang bisa dicoba di dapur pembaca bukunya.

Ada Kisah Menjemput Cinta yang dikaitkan dengan cerdik dengan resep Soto Betawi, lengkap dengan foto berwarna dan segala macam bahan yang diperlukan dan cara membuatnya. Ada juga Ketika Sepatu Berkisah dan Resep Lasagna. Lalu Reuni dan resep Makaroni Panggang dengan bayam dan wortel, serta Nugget ayam dengan brokoli serta cerita-cerita dan resep-resep lainnya.

Jangan pernah mengira bahwa semua cerita ini akan menjadi tayangan cerita dengan pesan sponsor resep masakan tertentu. Tidak. Para pembaca tidak akan menemukan sisipan pesan sponsor resep masakan. Meski demikian, resep masakan yang tersaji di belakang tiap-tiap cerita ternyata merupakan sebuah kesatuan yang saling melengkapi.

Kadang, Nuthayla Anwara mencoba menggambarkan bagaimana seseorang yang tidak memiliki perasaan atau pemikiran yang cukup berpengaruh bagi lingkungannya seperti halnya sandal jepit hanyut yang pasrah kemana pun air menggiringnya (hal. 11). Tanpa harus dijelaskan lebih detail, kita semua akan langsung membayangkan seperti apa rasanya sosok sandal jepit hanyut itu. Semua pasti sepakat, itulah gambaran orang yang tidak memiliki pikiran, tidak peduli dengan lingkungan sekelilingnya, bahkan mungkin tidak peduli dengan keadaan dirinya sendiri. Semua benda memang mewakili sosok yang tidak punya perasaan dan akal pemikiran. Tapi, di lembar-lembar berikutnya, Nuthayla membuat kejutan dengan kisah yang justru berlawanan sama sekali dengan istilah sandal jepit hanyut tersebut. Dia berkisah tentang perasaan dan semua alam pemikiran yang berkecamuk pada sepasang sepatu (hal 25 dan seterusnya). Luar biasa dan amat tidak terduga.

Dan rupanya, kejadian di luar dugaan selalu menjadi bumbu istimewa dalam semua cerita yang disajikan dalam buku As Tears Dry Out ini. Menjadi semakin memikat karena ketika kita berpikir bahwa itu semua adalah cerita rekaan dan fiktif belaka, Nuthayla mencoba mengajak kita untuk merasakan resep-resep masakan yang disajikannya setelah sebuah cerita selesai diuraikan. Mau tidak mau, kita kembali terkenang dengan tokoh-tokoh fiktif tersebut dan merasakan kehadiran mereka bersamaan dengan hadirnya resep-resep nyata yang bisa dicoba di dapur.

Kreatif. Itu kesan pertama yang hadir ketika selesai membaca tiap-tiap tulisan yang ada di buku ini. Berikutnya, kita juga akan disajikan bermacam-macam kosa kata yang unik yang tersebar dalam buku penyair dunia maya ini. Ada kata “tidak lantak sepemergian” untuk menggambarkan sosok yang kehilangan (hal. 11). Ada juga kata “menanding” untuk menggantikan kata menimbang (hal.9). Atau sebuah warna unik “kuning kunyit” (hal. 41). Seperti apa kuning kunyit itu? Dia memang tidak masuk kelompok kuning cerah, atau kuning gelap, atau kuning yang terlalu banyak pengaruh merahnya hingga berubah jadi jingga. Tapi, mirip kunyit. Sebuah nama bumbu masak (terus terang, aku sendiri baru tahu yang namanya kunyit ini setelah satu bulan menikah di usia 23 tahun dahulu. Apakah para wanita karir yang tidak pernah turun ke dapur tahu kunyit itu seperti apa dan kuningnya seperti apa? Entahlah. Tapi, ternyata warna ini ada dan nyata). Juga warna jambon (hal. 46). Terus terang, aku tidak pernah tahu seperti apa warna jambon itu. Tapi, melihat konteks tulisannya, “Kulitnya yang putih, bibirnya yang mungil berwarna jambon…”, mungkin ini sebutan lain untuk warna merah. Merah seperti apa? Entahlah. Tapi jujur, ini menambah perbendahaan kosa kata buatku pribadi.

Tapi, yang paling membuatku surprise dan gembira adalah kisah tentang Prahara. Jika selama ini media-media cetak dan elektronika rajin memberitakan tentang penderitaan para tenaga kerja wanita di luar negeri, yang berbanding terbalik dengan kenyataan yang terpapar ketika kita berpapasan dengan mereka di atas pesawat (yang umumnya tampil dengan dandanan dan perilaku berani dan agresif, jauh dari kesan terlunta-lunta seperti yang diangkat di pemberitaan), maka dalam kisah Prahara ini, justru Nuthayla Anwar mengangkat kisah kebaikan majikan dan para tenaga kerja wanita Indonesianya. Ini bagaikan oase untuk berita-berita miring tentang perlakuan para majikan terhadap para tenaga kerja wanita kita di luar negeri sana.
What a surprise!

Mungkin memang harus melihat sisi lain jika sebuah sisi sudah amat sangat menjemukan dan membuat penat. Karena bisa jadi, cinta tidak pernah mati, hanya saja tertutup oleh hati yang telah mengeras oleh kejenuhan. Melengkapi hamparan cinta yang terlihat setiap kali kita selesai menangis.

Mungkin, memang lebih baik dibaca langsung saja buku ini. Menarik deh dijamin. ^_^

**Jakarta, 2 Desember 2009 (penulis Ade Anita)

Tidak ada komentar