BUkan Cerita Bersambung

Alhamdulillah. Untuk seorang ibu rumah tangga yang tidak pandai berkata-kata, masalah mis comunication antara anakku dan institusi pendidikannya bisa diselesaikan. Ternyata, punya kemampuan menulis itu tidak merugikan sama sekali. Setelah berbicara panjang lebar dan berada disudut, saya keluarkan tulisan saya.


"Maaf, jika harus berbicara, saya sama sekali tidak punya kemampuan. Tapi, saya terbiasa menulis. Saya ada buat sebuah tulisan, silahkan baca. Tempo hari saya perlihatkan tulisan yang sudah banyak diedit kepada teman-teman saya dan mereka mendukung saya untuk memperkarakan masalah ini lebih lanjut atas nama keadilan. Saya berusaha taat peraturan. Sebelumnya saya diam, lebih karena alasan kemanusian. Saya amat menghargai profesi seorang guru. Tapi, akhirnya saya disadarkan bahwa bisa jadi, kejadian serupa bukan hanya menimpa anak saya tapi anak-anak lain. Jadi, saya beranikan diri untuk hadir hari ini guna menyampaikan protes. Protes tidak langsung ke atas, tapi saya mulai dari jenjang atasan bapak-bapak terlebih dahulu, baru kemudian atasannya lagi, dan atasannya lagi. Beberapa teman menawarkan bantuan untuk pengaduan ke Komnas HAM, tapi sekali lagi, saya termasuk orang yang amat menghargai profesi seorang guru. Saya tahu jika kita sama-sama ngotot, maka menang jadi arang kalah jadi abu. Sebagai seorang ibu, silahkan baca tulisan saya dan cobalah untuk memahami apa yang saya inginkan." Lalu mereka membaca tulisan saya... dan subhanallah,atas pertolongan Allah jua, akhirnya mereka meminta maaf kepada saya dan berjanji untuk bersikap adil terhadap anak saya mulai hari ini. Masalah pun dianggap selesai.

Berikut adalah tulisan lengkap yang saya berikan pada mereka (kemarin-kemarin, sehari setelah tulisan "And You'll Still be my sweetest baby in the town" saya tayangkan di notes fb, pimpinan institusi langsung protes dan kami membuat sebuah perjanjian untuk tidak mempublikasikan tulisan tersebut ke publik dan sepakat untuk menyelesaikan masalah secara kekeluargaan. Itu sebabnya saya langsung memprotect notes tersebut agar tidak dapat diakses oleh siapapun. Hari ini saya tampilkan lagi versi lengkap tulisan saya hanya untuk kalangan terbatas saja, hehehe.. habis sudah terlanjur sih kemarin. Mohon jangan disebar luaskan lagi ya. Thanks.)

And You'll Still Be The Sweetest Little Baby in Town.
(oleh: Ade Anita)

“Pianikanya kok nggak pernah dibawa lagi?” Putriku langsung tersenyum pahit mendengar pertanyaanku. Kepalanya terlihat menggeleng. “Sudah nggak perlu lagi.” Aku menatapnya heran.

“Mengapa?” Wajah putriku langsung tertunduk lesu. “Kemarin aku dikeluarkan dari kelompok pemain pianika.” Aku menatap wajah putriku serius. “Alasannya?” sebuah senyum kecut hadir di wajah putriku yang sendu. “Dalam seleksi, pelatihnya bertanya padaku, apakah aku bersedia melepas jilbabku jika aku terpilih ikut lomba. Aku bilang aku tidak mau. Lalu, mereka langsung mengeluarkan aku.”

