Buah manis Kejujuran

Buah Manis Kejujuran
(ditayangkan di kafemuslimah.com, di rubrik : Jurnal Muslimah - Friday, 15 February 2008)

“Yang mana anaknya? Katanya pinter yah?” Seorang ibu bertanya pada saya. Sebuah senyum tipis hadir. Ragu-ragu tapi tak mengurungkan hadirnya sebuah anggukan.

“Iya sih, kata gurunya waktu TK dulu.” Akhirnya saya memberi tanggapan dengan suara lirih. Malu-malu tapi tak luput sejumput kebanggaan memenuhi rongga dada.

“Yang mana anaknya?” Kembali suara ibu-ibu tadi terdengar penuh rasa ingin tahu. Saya pun menunjuk anak saya yang duduk di kursi di sudut kelas. Sendiri manakala sekelilingnya sudah banyak bangku yang kosong.

“Loh? Belum selesai menulis?” Saya menggeleng. Di ruang kelas I B, hanya tinggal sepuluh orang anak, dan anak saya termasuk di dalamnya. Mereka adalah anak-anak yang paling akhir menyelesaikan tugas menulis dari guru kelasnya.
“Kata ibu-ibu yang lain, anaknya sudah bisa membaca sebelum usia 4 tahun? Kok nulisnya lama banget?” Saya menatap ibu-ibu yang kini terlihat begitu cerewet di depan mata saya. Sedikit kesal.

“Iya, membaca itu kan berbeda dengan menulis bu. Lagipula, dulu dia belajar membaca dan menulis dengan bantuan komputer. Jika harus mengetik, dia cukup lumayan dibanding anak lain.”

“Ah, pinter ngetik mah buat apaan? Orang masih kelas satu kok. Sudah… Bantuin gih. Kasihan lagi. Sudah siang gini. Itu… ada banyak ibu-ibu yang ngasih tahu jawaban buat anaknya.” Yap. Tugas menulis yang sedang dilakukan anak-anak kelas satu memang bukan cuma menyalin saja, tapi sekaligus menjawab pertanyaan ringan. Hari memang sudah menjelang pukul sepuluh lewat, waktu yang terlalu siang buat anak-anak kelas satu SD seperti halnya anak saya. Di jendela kelas, memang tampak sembilan orang ibu-ibu yang saling berbisik setengah membentak untuk memotivasi anak-anaknya agar segera menyelesaikan tugas mengerjakan soalnya. Banyak di antara mereka yang selain memotivasi juga memberikan jawaban atas pertanyaan, hingga pekerjaan anaknya bisa lebih cepat terselesaikan. Beberapa bahkan ada yang mendikte anaknya sambil mulutnya tidak berhenti menggerutu dan membentak si anak. Mengingatkan anaknya bahwa ibunya belum memasak dan membereskan rumah sejak pagi.

“Ah, biarlah. Biar dia mengerjakan sendiri.” Saya akhirnya tetap memutuskan untuk menunggu Mujono anak saya di bangku semen di taman sekolah. Akhirnya satu demi satu anak-anak yang masih di kelas sudah menyelesaikan tugasnya. Kini, tinggal Mujono sendiri yang tampak terus menulis. Wajahnya sudah amat lesu dan kelelahan dan akhirnya, Mujono sendirian mengerjakan tugas dari gurunya. Ibu guru kelasnya melempar pandangan ke arah saya sambil tersenyum. Maka saya pun menghampiri ibu guru tersebut sambil tersenyum.

“Maaf yah bu, dia agak lamban mengerjakan tugasnya. Ibu guru jadi terlambat deh pulangnya.”
“Ah, nggak apa-apa. Ditungguin kok.” Pukul setengah sebelas, barulah Mujono berjalan gontai ke muka kelas dan menyerahkan buku tulisnya. Tak ada senyum di wajahnya, yang ada hanyalah wajah lesu dan kelelahan. Saya menyambutnya sambil tersenyum dan mengajaknya pulang. Di jalan, anak saya mengeluh kelelahan.
“Ibu-ibu yang lain ngasih tahu anaknya, kok ibu nggak ngasih tahu aku sih?” Akhirnya sebuah protes keluar dari mulut mungilnya. Saya langsung memeluk tubuh mungilnya dengan penuh rasa sayang.