Aku termenung. Bagiku ini masalah serius. Kemampuan bermusik putriku cukup lumayan, tidak masuk akal jika seleksi perlombaan music tidak melihat kemampuan ini tapi malah melihat jilbabnya. Esoknya, aku menghadap pelatih kelompok. Lima belas menit berargumentasi dan hasilnya sama, jika tidak bisa melepas jilbabnya, maka putriku tidak bisa dimasukkan dalam kelompok yang akan bertanding. “Bapak tahu, sebenarnya tidak penting bisa ikut lomba atau tidak. Karena, jika anak saya tidak bisa mendapatkan sebuah ilmu disini, saya akan mencarikannya guru privat untuk melengkapinya. Tapi, yang membuat saya meradang adalah, secara tidak langsung bapak telah mengajarkan kepada anak saya bahwa untuk meraih kemenangan maka segala macam cara bisa dilakukan, termasuk melanggar ketentuan syariah. Barang siapa yang tidak mau melakukannya, maka dia akan dibuang dan tidak akan dipakai. NIlai ini yang telah tanpa sengaja bapak tanamkan dalam persepsi putri saya. Padahal ini adalah sebuah institusi pendidikan yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai yang positif kepada anak didiknya.“ Pelatih di hadapanku tersenyum kaku, “Maaf bu, tapi memang begitulah kenyataannya di masyarakat kita.” Hatiku luka. Tidak bisa dipungkiri memang, ada beberapa gelintir kelompok masyarakat yang masih berpikir “terbelakang” terhadap masalah ini. Dalam pandangan mereka, dunia adalah sebuah pertandingan yang harus dimenangkan. Untuk memenangkannya, selera pasar menjadi tuan, tuntutan pemilik modal adalah raja, kecantikan dan kedudukan adalah segala-galanya. Jangan pernah berbicara tentang pentingnya sebuah prinsip hidup seseorang, apalah lagi sebuah tuntutan syariah agama. Karena, untuk mendapatkan sebuah kedudukan yang diinginkan, kedua titik tersebut dipandang sebagai dua buah nila dalam sebelanga susu. Tapi, hatiku luka karena paparan kenyataan tersebut ternyata dipandang penting oleh seseorang yang seharusnya menjadi pahlawan tanpa tanda jasa. Guru.

“Tahukah bapak? Untuk membuat anak saya bersedia mengenakan jilbab ditengah masyarakat yang memberi apresiasi amat tinggi terhadap mode, kebebasan dan kecantikan dimasa sekarang ini amat sulit. Sejak kecil saya mengajarkan kepada dia bahwa meski dengan berjilbab, dia bisa meraih apa saja yang dia inginkan bahkan tanpa harus menjadi eksklusif. Bahwa memegang teguh sebuah ketentuan syariah Islam tidak berarti menutup akses dia untuk mencapai kedudukan apa saja yang dia inginkan. Tapi, dengan kejadian yang baru saja bapak lakukan terhadap putri saya, bapak secara tidak langsung sudah memberinya gambaran bahwa apa yang saya ajarkan itu tidak benar dan bohong semua. Usianya baru sepuluh tahun dan dia baru duduk di kelas empat SD, butuh waktu tiga tahun untuk mempersiapkan kondisi dia seperti sekarang. Menyadarkan dia bahwa ketika usianya sudah masuk sepuluh tahun maka kewajiban dia untuk menutup aurat sudahlah berlaku. Kewajiban disini harus menjadi prinsip hidup dia selamanya. Hingga sekarang, saya masih memberinya semangat bahwa jilbab bukan penghalang dia untuk melakukan banyak hal. Tapi, ternyata bapak tidak sejalan dengan idealism yang saya ajarkan. Padahal, yang saya minta hanya satu, nilailah putri saya dari kemampuan dia, kelebihan dia, bukan dari sesuatu yang dia kenakan atau dia miliki. Sekarang, bapak malah mengajarkan kepada putri saya bahwa tidak mengapa menanggalkan sebuah prinsip jika memang ingin meraih kemenangan. Tidak mengapa melanggar syariat jika memang dapat merangkul kejayaan. “ Dadaku berdegup kencang menahan emosi. Rasa hormat pada semua jasa-jasa yang telah dilakukan oleh semua pahlawan tanpa tanda jasa telah mengalahkan gejolak yang terjadi didalam dada. Sabar adalah kunci dan pintu yang harus aku lalui adalah pintu kepala dingin. Lalu matahari semakin menanjak tinggi, menerbitkan keringat yang bersemayam didalam tubuhku, menguapkan semua kalimat yang aku telah sampaikan. Pahlawan di hadapanku tidak dapat merubah apa yang sudah dia putuskan sebelumnya. Inilah kenyataan yang rupanya harus dihadapi oleh seorang anak yang baru saja menginjak usia 10 tahun di tengah masyarakat yang menghambakan diri kepada kecantikan dan kekayaan.