“Karena ibu mau, kamu mendapatkan hasil secara jujur. Capek memang, tapi nggak apa-apa yah. Namanya juga belajar. Nanti lama-lama juga kamu bisa ngerjain lebih cepat lagi.” Tak ada senyum atau anggukan setuju. Yang hadir di wajahnya hanyalah wajah kelelahan. Amat kelelahan.
Akhirnya, hampir setiap hari anak saya pulang paling belakangan. Bukan hanya pulang paling belakangan, nilainya ketika selesai menyelesaikan tugas sekolah pun tidak ada yang tinggi cemerlang. Berkisar di angka enam, tujuh atau delapan, sementara teman-teman kelasnya yang lain selalu memperoleh nilai sempurna. Maka, tak heran jika semula saya selalu membanggakan anak saya sebagai anak yang pandai dan cemerlang sebelum dia bersekolah dulu, kini pujian itu tidak pernah lagi keluar dari mulut saya. Terlebih karena setiap orang bisa melihat bagaimana anak saya selalu belakangan sendiri di dalam kelas menyelesaikan tugas sekolahnya. Saya juga bisa merasakan tatapan aneh para ibu-ibu karena kekerasan hati saya yang tidak pernah tergerak untuk membantu pekerjaan Mujono. Ah, ini masalah prinsip. Jika saya membantu Mujono, itu artinya saya mengajarkan dia untuk melirik jalan pintas perbuatan tidak jujur. Bukankah pekerjaan yang diberikan oleh guru di sekolah itu diperuntukkan khusus untuk menggembleng anak murid, bukan ditujukan untuk mengajak orang tua murid berpartisipasi diam-diam di balik jendela kelas? Jadi, biarlah dia mengerjakan tugasnya sendiri, bantuan akan saya berikan di rumah, ketika dia sudah menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya.

Hari-hari terus bergulir. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Bulan-bulan terus berubah hingga tak terasa telah berganti tahun. Sementara teman-teman Mujono berlomba untuk meraih peringkat tertinggi di kelas, Mujono tampak tidak punya ambisi itu. Dia terus tekun dan asyik dengan pekerjaannya mengerjakan tugas sekolah seorang diri, bahkan tidak peduli jika dia berhasil menyelesaikannya paling akhir. Bahkan kami tidak ingin mengikut sertakannya dalam berbagai bentuk les atau kursus tambahan. Kami ingin dia mandiri secara alami, bukan karena dikatrol dengan menggunakan berbagai kemudahan yang tersedia di sekelilingnya. Kehidupan di dunia ini bukan persoalan mudah. Jika ingin berubah, semua harus diusahakan dengan memberdayakan diri sendiri. Adalah sebuah kebiasaan buruk mencari kemudahan dengan bersandar pada bantuan orang lain dan lupa menggali potensi diri sendiri. Bukankah semua yang ada di muka bumi ini tidak ada yang bersifat abadi? Lalu, bagaimana akan berjalan seorang diri jika selama ini tidak pernah belajar untuk dapat melangkahkan kaki sendiri? Berulang kali saya tekankan pada anak saya nasehat tersebut.

“Nak, ayah dan ibu suatu hari nanti pasti akan meninggalkan dunia ini. Kamu harus belajar untuk dapat membantu dirimu sendiri, juga saudaramu. Jadi, ayo belajar. Ayah dan ibu tidak mementingkan kamu harus masuk peringkat di sekolah. Itu bukan yang utama dicari di bangku sekolah. Yang penting itu adalah, kamu mengerti ilmu yang kamu pelajar dan menyukainyai. Jika kamu mengerti, kamu insya Allah bisa mengerjakan apapun variasi soal yang diberikan dari pengembangan ilmu tersebut dan jika kamu menyukainya, maka kamu akan senantiasa melupakan sisi kesulitannya. Itu karena kamu menyukainya dan selalu mencoba mencari kemudahan yang selalu bersampiran dengan kesulitan yang datang. Jika kamu bisa dan suka mengerjakannya, kamu bisa mengajarkan orang lain, dan insya Allah itu mendatangkan pahala ibadah untukmu sendiri sebagai bekal di akherat nanti. Yang penting itu, jujur dan teruslah berusaha secara maksimal.”

Yap. Saya memang termasuk orang tua yang tidak begitu menyetujui sistem peringkat di kelas-kelas. Menurut saya, peringkat dikelas itu, hanya akan mengajarkan anak untuk terpacu meraih tempat tertinggi, memperoleh pujian, dengan menghalalkan berbagai cara. Miris rasanya melihat banyak anak berusaha meraih nilai tertinggi dengan cara menyontek. Berkerut kening ini ketika mendapati banyak orang tua yang berlomba-lomba memotivasi anak agar menduduki tempat teratas dengan menunjuki tapak jalan kecurangan. “Sudah, bayar saja si A buat ngerjain tugas bikin prakaryamu. Ketahuan hasilnya bagus, jadi nanti bisa dapat nilai bagus.” Lebih berlipat lagi kening ini ketika mendapati ada orang tua yang rela mengeluarkan beberapa tumpuk uangnya demi menutupi kegagalan anaknya. Semua karena sistem peringkat di kelas yang membuat tiap-tiap anak memperoleh sebuah cap tersendiri di keningnya guna menandai kemampuannya.

Akhirnya, tanpa terasa enam tahun sudah enam Mujono duduk di bangku sekolah dasarnya. Puncaknya tanggal 8 Juli 2005 lalu, keluarlah pengumuman hasil test seleksi penerimaan siswa di Sekolah Menengah Pertama. Deg-degan. Itu yang dirasakan bukan hanya oleh para orang tua murid di hari itu, tapi juga dirasakan oleh para siswa kelas enam dan para guru di sekolah.

Satu demi satu para murid dipanggil untuk menerima hasilnya dan puji syukur ke Hadirat Ilahi karena anak saya mendapatkan SMP unggulan yang dia inginkan dengan nilai yang amat memuaskan. Saya amat terharu, terlebih ketika berduyun-duyun para orang tua murid mendatangi dan memberikan ucapan selamat pada saya. Subhanallah wa alhamdulillah. Anak saya memang satu-satunya anak yang berhasil duduk di SMP unggulan tersebut. Tapi, sedih juga mendapati kenyataan ada lebih dari setengah kelas yang tidak mendapat SMP Negeri. Yang lebih mencengangkan, ternyata para siswa yang menduduki peringkat lima besar hanya mendapat SMP Negeri non unggulan karena perolehan nilai yang tidak melewati batas kelulusan SMP unggulan.
“Kenapa yah? Padahal dia kan dapat ranking di kelas?” Ketika pulang sekolah, pertanyaan ini tidak dapat lagi saya tahan. Kebetulan, teman-teman anak saya sedang memberi selamat pada saya atas prestasi Mujono. Mereka menatap saya dengan wajah berseri-seri.
“”Biarin saja bu. Memang itu pantas kok buat mereka.” Seorang anak perempuan kecil berkulit putih maju memberi penjelasan.
“Kenapa?”
“Karena selama ini mereka-mereka tuh pada jago nyontek semua. General test kemarin kan duduknya sendiri-sendiri, dah gitu ujiannya di sekolah lain, dah gitu yang meriksa komputer lagi. Nggak ada tempat buat jago nyontek!” Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

Akhirnya, malamnya, ketika senyum belum juga bisa reda menghiasi wajah ini karena rasa gembira, saya peluk Mujono dengan penuh kasih. Lalu, lembut saya haturkan ucapan terima kasih di telinganya.

“Nak… terima kasih ya. Berusaha untuk senantiasa jujur itu memang berat, tapi kamu sekarang sedang merasakan hasil akhir yang amat manis. Besok-besok, teruslah berlaku jujur ya nak, dan terus berusaha semaksimal mungkin. Allah tidak pernah tidur atau melupakan semua usaha yang kita lakukan dengan penuh kejujuran.” Sebuah kecupan saya hadiahkan di pipinya yang masih halus seperti kulit bayi. Tak ada tanggapan, tapi kemudian saya rasakan sebuah rengkuhan erat melilit pinggang saya. Saya tahu, meski rengkuhan tangan kecil ini tidak dapat merangkul penuh tubuh gemuk saya, tapi si pemilik tangan mungil ini mengerti apa yang saya inginkan dari dirinya, kemarin, sekarang dan seterusnya.(penulis: Ade Anita)

OooooO