Arrrgghh….

Lalu dua minggu berikutnya putriku pulang dengan wajah tersenyum. “Ibu, guru pelatih music seniorku memilihku untuk ikut kelompok yang akan bertanding.” Oh ya? Aku tidak percaya. Esoknya aku datang ke institusi pendidikan tersebut dan mendengar langsung dari banyak orang bahwa guru pelatih music senior yang dikontrak khusus untuk melatih telah merekrut putriku. “Kemampuan anakmu di atas kemampuan anak-anak yang lain. Jadi, beberapa anak justru dikeluarkan dan anakmu dimasukkan.” Aku tersenyum. Alhamdulillah. Ini baru adil. Lalu alunan nada-nada ceria dari organ dan pianika kembali terdengar riang di rumahku. Sesekali dendang beberapa lagu juga terdengar dari vocal putriku sehingga warna pelangi dirumahku terasa begitu indah mempesona.

“Ibu, ternyata kita-kita tidak main pianika.” Senyum sumringah terlihat menghiasi wajah putriku yang bersemangat. Dia terbiasa untuk menceritakan apa saja kepadaku.

“Oh ya? Terus, diganti apa?”

“Vokal. Ada suara satu, dua dan tiga. Aku dapat group vocal suara tiga.” Aku tersenyum, ikut bahagia melihat semangat dan bintang-bintang yang bersinar terang di kedua bola matanya yang polos.
Hari ini, satu minggu yang lalu, putriku kembali datang mengadu. “Ibu, aku dikeluarkan lagi dari kelompok yang akan bertanding.” Dibanding ketika pertama kali aku mendengar berita ini dahulu, kali ini hatiku tidak berdegup. Mungkin mulai terbiasa, atau mulai tidak peduli? Hanya saja ada genangan yang tertahan disudut kelopak mata putriku tercinta.

“Loh? Kok jadi seperti orang lagi pilek ya? DIkeluarin, dimasukin lagi, dikeluarin lagi… pasti alasannya karena kamu tidak mau melepas jilbabmu kan ketika harus memakai seragam lomba?” Aku melempar sebuah senyuman dan meraih tubuh putriku agar dapat aku peluk erat. Putriku mengangguk sambil tersenyum getir. Air mata yang ditahannya sejak tadi mulai mengalir malu-malu. Pelan aku hapus air matanya sambil mencium pipinya yang lembut.

“Sudah nak, biarkan saja. Mereka yang rugi tidak memilih kamu. Yang penting kamu tetap seperti ini, istiqamah, sambil terus berprestasi. Nanti juga semua orang akan tahu mana yang emas dan mana yang hanya sepuhan belaka.” Tiba-tiba pundak putriku terguncang. Dia menangis di pelukanku. Mungkin kesal dengan ketidak adilan dunia di sekitarnya. Atau mungkin sekedar melepas penat menghadapi ketidak pastian sebuah keputusan yang hasilnya ternyata tidak menggembirakan. Aku tidak mau memikirkannya. Pelan aku dendangkan sebuah lagu di telinganya sambil terus memeluk tubuhnya yang mungil dan mengelus rambutnya yang halus. Membujuknya agar ikhlas, membujuknya agar kembali ceria.

Hush, little baby, don't say a word,
Mama's gonna buy you a mockingbird.
And if that mockingbird don't sing,
Mama’s gonna buy you a diamond ring.
And if that diamond ring turn brass,
Mama’s gonna buy you a looking glass.
And if that looking glass gets broke,
Mama’s gonna buy you a billy goat.
And if that billy goat don't pull,
Mama’s gonna buy you a cart and bull.
And if that cart and bull turn over,
Mama’s gonna buy you a dog named Rover.
And if that dog named Rover won't bark.
Mama’s gonna to buy you and horse and cart.
And if that horse and cart fall down,
Well you'll still be the sweetest little baby in town.
*****

Tidak ada komentar